Bisnis Asia Pasifik Menghadapi Penipuan Global yang Canggih

Selasa, 06/08/2024 16:32 WIB

Singapura, sumbarsatu.com—Laporan Penipuan Global dari GBG merupakan hasil survei terhadap lebih dari 500 profesional pencegahan penipuan di wilayah Asia Pasifik untuk mengungkapkan cara yang mereka lakukan dalam melawan penipuan

Sekitar 97 persen  responden Asia Pasifik merasa khawatir tentang tren penipuan yang lebih terorganisir dan tersebar luas, dengan 77 persen di antaranya yang memperhatikan adanya peningkatan yang signifikan dalam kecanggihan penipuan dalam 12 bulan terakhir.

Terdapat peningkatan dan berbagai jenis penipuan di seluruh industri yang dilibatkan dalam survei, termasuk penyamaran keberadaan digital (41%), pengambilalihan rekening/akun (40 persen), penyalahgunaan bonus atau promosi (39%), serta pencucian uang dan money mule atau jenis penipuan yang meminta korban untuk menerima sejumlah uang ke rekening, untuk ditransfer ke rekening orang lain (39%).

Riset terbaru dari GBG, pakar terkemuka dalam identitas dan lokasi global, telah mengungkapkan bahwa hampir semua bisnis Asia Pasifik merasa khawatir tentang penipuan yang lebih terorganisir dan tersebar luas.

Temuan tersebut merupakan bagian dari Laporan Penipuan Global 2024 terbaru dari GBG, yang melakukan survei terhadap bisnis di Australia, Selandia Baru, Malaysia, Indonesia, Thailand, dan Filipina, yang bergerak di bidang perbankan, perdagangan elektronik, pelayanan keuangan, teknologi keuangan, permainan, asuransi, pinjaman, dan telekomunikasi untuk mengukir tingkat dan jenis penipuan, serta bagaimana dampaknya terhadap bisnis, dan bagaimana cara mereka menanggapinya.

Lanskap Penipuan Asia Pasifik

Dalam hal meningkatnya lanskap penipuan yang makin canggih dan terorganisir, 70% dari profesional pencegahan penipuan telah mengalami peningkatan jumlah upaya penipuan jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya, angka ini jauh lebih besar daripada EMEA (Europe, Middle East, and Africa) atau Eropa, Timur Tengah, dan Afrika (55 persen) dan Amerika Serikat atau AS (48 persen).

Hal ini ditambah dengan prevalensi dari penipuan yang mengincar peluang dan kemudahan sebagai suatu ancaman yang terkait bagi hampir dua pertiga (63%) dari responden yang mengikuti survei.

Dalam hal risiko keuangan, 11% mengatakan bahwa rata-rata nilai transaksi dari upaya serangan penipuan di organisasi mereka berkisar antara US$35.000 hingga US$50.000.

Profesional pencegahan penipuan di wilayah ini mengakui evolusi GenAI sebagai tren yang paling signifikan dalam verifikasi identifikasi dan penipuan keuangan dalam tiga sampai lima tahun mendatang, dengan 35 persen di Asia Pasifik yang percaya bahwa inilah ancaman terbesar, jika dibandingkan dengan 27 persen di EMEA dan AS.

Ada banyak alasan di balik kekhawatiran yang makin meningkat ini. 27% di antaranya menganggap GenAI sebagai suatu alat untuk menciptakan lebih banyak identitas sintetis yang meyakinkan, sedangkan 26 persen percaya bahwa GenAI akan meningkatkan akurasi dokumen identitas yang palsu dan memiliki pengaruh yang kuat dalam phishing (pengelabuan) dan smishing (pengelabuan melalui pesan teks).

Apakah bisnis sudah dipersiapkan dengan baik untuk menangkis penipuan?

Meskipun kemunculan berbagai teknologi baru termasuk AI (Artificial Intelligence) atau Kecerdasan Buatan memungkinkan penipu untuk mengembangkan taktik mereka, tetapi hampir seperlima (19%) dari profesional pencegahan penipuan tidak diperlengkapi dengan teknologi yang tepat untuk melawan jaringan kriminal canggih yang menggabungkan kejahatan siber, penipuan, pencurian identitas, dan pencucian uang untuk melakukan penipuan ujung-ke-ujung.

Hal ini diperburuk dengan ketiadaan sinyal risiko pada saluran bisnis mereka. 28% di antaranya menemukan bahwa memahami tren penipuan terkini merupakan tantangan terbesar bagi mereka, sedangkan 27 persen menunjukkan bahwa mengidentifikasi dan menghentikan penipuan pada saat nasabah/pelanggan baru bergabung merupakan salah satu tantangan terbesar, terutama ketika kebutuhan ini harus diseimbangkan dengan proses perjalanan nasabah/pelanggan lancar.

