
tt
Laporan Angelique Maria Cuaca
Padang, sumbarsatu.com—Panggung seni—apakah berupa prosenium, galanggang terbuka, arena, maupun ruang-ruang publik—merupakan salah satu bagian atau elemen penunjang memanifestasikan cipta, rasa, dan karsa dalam bentuk ekspresi seni sebagai warisan budaya yang berkelanjutan.
Pelbagai peristiwa budaya ditampilkan di panggung seni, baik seni tradisi maupun modern, merupakan peristiwa budaya bersifat kontekstualisasi, temporer, dan kesesaatan.Maka, peristiwa budaya dan seni—yang sarat dengan estetika, nilai-nilai, hasil proses kerja kreatif dan artistik, ingatan komunal, dan informasi pengetahuan—perlu pencatatan, perekaman dokumentatif sebagai sebuah arsip pengetahuan historis yang berpotensi untuk diwariskan keberlanjutan dari generasi ke generasi.
Begitu konklusi yang dihasilkan dalam diskusi bedah buku Memunggungi Panggung Seni: Catatan dari Kursi Penonton karya Nasrul Azwar, yang dilaksanakan Kantor Balai Pelestarian Kebudayaan (BPK) Wilayah III Provinsi Sumatera Barat, Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi, pada Kamis, 13 Juni 2024 di Padang.
Buku ini diterbitkan Kabarita Padang atas dorongan program Fasilitasi Pemajuan Kebudayaan BPK III tahun 2023 berisi 31 tulisan tentang peristiwa budaya dan aktivitas pertunjukan seni yang ia hadiri dalam rentang 17 tahun, sejak tahun 2004-2021. Bisa dibilang, buku setebal 238 halaman ini (cetakan I, Oktober 2023) merupakan arsip yang merekam jejak pelaku seni pertunjukan di Sumatera Barat.
Kepala BPK III Sumatera Barat Undri menyebutkan, selama ini peristiwa-peristiwa budaya yang berlangsung di tengah masyarakat kerap cuma sebatas ota lapau dan berakhir begitu saja seiring dengan selesainya peristiwa budaya itu. Tak banyak penulis yang melakukan reportase, pencatatan kritis dan mendalam tentang itu. Buku Memunggungi Panggung Seni: Catatan dari Kursi Penonton yang dibedah hari ini menjawab kegelisahan kita bersama perihal langkanya pencatat itu.
“Kerap kali peristiwa budaya hanya berakhir di ota lapau. Buku ini hasil kerja pendokumentasian seni pertunjukan di Sumatera Barat yang sering luput kita lakukan selama ini. Pencatatan dalam perspektif sejarah sangat penting, Dalam buku Ini rekam jejak peristiwa-peristiwa seni pertunjukan di Sumatera Barat tercatat, Tentu dengan demikian, rekam jejaj itu bisa kita transformasikan kepada generas-generasi selanjutnya,” papar Undri, juga seorang sejarawan, saat menyampaikan pernyataan penutup kegiatan yang dihadiri 60 orang ini.
Ia berharap konsistensi Maknaih—demikian Nasrul Azwar akrab disapa—terus melanjutkan menulis setiap perisriwa-peristiwa seni-budaya di Sumatera Barat. “Kita sangat kekurangan dan lemah di bagian pencatatan, pengarsipan, dan pendokumentasian. Saya apresiasi apa yang telah dilakukan Maknaih ini.”
Menurut Undri, ada banyak peristiwa seni-budaya pada kantong dan kominitas seni di 19 kabupaten-kota di Sumatera Barat yang belum maksimal terdokumentasikan dengan baik.
“Saya setuju seperti yang disampaikan pembicara Kurniasih Zaitun, jika ada penulis mencatat pada masing-masing 19 kota-kabupaten peristiwa-peristiwa budaya secara intens dan bergelora alangkah kayanya Sumatera Barat dengan dokumentasi dan arsip rekam jejak dan catatan sejarah peristiwa seni dan budaya,” urai Undri.
Diskusi bedah buku Memunggungi Panggung Seni: Catatan dari Kursi Penonton menghadrikan tiga pembedah, yakni Kurniasih Zaitun, Tatang Rusmana, keduanya dari ISI Padang Panjang, dan Rizal Tanjung, seorang seniman teater. Sedangkan pengatur jalannya disikusi ditata Andria C. Tamsin dari FBS UNP.
Dalam paparannya, Rizal Tanjung mengatakan soal pentingnya pengarsipan. “Ada banyak penulis kritik seni dan reportase di kurun waktu 1970-980 hingga 2000-an namun selama masih tersimpan di arsip pribadi penulis, belum terdokumentasi dalam sebuah penerbitan buku. Sementara, Nasrul Azwar telah menerbitkan catatannya sejak 2004-2021,” kata sutradara dari Old Track Theatre.
