Ketika Layar Kaca Meredup, PHK di Industri Televisi dan Jalan Menuju Adaptasi

Kamis, 08/05/2025 13:39 WIB

OLEH Suswinda Ningsih (Dosen Ilmu Komunikasi/Pemerhati Media dan Budaya Digital)

APA yang sebenarnya sedang terjadi di industri media televisi saat ini? Gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) yang menerjang bak tsunami di industri media massa, khususnya televisi, baik di tingkat internasional maupun nasional, bukanlah peristiwa sesaat.

Ini adalah manifestasi nyata dari disrupsi digital yang telah mengubah lanskap media secara fundamental. Jeritan para pekerja media pun tak mampu menghentikan datangnya surat PHK berikutnya. Layar kaca, yang dahulu berjaya sebagai raja hiburan, kini menghadapi tantangan serius untuk tetap relevan dan berkelanjutan. PHK terjadi secara masif, dari produser hingga teknisi lapangan.

Sebagai seorang akademisi komunikasi yang pernah terlibat langsung di industri media, saya merasakan betul dampaknya. Beberapa grup WhatsApp yang dibuat oleh teman-teman dari stasiun TV kini ramai dengan curhatan tentang situasi yang sama.

Dapur tak lagi mengepul seperti beberapa tahun silam. Kemeja kebanggaan pun tergantung rapi di balik pintu, berharap panggilan kembali dari industri yang dulu menjadi identitas sekaligus kebanggaan. Bekerja di dunia televisi bukan sekadar profesi, melainkan juga bagian dari jati diri. Melihat langsung sosok-sosok di balik layar yang menjadi idola publik adalah pengalaman yang tak tergantikan.

Sebagai dosen komunikasi di sebuah perguruan tinggi di Jakarta, saya melihat perlunya analisis mendalam atas fenomena ini, sekaligus strategi adaptif yang perlu dijalankan stasiun televisi untuk bertahan—dan yang tak kalah penting—mempertahankan karyawan mereka.

Badai Digital dan Korbannya

Seperti diketahui, badai ini juga melanda Amerika Serikat. PHK massal telah menjadi kenyataan pahit bagi industri televisi tradisional. Media raksasa seperti CNN, NBC, dan Fox telah memangkas ribuan karyawan dalam beberapa tahun terakhir.

CNN, misalnya, mengumumkan pengurangan lebih dari 300 posisi pada tahun 2022 sebagai bagian dari restrukturisasi besar pasca-akuisisi oleh Discovery. Di Eropa, BBC dan ZDF mengalami hal serupa. Pada 2021, BBC mengumumkan rencana pemangkasan lebih dari 1.000 pekerjaan dalam lima tahun sebagai upaya efisiensi di tengah penurunan pendapatan iklan dan meningkatnya tuntutan akan konten digital. ZDF, penyiar publik Jerman, juga melakukan langkah efisiensi yang berdampak pada tenaga kerja mereka.

Tren ini tak hanya terbatas pada negara maju; dampaknya menjalar seperti bola api ke negara-negara lain. Di Indonesia, meskipun industri televisi masih bertahan, sinyal pelemahan sudah terlihat. Platform streaming lokal seperti Vidio dan RCTI+ kian populer, terutama di kalangan generasi muda yang lebih menyukai kebebasan memilih tayangan serta fleksibilitas waktu. Akibatnya, stasiun TV konvensional yang bergantung pada pendapatan iklan mengalami penurunan signifikan. Mereka terpaksa berevolusi atau menghadapi risiko pemangkasan tenaga kerja yang lebih besar.

Pendapatan dari iklan, yang dulunya menjadi tulang punggung, kini meredup seperti pelita kehabisan minyak. Konten-konten harus benar-benar menarik agar pemirsa tetap setia. Namun pengiklan kini menginginkan data yang nyata: jumlah penayangan, komentar, likes—yang hanya dapat ditunjukkan oleh platform digital. Ini adalah salah satu dari sekian banyak alasan mengapa para pengiklan mulai beralih ke media digital.

