Masyarakat Sipil Sebut Danantara Jadi Alat Melanggengkan Industri Batu Bara

Kamis, 13/03/2025 10:33 WIB

Padang, sumbarsatu.com—Kelompok masyarakat sipil menilai rencana pemerintah menjadikan proyek Dimethyl Ether (DME) atau gasifikasi batu bara dengan pembiayaan lewat Badan Pengelola Investasi Danantara sebagai langkah sesat.

Sejumlah organisasi masyarakat sipil yang tergabung dalam Sumatera Terang untuk Energi Bersih (STuEB) menilai langkah pemerintah yang tidak populis ini hanya bertujuan melanggengkan industri batu bara, dengan Pulau Sumatera sebagai salah satu target utama eksploitasi.

Konsolidator STuEB, Ali Akbar, menegaskan bahwa Danantara sebagai superholding seharusnya menjaga stabilitas ekonomi jangka panjang dengan investasi yang fokus pada pengembangan sumber daya manusia dan ilmu pengetahuan. Ia membandingkannya dengan Temasek, yang berinvestasi pada teknologi dan informasi—sektor yang terus tumbuh dan bermanfaat di masa depan.

Namun, saat ini wilayah investasi Danantara justru diarahkan ke hilirisasi pengelolaan sumber daya alam seperti batu bara, yang bersifat tidak terbarukan dan semakin ditinggalkan secara global.

Ali menanggapi langkah pemerintah yang mempercepat 21 proyek hilirisasi, di mana empat di antaranya adalah proyek gasifikasi batu bara menjadi DME senilai Rp180 triliun. Pendanaan proyek ini berasal dari Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (BPI Danantara), dengan lokasi proyek yang diperkirakan berada di Sumatera Selatan, Kalimantan Timur, dan Kalimantan Selatan.

"Investasi yang bertumpu pada sumber daya alam yang terbatas seperti batu bara tidak akan berkelanjutan. Dunia internasional telah mundur dari investasi energi kotor, tetapi Indonesia justru melanjutkannya melalui Danantara," ujar Ali Akbar, Kamis (13/3/2025).

Lebih jauh, ia menyoroti bahwa dana Danantara berasal dari efisiensi berbagai program yang seharusnya dinikmati langsung oleh rakyat, mulai dari sektor pendidikan, kesehatan, hingga pengentasan kemiskinan.

STuEB juga memperingatkan pemerintah mengenai dampak sosial, lingkungan, ekonomi, dan kesehatan akibat eksploitasi batu bara, baik di sektor hulu (pertambangan) maupun hilir (Pembangkit Listrik Tenaga Uap/PLTU).

Dari Sumatera Selatan, Ketua Yayasan Anak Padi Lahat, Syahwan, mengungkapkan bahwa proyek PLTU yang dioperasikan PT Primanaya Energi telah mencemari sungai. Warga Desa Kebur dan Muara Maung kehilangan ikan akibat air sungai yang berubah warna menjadi hitam kecoklatan. "Jika DME dijadikan bahan pengganti gas rumah tangga, maka eksploitasi batu bara akan semakin masif dan penderitaan warga semakin besar," ujarnya.

Di Aceh, debu dari truk pengangkut batu bara dan abu pembakaran PLTU di Dusun Suak Puntong, Nagan Raya, menyebabkan 146 kasus Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) dalam tiga tahun terakhir. Direktur Yayasan Apel Green Aceh, Rahmad Syukur, menegaskan bahwa "Pemerintah harus mengambil ketegasan dengan menghentikan PLTU dan beralih ke energi bersih."

Sementara dari Jambi, Direktur Lembaga Tiga Beradik (LTB) Jambi, Hardi Yuda, menyebutkan bahwa masyarakat Desa Semaran harus menghirup udara kotor setiap hari akibat PLTU PT Permata Prima Elektrindo.

Selain itu, lubang bekas tambang batu bara yang tidak direklamasi membentuk danau yang mengancam ekosistem dan kehidupan. "Bahkan Candi Muaro Jambi sebagai situs cagar budaya terbesar di Asia Tenggara pun terancam akibat stockpile batu bara," tambahnya.

Di Riau, PLTU Tenayan Raya di Pekanbaru mencemari Sungai Siak hingga menyebabkan ikan-ikan hilang dan air berbau busuk. Nelayan yang kehilangan mata pencaharian terpaksa menjadi buruh kasar. "PLTU ini juga menimbulkan persoalan agraria, lingkungan, hingga kriminalisasi," kata Direktur LBH Pekanbaru, Andri Alatas.

Dilaporkan dari Bengkulu, PT Tenaga Listrik Bengkulu membuang Fly Ash Bottom Ash (FABA) secara sembarangan, mencemari permukiman dan hutan konservasi Taman Wisata Alam (TWA) Pantai Panjang-Pulau Baai. Akibatnya, warga Teluk Sepang mengalami ISPA massal dan penyakit kulit.

Sementara di Sumatera Utara, Direktur Yayasan Srikandi Lestari, Mimi Surbakti, menyesalkan bahwa Danantara justru memperpanjang penderitaan rakyat. "Kami awalnya senang dengan rencana pensiun dini PLTU, tetapi kini kecewa karena rakyat lagi yang harus menanggung dampaknya," ujarnya.

Di Sei Siur, Pangkalan Susu, limbah FABA dibagikan kepada warga untuk tanah timbunan tanpa sosialisasi. Akibatnya, masyarakat mengalami penyakit kulit, batuk berkepanjangan, paru-paru hitam, bahkan berbagai jenis kanker.

Eksploitasi yang Berlebihan

Koordinator STuEB Sumatera Barat, Alfi Syukri, menyoroti eksploitasi batu bara yang semakin tidak terkendali. Data Kementerian ESDM pada 2024 mencatat produksi batu bara mencapai 836 juta ton, melebihi target 710 juta ton (117 persen).

"Kita telah mengorbankan alam demi industri ekstraktif. Kini, wacana hilirisasi dan gasifikasi batu bara semakin memperparah. Batu bara tidak hanya merusak lingkungan, tetapi juga berdampak serius pada kesehatan masyarakat," ungkapnya.

Ia menegaskan bahwa polusi akibat pembakaran batu bara menyebabkan penyakit pernapasan, gangguan jantung, dan masalah kesehatan lainnya. Eksploitasi batu bara juga merusak ekosistem serta menghilangkan sumber daya alam yang seharusnya menopang kehidupan jangka panjang. SSC/MN



BACA JUGA