Guru dan Masa Depan Sekolah Rakyat

Selasa, 05/08/2025 16:56 WIB

OLEH Agung Pardini (Direktur Advokasi Kebijakan IDEAS)

GURU adalah penggerak kemajuan sekolah. Perekrutan lulusan PPG (Pendidikan Profesi Guru) sebagai guru pada Sekolah-Sekolah Rakyat adalah keputusan yang sangat tepat. Selain telah berstatus resmi sebagai seorang pendidik bersertifikat, guru-guru jebolan PPG relatif memiliki kecakapan terstandar yang akan mudah beradaptasi dengan karakteristik pendidikan dalam Sekolah Rakyat.

Kita tentu menyambut baik kehadiran guru-guru alumni PPG, walau relatif berusia muda dengan pengalaman mengajar yang belum panjang, namun kompetensi mereka telah teruji selepas mengikuti program pendidikan selama dua semester di kampus-kampus keguruan terbaik.

Pada tahun ajaran baru 2025-2026 ini, Pemerintah melalui Kementerian Sosial telah membuka Sekolah Rakyat sebanyak 63 titik pertama dari 100 lokasi yang tengah dipersiapkan di tahun ini. Namun beberapa waktu lalu tercatat bahwa 143 orang atau hampir sepuluh persen dari 1.469 guru PPG yang telah direkrut ternyata tidak memenuhi panggilan tugas. Kejadian ini mirip dengan kemunduran 1.967 calon PNS dosen pada tiga bulan silam melalui mekanisme yang sama.

Alasan domisili dan diterimanya sebagian guru pada penempatan formasi ASN di daerah dianggap menjadi faktor terbanyak yang mendasari guru-guru ini mundur. Kondisi ini jelas mempertegas bahwa perekrutan pegawai melalui sistem optimalisasi harus segera dievaluasi.

Jika tidak segera ditindaklanjuti, maka pemenuhan guru-guru untuk Sekolah Rakyat dengan mengandalkan ketersediaan sekitar 50.000 guru lulusan PPG tetap akan menemui kendala serupa.

Menanggapi hal ini, IDEAS memberi beberapa catatan agar perekrutan guru bagi Sekolah Rakyat bisa lebih efektif di kemudian hari. Pertama, penerapan sistem optimalisasi sedari awal harus memberikan informasi yang jelas mengenai lokasi dan kondisi dari Sekolah Rakyat yang akan menjadi lokasi penempatan guru.

Jangan sampai penempatan guru seperti membeli kucing dalam karung. Hal ini akan sangat mempengaruhi kesiapan dari calon-calon guru yang sebagian besarnya berdomisili sangat jauh dengan sekolah penempatan.

IDEAS memandang bahwa ikatan dinas dengan konsekuensi siap ditempatkan di seluruh wilayah NKRI tidak terlalu cocok untuk dipaksakan bagi masyarakat sipil, terlebih dengan ijazah pendidikan sarjana dan telah memiliki sertifikat profesi.

Kedua, jika dilihat dari sebarannya, titik-titik lokasi Sekolah Rakyat yang belum terpenuhi kebutuhannya guru banyak terjadi Pulau Papua, Maluku, Sulawesi, dan sebagian pulau-pulau terluar.

Selain jaraknya yang sangat jauh, tanpa adanya insentif atau tunjangan tambahan yang memadai, tentu akan menyurutkan minat calon guru untuk ditempatkan. Insentif atau tunjangan itu antara lain berupa: akomodasi perpindahan domisili, tunjangan keluarga, tunjangan kedinasan dengan tugas khusus, hingga bantuan pulang kampung tahunan.

Jika dihitung semua, maka pendapatan guru Sekolah Rakyat dari luar domisili akan dua bahkan tiga kali lipat lebih besar dari. Ini pun belum termasuk tunjangan sertifikasi guru yang wajib didapat oleh para lulusan PPG setelah mendapatkan home base tetap.

Mewujudkan sekolah unggul berkualitas dengan model berasrama sudah diprediksi masuk ke dalam kategori pendidikan berbiaya tinggi. Jika melihat paparan Menteri Sosial di Komisi VIII DPR-RI pada Selasa (20 Mei 2025) yang menyebutkan bahwa biaya belajar masing-masing siswa di Sekolah Rakyat yang per tahunnya mencapai Rp48,2 juta.

Namun yang perlu diingat, sebagaimana yang berlaku dalam ekonomi pendidikan, yakni “semakin besar investasi pendidikan, maka pengembalian sosialnya harus semakin tinggi”. Salah satu komponen pembiayaan yang besar tentu adalah memastikan ketersediaan guru yang juga berkualitas. Inilah bentuk keseriusan negara untuk menghentikan kemiskinan ekstrem.

Ketiga, Iming-iming pemberian status sebagai ASN Kemensos juga dianggap kurang menarik minat para guru untuk ditempatkan di Sekolah Rakyat yang keberadaannya sangat jauh dari domisili asal. Tanpa perlu melakukan perpindahan domisili, peluang mengajar di daerah sendiri, baik sebagai ASN maupun di sekolah-sekolah swasta favorit sesungguhnya masih sangat terbuka.

Terlebih dengan status sebagai lulusan PPG, guru-guru ini telah menyandang sertifikat sebagai pendidik resmi dan profesional yang nanti memiliki peluang untuk mendapatkan tunjangan sebagai pendidik senilai lebih dari satu bulan gaji. Sehingga tanpa harus bersusah payah untuk mengabdi jauh di luar domisilinya, setidaknya guru-guru ini akan tetap berpeluang mendapatkan pendapatan yang layak dan cenderung di atas UMK daerahnya.

Keempat, sebagai langkah mitigasi terakhir, untuk menjamin keberlangsungan program Sekolah Rakyat hingga masa mendatang, keberadaan guru-guru lokal setempat justru harus lebih diprioritaskan. Selain lebih siap secara domisili, secara pembiayaan juga bisa lebih dapat ditekan.

Bila perlu, tanpa harus memaksakan persyaratan sebagai lulusan PPG, Sekolah Rakyat dalam sementara waktu bisa mengambil opsi perekrutan dari calon-calon guru muda atau para sarjana baru dari daerah-daerah sekitar.

Dengan seleksi ketat dan pelaksanaan orientasi yang komprehensif, Sekolah Rakyat akan tetap mendapat tenaga pendidik yang tak kalah kompeten. Sebagaimana sekolah-sekolah pada umumnya, keberadaan guru-guru lokal ini kemudian bisa difasilitasi dengan kesempatan mengikuti Pendidikan Profesi Guru baik jalur pra (sebelum) atau dalam jabatan.

Bila disimpulkan, motif kesejahteraan memang masih menjadi faktor yang mempengaruhi kesiapan guru-guru PPG untuk dapat mengabdi pada Program Sekolah Rakyat. Tanpa harus mengecilkan semangat pengabdiannya, perekrutan guru dari luar domisili tanpa jaminan pendapatan yang memadai tentu sama saja dengan mengabaikan kualitas pendidikan di Sekolah Rakyat.

Keberadaan guru berkualitas lagi-lagi adalah kunci keberlangsungan Sekolah Rakyat sebagai model pendidikan untuk memutus rantai kemiskinan antargenerasi.[]



BACA JUGA