Akar Masalah

Apa sebenarnya faktor utama di balik PHK besar-besaran di industri televisi? Pertama, disrupsi digital. Pergeseran perilaku konsumen ke arah platform streaming yang menawarkan konten on-demand dan fleksibilitas tinggi membuat televisi konvensional kehilangan daya tarik. Generasi muda lebih memilih menonton sesuai keinginan mereka—kapan pun dan di mana pun—dibandingkan mengikuti jadwal siaran tetap.

Kedua, penurunan pendapatan iklan. Seiring peralihan audiens ke platform digital, belanja iklan di televisi pun menyusut. Data eMarketer menunjukkan bahwa belanja iklan digital di Indonesia meningkat hampir 20% pada tahun 2023, sementara iklan televisi stagnan. Ketergantungan pada iklan tradisional kini menjadi strategi yang usang.

Ketiga, efisiensi biaya. Tekanan ekonomi global yang diperparah pandemi COVID-19 memaksa perusahaan mencari cara menghemat anggaran. Pemangkasan tenaga kerja menjadi langkah "rasional" meskipun menyakitkan.

Strategi Bertahan dan Solusi untuk Media Televisi

Apakah masih ada harapan bagi stasiun televisi untuk bertahan? Tentu saja. Teknologi adalah pisau bermata dua—dampaknya bisa menjadi solusi jika dimanfaatkan secara tepat.

  1. Adopsi Model Bisnis SVOD dan Diversifikasi Pendapatan
    Stasiun televisi harus berani mengadopsi model bisnis berbasis langganan (Subscription Video on Demand/SVOD). Netflix, Amazon Prime Video, dan Disney+ telah membuktikan bahwa strategi ini mampu menghasilkan pendapatan stabil dan loyalitas penonton. Di Indonesia, Vidio dan RCTI+ mulai menunjukkan potensi yang sama. Dengan menawarkan konten eksklusif yang relevan secara lokal, stasiun televisi dapat mengurangi ketergantungan pada iklan.
  2. Investasi dalam Digitalisasi dan Teknologi
    Investasi dalam kualitas produksi—seperti format 4K, 8K, dan kecerdasan buatan—akan menjadi nilai tambah. Pengembangan aplikasi dan antarmuka yang ramah pengguna juga penting untuk menjangkau pemirsa melalui berbagai perangkat.
  3. Kolaborasi dengan Platform Digital dan Penyedia Teknologi
    Kolaborasi antarmedia dan kerja sama dengan penyedia teknologi dapat memperluas jangkauan sekaligus menekan biaya produksi. Contoh kolaborasi antara RCTI+ dan Vidio menunjukkan arah ke depan bagi industri televisi.
  4. Pelatihan dan Peningkatan Keterampilan SDM
    Karyawan perlu dilatih untuk menghadapi ekosistem media baru. Pelatihan dalam pengelolaan konten digital, analisis data audiens, serta keterampilan teknis lainnya menjadi investasi jangka panjang.
  5. Strategi Konten yang Personal dan Interaktif
    Stasiun televisi harus berani merancang konten yang lebih interaktif—seperti live streaming, kuis langsung, dan program partisipatif. Mengikuti jejak platform seperti Twitch atau YouTube bisa menjadi cara menarik audiens muda.

Penutup

PHK memang hak korporasi. Namun, solusi pun bisa lahir dari sinergi manusia dan teknologi. PHK harus menjadi alarm bahwa industri ini perlu bertransformasi, bukan sekadar bertahan, tetapi juga menjaga keberlanjutan dan kesejahteraan para pekerjanya.

Jika stasiun televisi tidak segera beradaptasi, maka layar kaca akan benar-benar meredup. Namun jika mereka bersedia berubah, berinovasi, dan membuka diri terhadap model baru, masa depan cerah masih sangat mungkin diraih. Televisi tak harus mati—ia hanya perlu dilahirkan kembali dalam bentuk yang lebih sesuai dengan zaman.



BACA JUGA