Korban kekerasan terhadap warga sipil yang diduga dilakukan oleh prajurit militer dari satuan Batalyon Armed 2/105 Kilap Sumagan terhadap 9 warga sipil di Kecamatan Sibiru-biru, Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara, Jumat, 8 November 2024
Deli Serdang, sumbarsatu.com—Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mengecam tindakan kekerasan yang diduga dilakukan oleh prajurit militer dari satuan Batalyon Armed 2/105 Kilap Sumagan terhadap 9 warga sipil di Kecamatan Sibiru-biru, Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara.
Akibat tindak kekerasan tersebut 1 orang warga meninggal dunia dan 8 korban lainnya luka berat. KontraS juga turut mengucapkan rasa belasungkawa kepada masyarakat Desa Cinta Adil, Kecamatan Sibiru-biru, Kabupaten Deli Serdang yang turut menjadi korban.
Peristiwa kekerasan ini terjadi pada Jumat, 8 November 2024 pukul 17.30. Ketika itu, 2 prajurit TNI atas nama Pratu MAL dan Pratu RWP pergi untuk mengisi bahan bakar di SPBU yang berada di Jalan Besar Deli Tua, Aji Baho, Biru-biru, Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara. Pascamengisi bahan bakar kendaraan serta berjalan-jalan sore, kedua prajurit tersebut kembali menuju Asrama. Ketika keduanya memasuki Jalan Aji Baho, mereka bertemu dengan beberapa remaja yang mengendarai 3 sepeda motor dengan kecepatan tinggi sembari memainkan gas motor. Melihat hal tersebut, Pratu MAL dan Pratu RWP mencoba menegur para remaja tersebut.
Rekan-rekan remaja yang tidak terima akan teguran tersebut, akhirnya memberhentikan kedua prajurit tersebut tidak jauh dari SPBU yang terletak di Jalan Aji Baho. Terjadi perselisihan antara prajurit dan beberapa rekan-rekan remaja tersebut. Lalu selanjutnya, setelah apel malam, Pratu MAL dan Pratu RWP menceritakan kejadian yang mereka alami sore itu kepada rekan-rekannya. Mendengar cerita tersebut, puluhan prajurit TNI mendatangi dan menyerang Desa Cinta Adil, Kecamatan Sibiru-biru, Kabupaten Deli Serdang, yang diduga menjadi tempat tinggal warga yang sebelumnya terlibat perselisihan.
Akibatnya 1 warga berinisial RB berusia 61 tahun meninggal dunia akibat luka bacok di punggung, retak pada bagian kepala, dan luka tusuk pada bagian mata serta 8 korban lainnya mengalami luka-luka seperti lebam akibat pukulan benda tumpul serta dipopor oleh senjata api, robek pada bagian kepala, dan lengan putus akibat bacokan benda tajam.
Saat ini seluruh korban luka-luka tersebut sedang berada di Rumah Sakit Putri Hijau, yang terletak di Jalan Putri Hijau No.17, Kesawan, Medan Barat, Kota Medan guna mendapatkan perawatan intensif.
Lebih lanjut, akibat tindak kekerasan dan penganiayaan tersebut, setidaknya terdapat 33 prajurit Batalyon Armed 2/105 Kilap Sumagan yang sedang diperiksa oleh Polisi Militer Kodam I/Bukit Barisan.
Berkenaan dengan kronologi awal yang KontraS dapatkan, dan analisis awal yang dapat diberikan adalah tindak penganiayaan serta kekerasan yang dilakukan oleh prajurit Batalyon Armed 2/105 Kilap Sumagan jelas telah melanggar tugas sebagai prajurit TNI sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Republik Indonesia.
“Bahwa, prajurit TNI selain memiliki tugas pokok untuk menjaga kedaulatan negara, mereka juga memiliki tugas untuk melindungi segenap bangsa dan tumpah darah Indonesia. Namun, dari peristiwa ini yang menyebabkan 1 warga meninggal dunia dan 8 korban lainnya mengalami luka berat, kami menilai bahwa TNI telah gagal menjalankan prinsip-prinsip dasar perlindungan dan gagal dalam melaksanakan tugasnya sebagai alat pertahanan negara,” seperti dikutip dalam relis KontraS di laman webnya, Selasa. 12 November 2024.
Menurut KontraS, dalam konteks hak asasi manusia, penyerangan yang dilakukan ke pemukiman masyarakat ini tentunya juga telah melanggar hak atas rasa aman yang dimiliki oleh masyarakat sebagaimana yang termuat dalam Pasal 30 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia.
Lebih lanjut, tindak kesewenang-wenangan ini turut merenggut hak dasar setiap manusia, yakni hak untuk hidup. Untuk itu kami menilai prajurit TNI tersebut telah melanggar ketentuan di dalam Pasal 6 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan Internasional Covenant on Civil and Political Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik).
“Sebagaimana kronologi yang telah kami jabarkan di atas, kami menilai bahwa tindak kekerasan yang dilakukan oleh Batalyon Armed 2/105 Kilap Sumagan telah memenuhi unsur Pasal 340 dan Pasal 354 ayat (1) dan ayat (2) KUHP. Hal ini terlihat oleh adanya jeda waktu antara perselisihan yang terjadi pada sore hari dengan waktu terjadinya penyerbuan dan tindak kekerasan yang dilakukan,” sebut KontraS.