Ia menyebutkan, dalam buku Memunggungi Panggung Seni: Catatan dari Kursi Penonton ada 2 tulisan yang mencatat pementasan Old Track Theatre. “Setelah vakum beberapa lama, pada 2004 saya mulai menggarap teater lagi. Ada dua tulisan tentang pertunjukan yang saya sutradarai dalam buku itu.”
Sementara Tatang Rusmana menilai tulisan-tulisan yang dijadikan buku itu tidak layak disebut buku karena tidak pakai “kata pengantar”, “ucapan terima kasih”, “pendahuluan”, “daftar pustaka”, “glosarium”, dan selain itu buku ini tidak runtut disusun sehingga orang bingung membacanya.
“Buku ini tidak layak disebut buku karena tidak ada ditulis kata pengantar, ucapan terima kasih, pendahuluan, daftar pustaka, glosarium, dan ditulis tidak fokus. Buku ini tidak runtut disusun sehingga orang bingung membacanya,” urai Tatang dengan suara berteriak-teriak dan dan terkesan marah-marah.
Narasumber lainnya, Kurniasih Zaitun, salah seorang perempuan pelaku seni pertunjukan dan editor naskah buku ini berpendapat, buku ini memberi dan membuka kesadaran publik seni terutama di Sumatera Barat tentang pentingnya tata kelola iven seni budaya dan pengarsipan, yang selama ini sisi ini tampak tidak jadi perhatian pelaku seni selama ini
“Buku ini tidak hanya membicarakan kritik pertunjukan seni, apresiatif, kesan terhadap peristiwa-peristiwa budaya yang dilakukan para pelaku seni tapi juga memetakan siapa kreator yang terlibat dari perkembangan seni pertunjukan di Sumatera Barat,” kata perempuan yang kerap disapa Tintun ini.
Tintun menyebutkan, ada puluhan kreator di Sumatera Barat yang dibicarakan dalam 31 tulisan di buku ini. sembilan tulisan memuat tujuh iven seni, 10 tulisan memuat 40 kreator laki-laki dari berbagai kelompok seni, dan sembilan tulisan memuat sembilan kreator perempuan.
“Data-data ini tentu menarik jika ditelusuri lebih dalam perjalanan kreatif mereka. Dan sejauh mana peran dan kontrbusinya terhadap perkembangan seni di Sumatera Barat atau Indonesia. Pemetaan dan identifikasi ini, saya kira cukup penting,” terang sosok perempuan sutradara di komunitas seni Hitam Putih ini.
Selain itu, tambahnya, dalam buku yang ditulis Maknaih ini juga ada beberapa iven yang belum tentu dihadiri oleh banyak orang. Reportase dalam tulisan Maknaih membantu banyak orang untuk memahami pesan dari suatu pertunjukan yang tidak mereka hadiri.
A.R. Rizal, novelis dan jurnalis dari Harian Singgalang, salah seorang peserta merespons paparan tiga pembicara. Menurutnya, tulisan-tulisan yang terhimpun dalam buku Memunggungi Panggung Seni: Catatan dari Kursi Penonton menerapkan prinsip kerja jurnalistik dalam bentuk laporan mendalam. Mak Naih tidak membuat feature profil, melainkan menganalisis karya dan sisi implisit dari sebuah pertunjukan.
Salah seorang peserta merespons paparan narasumber dalam diskusi bedah buku 'Memunggungi Panggung Seni" karya Nasrul Azwar.
Dijelaskan penulis novel Kenduri Arwah ini, perwajahan dan latar belakang komunitas tergambar dari analisis dan tulisan tersebut. Bagaimana Nan Jombang ataupun Nan Tumpah membangun komunitasnya di tengah berbagai macam keterbatasan dan minim apresiasi. Pengalaman yang tercatat itu memberi sumbangsih dan berkontribusi pada dunia seni pertunjukan, terutama di Sumatera Barat.
“Ini bukan kerja jurnalistik sederhana, melainkan kerja liputan mendalam yang dsiertasi dengan apresiasi dan kritik. Mak Naih menulis tidak dari rilis penyelenggara. Tapi ia terjun dan mengamati langsung secara detail. Tak banyak jurnalis yang mampu mengangkat esensial dari sebuah karya. Bagi saya, catatan jurnalistik ini layak untuk diapresiasi,” ujarnya.
Yusrizal KW, jurnalis yang puluhan tahun menggawangi ruang seni-budaya di Harian Padang Ekspres dan seorang sastrawan mengatakan, sebuah reportase kebudayaan harus disajikan secara gamblang sehingga mudah dipahami oleh orang yang awam dengan seni budaya. Tujuannya agar jadi pintu masuk untuk memahami kebudayaan atau kesenian dengan lebih mendalam.
