Pantai Flores>Sumber KITLV
OLEH Yenny Narny (Dosen FIB Unand)
APA kabar Pakansier. Dari Papua kita putar haluan ke Flores, pulau “cantik” yang berada di kawasan Nusa Tenggara Timur. Di pulau ini, seperti biasa kita akan menelisik kisah-kisah di periode kolonial. Kali ini kita mulai dengan kisah kelam tentang kebencanaan yang tersimpan di pulau ini.
Terletak di utara Flores Back Arc Thrust, sebuah zona sesar dorong back-arc di busur Sunda-Banda Timur, Indonesia, yang membentang dengan orientasi timur-barat dari utara Flores hingga barat ke Sumbawa, Lombok, dan Bali. Sesar ini mampu menimbulkan tekanan signifikan di daerah tersebut dan dapat memicu gempa bumi serta aktivitas seismik lainnya, (Sianipar, 2012).
Dari catatan seismik Pemerintah Kolonial Belanda, disebutkan bahwa gempa kecil hingga besar telah terjadi di pulau ini dan ini menunjukkan bahwa wilayah ini sering mengalami aktivitas seismik berulang. Salah satunya adalah gempa bumi yang terjadi di pada tahun 1820.
Gempa ini, yang berpusat di Laut Flores menyebabkan kerusakan parah dan dirasakan hingga Sumbawa dan Sulawesi, menimbulkan tsunami di Pelabuhan Bulukawa. Dilaporkan bahwa 500 orang meninggal akibat peristiwa ini (Wichmann, 1918).
Gempa signifikan lainnya terjadi pada tahun 1868 dengan intensitas yang bervariasi. Pada tanggal 14 Februari, dua gempa terjadi di Larantuka pada malam hari dengan arah barat daya-ke-timur laut. Kemudian, pada 15 Maret, gempa lainnya melanda Ende (Flores tengah) dengan arah selatan-ke-utara.
Dua bulan kemudian, pada 3 Mei, gempa lainnya terjadi di lokasi yang sama. Pada 27 Desember 1868, sekitar pukul 09:00 pagi, tiga guncangan tercatat di Larantuka (Flores) dengan arah barat daya-ke-tenggara (Bergsma, 1868). Namun, tidak ditemukan catatan kerusakan atau dampak lainnya.
Pada 20 Oktober 1938 kembali terjadi gempa yang menyebabkan kerusakan bangunan dan longsor di Larantuka (BMKG, 2019). Serangkaian gempa yang terjadi pada abad ke-19 dan awal abad ke-20 menunjukkan aktivitas seismik yang signifikan di wilayah Flores, khususnya di Larantuka dan Ende.
Meskipun beberapa gempa, seperti yang terjadi pada tahun 1868, tidak meninggalkan catatan kerusakan atau dampak besar, peristiwa seismik ini tetap menjadi bagian penting dari sejarah geologi lokal. Gempa pada 20 Oktober 1938 yang mengakibatkan kerusakan bangunan dan longsor di Larantuka menegaskan bahwa wilayah ini terus menghadapi risiko gempa bumi yang signifikan.
Memahami riwayat gempa ini penting untuk meningkatkan kesiapsiagaan dan mitigasi bencana di masa depan, serta untuk menghargai kekuatan dan dinamika bumi yang membentuk kawasan ini. ***