Lebih lanjut, perencanaan ini juga kami lihat oleh adanya benda tajam serta senjata api yang dibawa prajurit TNI untuk melakukan penyerbuan ke Desa Cinta Adil, Kecamatan Sibiru-biru, Kabupaten Deli Serdang.
KontraS menuliskan, tindak kekerasan serta penyerbuan ini juga tidak dapat dilepaskan oleh kosong atau minimnya pengawasan yang dilakukan oleh komandan atas kinerja prajuritnya.
“Untuk itu, kami menilai bahwa Komandan Batalyon Armed 2/105 Kilap Sumagan dapat dimintai pertanggungjawaban melalui mekanisme pertanggungjawaban komando sebagaimana diatur dalam Pasal 42 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.”
Lebih lanjut, peristiwa ini kembali menambah banyaknya jumlah kasus kekerasan yang dilakukan prajurit TNI terhadap masyarakat sipil. Berdasarkan pemantauan yang telah KontraS lakukan medio Oktober 2023 hingga September 2024, telah terjadi 64 peristiwa kekerasan dengan rincian 37 tindakan penganiayaan, 11 tindak penyiksaan serta 9 kasus intimidasi. Dari keseluruhan peristiwa tersebut menyebabkan 75 korban luka-luka dan 18 korban jiwa.
Tindakan kekerasan yang dilakukan oleh prajurit TNI tentu tidak dapat dibenarkan dengan dalih apapun. Peristiwa ini kembali menunjukan bahwa arogansi dalam tubuh prajurit TNI masih menjadi masalah yang serius dan harus segera dibenahi.
Sekalipun memang para prajurit TNI dibekali atau diperbolehkan untuk menggunakan tindak kekerasan dalam menjalankan tugasnya sebagai alat pertahanan negara, namun sudah sepatutnya tindak kekerasan tersebut tidak dipergunakan untuk menghadapi masyarakat sipil.
Selain itu, penting untuk dicatat bahwa proses penegakan hukum bagi prajurit TNI selama ini belum berjalan secara optimal. Peradilan Militer selama ini menjadi salah satu faktor langgengnya budaya impunitas didalam tubuh TNI. Nyatanya selama ini mekanisme peradilan militer dianggap tidak dapat menjamin prinsip fair trial, independensi, dan imparsialitas peradilan.
Hal ini sesuai dengan hasil pemantauan yang kami lakukan, dimana sepanjang Oktober 2023 hingga September 2024 lalu, setidaknya terdapat 131 vonis yang diberikan terhadap prajurit TNI yang melakukan tindak pidana. Namun hukuman yang diberikan cenderung sangat ringan dengan rentang hukuman 3-10 bulan penjara.
Padahal kasus yang mereka lakukan bukanlah kasus ringan, data kami menunjukan terdapat 123 kasus penganiayaan, 2 kasus pembunuhan, dan 6 kasus pembunuhan berencana.
Oleh karenanya, KontraS mendesak agar terduga pelaku dapat segera diproses dan diadili melalui mekanisme peradilan umum, bukan peradilan militer. Sebab, menurut kami, berdasarkan uraian dan fakta di atas telah jelas tergambar bahwa para terduga pelaku melanggar dan memenuhi unsur-unsur pasal yang tertulis dalam Pasal 340 dan Pasal 354 Ayat (1) dan (2) KUHP. Sejalan dengan hal itu, UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI telah mengisyaratkan bahwa prajurit TNI harus tunduk dan patuh terhadap kekuasaan peradilan umum dalam hal pelanggaran terhadap hukum pidana umum.
Berdasarkan analisis atas peristiwa kekerasan itu, KontraS mendesak agar Komisi I DPR RI untuk dapat melaksanakan fungsi pengawasan serta membentuk Satgas anti kekerasan TNI serta menjamin agar peristiwa serupa tidak kembali terjadi dimasa yang akan datang;
Juga mendesak Panglima TNI untuk melakukan pengawasan ketat serta tindakan tegas dengan memberikan sanksi administratif berupa pemecatan tidak hormat bagi prajurit TNI yang terlibat dalam dugaan tindak pidana. Langkah ini penting untuk mencegah terulangnya kejadian serupa di masa depan;
KontraS mendesaj Polisi Militer Kodam I/Bukit Barisan untuk melakukan serangkaian upaya hukum secara transparan dan akuntabel terhadap para terduga pelaku, dan selanjutnya melimpahkan peristiwa kepada Kepolisian untuk diproses lebih lanjut menggunakan mekanisme pidana umum;
KontraS mendesak Kapolda Sumatera Utara memerintahkan jajarannya untuk mengambil alih kasus ini dengan melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap terduga pelaku secara segera serta memberikan akses informasi seluas-luasnya kepada korban dan keluarga korban;
“Kami desak Komnas HAM melakukan investigasi lebih lanjut atas dugaan pelanggaran HAM yang terjadi. Dan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) untuk dapat berperan aktif dalam memberikan pelayanan perlindungan terhadap para korban atas peristiwa ini,” tulis KontraS. SSC/*