Kamis, 09/01/2025 18:25 WIB

Walhi Sumbar dan SIEJ Simpul Sumbar Sodorkan 10 “PR” Besar untuk Gubernur

SIEJ (Society of Indonesia Environtmental Journalists) Simpul Sumbar dan Walhi Sumbar menggelar konferensi pers Kamis (9/1/2025) yang menyatakan pimpinan baru Sumatera Barat ini punya pekerjaan rumah (PR) besar soal pengelolaan sumber daya alam.

SIEJ (Society of Indonesia Environtmental Journalists) Simpul Sumbar dan Walhi Sumbar menggelar konferensi pers Kamis (9/1/2025) yang menyatakan pimpinan baru Sumatera Barat ini punya pekerjaan rumah (PR) besar soal pengelolaan sumber daya alam.

Padang, sumbarsatu.com— Komisi Pemilihan Umum (KPU) Provinsi Sumatera Barat secara resmi menetapkan pasangan nomor urut 01, Mahyeldi Ansharullah dan Vasko Ruseimy, sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur Sumatera Barat periode 2024-2029. Penetapan ini dilakukan dalam rapat pleno terbuka di Pangeran Beach Hotel, Padang, Kamis (9/1/2025).

Sementara itu, pada hari yang sama SIEJ (Society of Indonesia Environtmental Journalists) Simpul Sumbar dan Walhi Sumbar menggelar konferensi pers yang menyatakan pimpinan baru ini punya pekerjaan rumah (PR) besar soal pengelolaan sumber daya alam. Ada 10 "PR" yang disodorkan agar Gubernur Sumatera Barat memahaminya. 

Untuk itu, SIEJ (Society of Indonesia Environtmental Journalists) Simpul Sumbar dan Walhi Sumbar mendesak agar kebijakan pembangunan di Sumatera Barat berbasis pada keadilan sosial ekologis dan penghormatan pada masyarakat adat.

Wengki Purwanto, Direktur Eksekutif Daerah Walhi Sumbar menyampaikan  beberapa poin terkait pekerjaan rumah ini. Dia menyoroti bagaimana Proyek Strategis Nasional (PSN) di Sumatera Barat yang masuk kategori infrastruktur dan dampaknya pada kerusakan lingkungan. 

“Lebih dari setengah wilayah Sumbar adalah hutan. Jumlahnya sekitar  2.286.883 hektare atau setara 54 persen. Dan hanya 250 nagari (desa) di Sumatera Barat yang berada di luar kawasan hutan (18,03 persen), selebihnya sekitar 950 nagari berada di dalam dan sekitar kawasan hutan (81,97 persen),” kata Wengki Purwanto, Kamis, (9/12/2025). 

Ia juga menyinggung pemerintah yang terus mengusahakan perhutanan sosial yang menghilangkan identitas kepemilikan adat masyarakat. Perhutanan sosial diketahui diberikan pengelolaan izinnya ke masyarakat hanya 35 tahun, dapat diperpanjang atau dikembalikan ke negara.

“Meskipun perhutanan sosial menjadi kebijakan strategis di Provinsi Sumatera Barat, tetapi hutan adat yang diakui hanya pada angka 0,30 persen dari luas hutan Sumatera Barat. Kebijakan ini, menjadi alat “eksklusi” masyarakat dari tanah airnya, termasuk secara sistematis menjadi alat “etnosida” bagi masyarakat hukum adat dan komunitas lokal,” terangnya.

Wengki menyebut program ini sebagai malpraktik kebijakan dan ini menjadi akar dari beragam konflik.

“Ini “PR” pertama Gubernur Mahyeldi untuk memulihkan hak-hak masyarakat adat atas hutan. Lima tahun ke depan, tidak ada lagi izin baru perhutanan sosial di Sumatera Barat, kecuali hutan adat,” tegasnya. 

Pekerjaan rumag kedua, tambahnya, Gubernur Sumatera Barat mesti berani mengkoreksi kebijakan infrasruktur dan energi, terutama yang berbasis PSN (Proyek Strategis Nasional).

“Sebagaimana kita ketahui, PSN Jalan tol proses pengadaan tanahnya menjadi wadah korupsi, proses pembangunannya melahirkan bencana sosial-ekologis. Material dari tambang ilegal yang digunakan untuk pembangunan jalan tol (Padang-Sincincin), telah menghancurkan lingkungan dan memporak-porandakan pemukiman masyarakat. Pada seksi Pangkalan-Payakumbuh (khusus di LImapuluh Kota), trase jalan tol yang direkomendasikan justru menjadi alat penghancur kawasan inti masyarakat adat (rumah gadang dan lain sebagainya),” urai Wengki..