Sebagian besar profesional pencegahan penipuan mengakui bahwa kolaborasi dan saling berbagi informasi identitas lintas sektor bisa menjadi pembeda strategis dalam melawan penipuan, dengan Selandia Baru (97%) dan Filipina (88%) sebagai yang terdepan.

Pada kenyataannya, 81% responden sudah bergabung dalam konsorsium informasi identitas saat ini, yang menghubungkan transaksi yang terjadi di seluruh dunia dan membagikan informasi konsumen internasional antar bisnis, lintas sektor dan batas negara.

Namun, meskipun sangat ingin melakukannya, ada kurang dari setengah responden yang mengambil langkah aktif untuk melawan penipuan bersama-sama dengan cara berpartisipasi dalam forum industri dan pertukaran pengetahuan (47 persen), berinvestasi dalam solusi teknologi yang memudahkan pertukaran data yang aman (46%), serta bermitra dengan lembaga penegak hukum untuk pembagian informasi (46%).

Pada saat ini, 83 persen dari responden yang mengikuti survei percaya bahwa organisasi merasa terlalu khawatir dalam mempertahankan keunggulan kompetitif untuk berpartisipasi dalam kolaborasi melawan penipuan.

Selain itu, hampir 4 dari 5 (79 persen) percaya bahwa upaya yang dilakukan oleh pemerintah global masih belum cukup untuk mendukung kolaborasi lintas sektor. Kelelahan fisik dan mental sering terjadi dalam melawan penipuan

Seluruh responden (100%) mengatakan bahwa mereka kekurangan tidur karena risiko penipuan terhadap organisasi mereka, dengan verifikasi identitas (46%) dan sumber daya tidak memadai (44 persen) yang teridentifikasi sebagai tantangan teratas yang membuat mereka harus tetap terjaga pada malam hari.

Beban yang berat ini juga mengakibatkan kesejahteraan mental yang lebih buruk bagi para profesional pencegahan penipuan, dengan hampir tiga perempat (70%) yang menjadi korban penipuan itu sendiri.

"Laporan terkini dari kami menghasilkan suatu gambaran yang mengkhawatirkan dalam lanskap penipuan di Asia Pasifik. Bisnis menghadapi lonjakan dalam upaya penipuan, tetapi serangan ini menjadi lebih terorganisir dan rumit karena adanya teknologi seperti Generative AI," kata Carol Chris, Manajer Umum Asia Pasifik di GBG, dalam relis yang diterima sumbarsatu, Selasa 6 Agustus 2024.

"Kolaborasi lintas industri sangat penting dalam memberantas penipuan, tetapi kita harus mengatasi permasalahan yang ada terlebih dahulu. Kami mendesak para pelaku usaha untuk mengesampingkan persaingan dan bekerja sama untuk melampaui manuver para pelaku penipuan. Hal ini tidak hanya akan melindungi organisasi, tetapi juga menawarkan dukungan yang sangat penting terhadap para profesional pencegahan penipuan yang berada di garis depan," tambahnya.

Untuk lebih banyak temuan, dan untuk mengunduh Laporan Penipuan Global selengkapnya, silakan kunjungi: https://hubs.ly/Q02HVSYq0

Riset tersebut dilakukan melalui survei daring oleh Censuswide. Censuswide melakukan survei terhadap 520 CXO (Chief Experience Officer), Wakil Presiden, direktur, dan manajer yang berperan dalam hal risiko/penipuan, pengoperasian, dan kepatuhan, antara tanggal 16 dan 24 Mei 2024 sebagai berikut:

Sektor pelayanan keuangan (termasuk dana pensiun), asuransi, teknologi keuangan (termasuk pembayaran dan pengiriman uang), perbankan, pinjaman, telekomunikasi, perdagangan elektronik, permainan, dan pertaruhan

Ukuran Perusahaan (pendapatan): <£50 juta / £50 juta - £100 juta / £100 juta - £500 juta / £500 juta - £1 miliar / >£1 miliar. Australia (213), Selandia Baru (100), Malaysia (52), Indonesia (52), Thailand (52), Filipina (51)

GBG adalah pakar terkemuka dalam identitas global dan lokasi. Di tengah dunia digital yang makin berkembang, GBG membantu bisnis bertumbuh dengan cara menyediakan informasi intelijen kepada mereka agar dapat membuat keputusan yang terbaik dalam hubungannya dengan pelanggan yang sangat penting.

Pada tiap detik, data global, teknologi yang lincah, dan tim pakar kami, memberdayakan lebih dari 20.000 organisasi terkenal di seluruh dunia untuk menjangkau dan memercayai pelanggan mereka. SSC/MN

Iklan

BACA JUGA