“Buku ini ditulis untuk media dan berangkat dari peristiwa sudah berlalu. Tulisan dalam buku itu bersifat kontekstualisasi. Jadi tulisan ini sudah terjadi sebelum paragraf pertama itu ditulis. Catatan ini sudah menjadi fakta dan sekaligus energi kita melihat masa depan seni dan kebudayaan dalam arti seluasnya. Tantangan kita ke depan bukan soal pertengkaran dan statemen yang tak berguna ini. Tapi perkara bagaimana posisi seni dan budaya kita di mata kaum Gen Z dan Alfa,di masa depan, 20-30 tahun yang akan datang? Bagaimana wujud seni pertunjukan itu?” kata Yusrizal KW, penulis kumpulan cerpen Ayah, Anjing ini.
Ia melanjutkan, pembacaan soal teater di buku ini adalah bagian kecil dari segala perkembangan seni pertunjukan di Sumatera Barat. Dari buku ini ada harapannya agar kita bisa berpikir tentang masa depan seni pertunjukan, yakni generasi yang lahir hari ini.
Sementara itu, Hermawan, akademisi di Universitas Rokania, Riau, seorang sastrawan nasional, mengatakan, apa yang dipaparkan Tatang Rusmana dalam makalahnya itu adalah tulisan dalam format akademik, karya ilmiah, baik berupa skripsi, tesis, disertasi dan tugas akhir, maupun karya untuk jurnal-jurnal ilmiah.
“Format, struktur dan susunan sesuai standar penulisan karya ilmiah itu tidak berlaku untuk buku seperti yang diterbitkan Maknaih ini. Jadi agak aneh jika Tatang memaksa agar buku itu formatnya dalam beruk tugas akhir atau disertasi. Tidak masuk akal ini. Padahal buku Maknaih ini sudah pakai ISBN dan ini artinya sudah bisa dirujuk sebagai referensi,” urai Hermawan menjelaskan perkara ini. Hal senada juga disampaikan beberapa orang peserta lainnya.
Memaknai Frasa 'Memunggungi Panggung Seni'
Dalam perbincangan dan diskusi dengan Maknaih terkait dengan judul Memunggungi Panggung Seni: Catatan dari Kursi Penonton yang diartikan beberapa orang sebagai bentuk pelecehan terhadap seni pertunjukan karena arti ‘memunggungi’ itu sama dengan ‘mamantati’.
Ia menjelaskan, judul buku dengan frasa ‘memunggungi panggung seni’ itu bermakna konotatif. Pengertiannya tidak cocok jika dibaca secara harfiah berdasarkan arti leksikal.
“Jadi sesat pikir jika frasa ‘memunggunngi panggung seni’ itu dibaca secara harfiah, denotasi, dan berdasarkan susunan huruf. Memang memaknai frasa itu dituntut literasi seseorang yang sudah terbiasa dengan bacaan sastra dan buku-buku humanis. Frasa ‘memunggungi panggung seni’ sebuah merafora. Mengartikannya butuh kecerdasan juga,” terang Maknaih.
Agar mudah memahami maknanya, Maknaih mengilustrasikannya dengan seseorang yang mesuk ke gedung pertunjukan menyaksikan pementasan teater. Ia masuk lewat pintu utama. Lalu duduk di kursi paling depan. Ketika pertunjukan selesai lalu penonton bertepuk tangan. Lalu ia beranjak dari kursinya, keluar melewati pintu masuk tadi. Saat ia berjalan menuju pintu keluar, apakah ia berjalan mundur? Tentu tidak. Pasti ia berjalan seperti biasa dan ia punggungi panggung itu saat keluar. Semua orang yang menonton seperti itu.
“Nah pemaknaan seperti inilah yang saya maksud dengan ‘memunggungi panggung seni’ itu. Posisi saya sewaktu berjalan menuju pintu keluar pasti memunggungi panggung. Menangkap maknanya memang membutuhkan imajinasi. Jika imajinasi seseorang kosong atau tak terlatih berimajinasi, susah otaknya menangkap maknanya. Memaknainya butuh pengalaman, pikiran dan hati terbuka,” terang Maknaih.
Diskusi bedah buku berjalan dialektis dengan argumentatif masing-masing baik dari pembedah maupun peserta. Moderator Andria C Tamsin mengatur lalu lintas perbincangan cukup baik dan hangat. Bedah buku dibuka resmi oleh Jefrinal Arifin, Kepala Dinas Kebudayaan Sumatera Barat dan Undri, Kepala BPK III Provinsi Sumatera Barat. Tampak hadir Supriyadi, Kepala Taman Budaya Sumatera Barat, Mahatma Muhammad dan Fajry Chaniago dari KSNT, Syuhendri (Teater Noktah), Armeynd Sufhasril (Gaung Ekspose), Zamzami Ismail dan Fauzul el Nurca (Teater Size), Wannofri Samry (sejarawan), Dasmon Ori (Indo Jati), Gusrizal (Komunitas Seni Hitam Putih Padang Panjang), Ery Mefri (Nan Jombang), dan lain sebagainya. SSC