Ia juga menjelaskan bagaimana proses pembangunan jalan tol Padang-Sicincin juga diduga menggunakan material dari galian C ilegal. Dia mengatakan masyarakat terdampak dari hilangnya ruang sawah, rumah hingga sekolah yang hancur.

Yang ketiga, Gubernur Sumatera Barat harus melakukan koreksi kebijakan perhutanan sosial yang memulihkan hak-hak masyarakat adat atas tanah ulayat (hutan). Moratorium izin perhutanan sosial kecuali hutan adat. Keempat, penerapan secara konsisten prinsip FPIC dalam setiap kebijakan pembangunan.

Kelima, menerapkan kebijakan energi yang berkeadilan dan transparan. Wengki mencontohkan PLTS (Pembangkit Listrik Tenaga Surya) Singkarak yang sudah direkomendasikan gubernur ke pemerintah pusat. Menurutnya kondisi ini memicu kegaduhan di tingkat tapak.

“Masyarakat adat salingka Danau Singkarak, tiba-tiba dikejutkan, karena Gubernur Sumatera Barat memberikan dukungan terhadap PT Indo Acwa Tenaga Singkarak untuk membangun PSN PLTS Singkarak 50 MW. Sementara, gubernur belum melakukan dialog dengan masyarakat salingka Danau Singkarak. Prinsip FPIC tidak berjalan sama sekali. PSN PLTS Singkarak memicu traumatik baru bagi masyarakat. Selain karena korban PLTA Singkarak di masa lalu, beban singkarak hari ini cukup berat. Termasuk kategori danau sangat kritis di Indonesia,” terang Wengki.

Wengki mengatakan sebelum PLTS Singkarak, dengan pola yang sama, gubernur secara aktif juga mendorong PSN untuk Aia Bangih yang menyebabkan protes besar beberapa waktu lalu. 

“Aia Bangih ditujukan untuk industri refinery dan petrochemical serta sarana pendukung bagi PT Abaco Pasifik Indonesia pada lahan seluas ± 30.000 hektare. Prinsip FPIC juga tidak berjalan di sini. Tidak kurang, 20.000 jiwa terdampak akibat proyek ini. Jika proyek dilanjutkan, maka sekitar 20.000 ha hutan akan dikonversi menjadi kawasan industri. Menjadi ironi, masyarakat adat dan komunitas lokal di eksklusi dan masuk penjara atas nama hutan, namun hutan di eksklusi atas nama investasi,” ungkapnya.

Keenam, sebut Wengki, pekerjaan rumah bagi Gubernur Mahyeldi adalah pemulihan kerusakan dan pencemaran wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Sebagaimana kita ketahui, wilayah pesisir Sumatera Barat telah terdegradasi akibat perluasan tambak udang (legal dan ilegal), sebagian besar hutan mangrove di konversi untuk tambak udang, termasuk untuk kebun sawit. 

Dalam data resmi DLH Provinsi Sumatera Barat disebut, baku mutu air laut dan sungai di Padang Pariaman, bahkan telah terlampaui akibat limbah tambak udang. Beberapa waktu lalu, kolam bekas tambak udang, telah menjadi alat pembunuh anak kecil sekitar lokasi tambak. Tak kalah serius, cemaran sampah plastik dilaut dan pesisir, menjadi urgent untuk segera diatasi. Selain mencemari lingkungan dan merugikan nelayan, juga merusak dunia pariwisata Sumatera Barat.

Selanjutnyam, yang ketujuh,  pembuatan peta jalan pemulihan hak ulayat untuk mengurai konflik yang menumpuk di Agam, Pasaman Barat hingga Dharmasraya terkait perizinan perusahaan sawit. 

“Situasi saat ini HGU-HGU (Hak Guna Usaha) perkebunan monokultur sebagian sudah dan akan berakhir, kita tahu bahwa lokasi yang ini dibebani perkebunan seluruhnya tanah ulayat, dan itu pada zaman orde baru di akhir tahun 80-an sampai 2000-an investasi besar. Sejak mereka hadir justru menghadirkan konflik, sebagian besar dari skema investasi akan berakhir hgu,” katanya. 

Dia berharap adanya peta jalan ini dapat mengurai konflik yang sudah terjadi bertahun-tahun di Dhamasraya, Agam, Solok Selatan, Pasaman dan Pasaman Barat hingga Mentawai.

