Kota Solok, sumbarsatu.com—Komunitas Teater Balai yang bermarkas di Kota Bukittinggi akan mementaskan teater Gadih Bujang di Komunitas Gubuak Kopi Kota Solok pada Selasa, 26 November 2024.
Pementasan ini merupakan kegiatan yang diselenggarakan oleh Komunitas Teater Balai bersama Ahmad Ridwan Fadjri sebagai penggagas ide pertunjukan sekaligus sutradara yang mendapatkan bantuan hibah program Fasilitasi Pemajuan Kebudayaan Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah III Sumatera Barat.
Pertunjukan Bujang Gadih ini merupakan salah satu upaya untuk mengembangkan kesenian ronggiang yang berkembang di daerah Murao Karawai, Pasaman Barat ke dalam bentuk garapan baru (kontemporer).
Diketahui, seni tradisi ronggiang yang berkembang baik di Pasaman Barat merupakan salah satu warisan tak benda yang mengacu pada tarian Ronggeng Jawa. Seni ronggiang dalam perjalanannya telah mengalami proses akulturasi antara budaya tradisi seni ronggeng dangan seni tradisi Minangkabau.
Pada dasarnya ronggiang Pasaman Barat dipentaskan dalam bentuk tradisi lisan yang dikolaborasikan dengan pantun rakyat serta diiringi oleh musik dan tarian. Namun kini seni ronggiang telah ditinggalkan dan hanya beberapa maestro saja yang tersisa di Pasaman Barat.
Maka, dengan kekhawatiran demikian itu, Komunitas Teater Balai mengarapnya menjadi sebuah pertunjukan teater kontemporer yang berbasis pada seni tradisi ronggiang.
Menurut Ahmad Ridwan Fadjri, sutradara pementasan teater Bujang Gadih, mengatakan, keberadaan seni tradisi ronggiang di era kekinian sudah mulai pudar. Masyarakat sudah tidak banyak lagi meminatinya.
“Pada pertunjukan Bujang Gadih ini saya mencoba menjadikan ronggiang sebagai ide pokok garapan pertunjukan teater. Pertunjukan yang menyesuaikan dengan gaya masyarakat pada saat ini. Menggarap pertunjukan baru dengan teknis pemanggungan, visual efek, dan musik elektronik,” kata Ahmad Ridwan.
Ia menjelaskan, tokoh Gadih Bujang dijadikan tema dalam garapan ini. Karakter Gadih Bujang dan gagasan yang terkandung di dalamnya dibedah dan diteliti secara lebih dalam.
“Garapan tersebut akan merancang Gadih Bujang sebagai tokoh yang mempertahankan eksistensinya dengan berbagai alasan yang dimiliki. Dia akan bermonolog untuk menjelaskan dilema yang dialaminya,” sebutnya.
Secara struktur garapan Bujang Gadih, akan menggunakan gaya teater fisik. Lazimnya teater semacam ini menggunakan gerakan dan kekuatan tubuh sebagai media menyalurkan ekspresi dan emosi.
“Para pemain dalam garapan kali ini akan meriset gerakan ronggiang secara tradisional dan mengembangkannya dalam gerak tubuh. Sementara dalam hal musik juga mengembangkan gaya permainan musik ronggiang kemudian mengolahnya menjadi gaya music elektronik,” terangnya.
Selain itu, tambahnya, pada garapan mengeksplorasi konsep paga diri untuk menambah kesan magis/mistis di dalam pementasannya.
Konsep garapan pertunjukan teater dimaksudkan mengembalikan eksistensi ronggiang Pasaman dan kembali menjadi sarana hiburan dan tentu saja merawatnya agar tidak punah.
Biasanya, seni tradisi ronggiang dimainkan sembilan orang yang terdiri dari satu orang ronggiang, tiga orang penampil pria, dan lima orang pemain musik. Peronpuggiang bertugas mendendangklan pantun-pantun di dalam pertunjukannya.
Pemain ronggiang juga harus bersedia berpenampilan seperti perempuan. Ia juga biasanya memiliki paga diri (ilmu batin penjaga diri) yang diperlukan untuk memastikan keamanan saat melakukan pementasan.
“Sebab dalam pertunjukan budaya di daerah-daerah—khsusunya di Pasaman Barat—masih dipercaya adanya hal-hal magis yang mengitari sisi kehidupan masyarakat di sana. Disinyalir bahwa di setiap kegiatan selalu ada pihak-pihak yang akan menggunakan ilmu magis untuk mencelakai orang lain,” papar Ahmad Ridwan Fadjri.
Proses latihan pertunjukan teater Bujang Gadih yang berbasis pada seni tradisi ronggeng di Pasaman
Sejarahnya ronggiang sudah eksis sejak zaman kerajaan. Kesenian ini tersebar hampir di seluruh wilayah Indonesia dengan nama yang berbeda. Sebut saja lengger di Yogyakarta, ronggeng atau topeng babakan, doger, taledek di Sunda, dendang sayang di Aceh, dondang sayang di Melaka, Kapri di Barus, tarian ronggeng di Pasaman, katumbak di Pariaman, gamat di Kota Padang, gandit di Kalimantan, dan pajoge di Sulawesi. Namun yang menjadi pembeda antara Ronggiang Pasaman dengan jenis-jenis kesenian yang disebutkan adalah pada sastra lisan dan gaya tarian khas Minangkabau.
Pada pertunjukan ini, yang akan menjadi pembeda antara ronggiang dengan jenis kesenian yang serupa yaitu pada peran Gadih Bujang. Gadih Bujang adalah representasi dua sisi personal manusia yang diperankan oleh satu orang (laki-laki dan perempuan). Hal tersebut dikarenakan dulunya masyarakat Minang tidak memperbolehkan perempuan untuk beraktivitas sampai tengah malam.
Sementara pertunjukan ronggiang sendiri pada umumnya dipentaskan sampai tengah malam bahkan sampai pada waktu mendekati subuh. Oleh sebab itu pemain dalam pertunjukan ronggiang dahulunya adalah laki-laki, yang merangkap memerankan perempuan. SSC/AENW