Selanjutnya Gubernur hasil Pilkada Serentak 2024 ini harus menyelesaikan akar bencana ekologis. Tiap tahun, bencana banjir dan longsor (bencana ekologis) selalu terjadi hampir di seluruh kabupaten-kota di Sumatera Barat.

Akumulasi krisis ekologis, akibat ketidakadilan dan salahnya sistem pengurusan alam, telah menghancurkan pranata kehidupan masyarakat. Akar bencana tersebut pertama, investasi dan pembangunan tidak berbasis pada aspek mitigasi bencana. Seperti tambang galian C Kawasan Air Dingin, Kabupaten Solok. Lokasi tambang berada pada kawasan sesar semangko, yang legal juga tidak patuh pada ketentuan lingkungan. Contoh berikutnya, pembangunan pada kawasan lembah anai.

“Untuk urusan ini, perlu satu upaya konkret audit lingkungan hidup secara utuh dan menyeluruh,” tegas Wengki.

Jangan Tambah Izin Baru

Sementara itu, Rifai, Direktur Yayasan Citra Mandiri Mentawai menambahkan daftar pekerjaan rumah untuk Gubernur Sumatera Barat. Ia mengatakan jika pemerintah menambah perizinan kehutanan maka pemerintah menambah jumlah konflik itu sendiri.

“Jika Mahyeldi dan Vasko tidak ingin menambah konflik masyarakat, maka jangan ditambah lagi perizinan perusahaan kayu di Sumatera Barat,” sebutnya. 

Ditambahkannya, Gubernur Sumatera Barat jangan sampai menjadi perwakilan kepentingan Jakarta, Pusat. Menurutnya, Gubernur Sumatera Barat dipilih untuk mewujudkan kepentingan-kepentingan lingkungan dan masyarakat Sumatera Barat. 

Jaka HB, Koordinator SIEJ Simpul Sumbar, mengatakan sekarang ini kerja-kerja jurnalis mengawasi kebijakan-kebijakan lingkungan semakin kompleks. Sebab beberapa waktu lalu presiden mengucapkan pernyataan mendukung sawit dan jangan takut deforestasi. “Hal tersebut harus jadi alarm untuk kita semua,” katanya.

Beberapa hasil liputan anggota SIEJ terkait lingkungan hidup dari pesisir, hutan, konflik agraria hingga soal isu energi menjadi masalah yang sudah ada di depan mata.

Dipaparka Jaka HB, pada tahun 2016-2011, ada 15 ribu hektare hutan per tahun hilang di Sumatera Barat, setengah dari garis pantai Sumatera Barat mengalami abrasi, dan seperti yang disampaikan Walhi mangrove di Sumbar juga tergolong kritis. SSC/REL

Sepuluh Pelerjaan Rumah Gubernur Sumatera Barat 

  1. Kebijakan pembangunan Sumbar berbasis pada keadilan sosial ekologis dan penghormatan pada masyarakat adat.
  2. Gubernur Sumatera Barat mesti berani mengkoreksi kebijakan Infrasruktur dan Energi, terutama yang berbasis PSN.  
  3. Ketiga, melakukan koreksi kebijakan perhutanan sosial yang memulihkan hak-hak masyarakat adat atas tanah ulayat (hutan). Moratorium izin perhutanan sosial kecuali hutan adat.
  4. Penerapan secara konsisten prinsip FPIC (Free Prior Informed Consent) dalam setiap kebijakan pembangunan. FPIC adalah proses untuk memastikan masyarakat adat dan lokal dapat menjalankan hak-hak fundamental mereka.FPIC juga dikenal dengan sebutan PADIATAPA (Persetujuan Diawal Tanpa Paksaan).
  5. Menerapkan kebijakan energi yang berkeadilan dan transparan.
  6. Pemulihan kerusakan dan pencemaran wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. 
  7. Menyusun peta jalan pemulihan tanah ulayat sepert eks HGU dan kehutanan, sebagai implementasi dari perda tanah ulayat. 
  8. Mengeluarkan izin perkebunan, tambang hingga kehutanan akan memperluas konflik. Jika tidak ingin menambah konflik jangan tambah perisinan di hutan.
  9. Bawa kepentingan masyarakat Sumatera Barat, jangan bawa kepentingan pusat ke Sumatera Barat.
  10. Penyelesaikan Akar Bencana Ekologis yang berasal dari investasi dan aktivitas ekonomi manusia. 

 

BACA JUGA