
Al Azhar Ujang Komarudin
Jakarta, sumbarsatu.com– Presiden Joko Widodo (Jokowi) disebut telah mencederai amanat reformasi 98. Hal itu disebabkan adanya Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Manajemen ASN yang mengizinkan anggota TNI-Polri aktif mengisi jabatan sipil di pemerintahan.
RPP tersebut dianggap sebagai upaya Jokowi mengaktifkan kembali Dwifungsi TNI-Polri seperti era kepemimpinan Presiden Soeharto dulu. Terkait hal itu, banyak pihak yang mengkritik RPP Manajemen ASN karena dianggap menghidupkan Dwifungsi TNI-Polri lagi.
Pengamat Politik Univeristas Al Azhar Ujang Komarudin mengatakan Jokowi telah keluar dari amanat reformasi 98. Jokowi dianggapnya telah mengangkangi rakyat Indonesia.
“Di zaman Jokowi inikan reformasi sudah dilewati, sudah dikangkangi, lihat saja KKN merebak, korupsi-korupsi di mana-mana, nepotisme di mana-mana,” kata Ujang kepada KBA News, Senin, 18 Maret 2024.
Menurut Ujang, saat ini Indonesia tengah kembali dibawa oleh Jokowi ke zaman orde baru (orba). Ujang mengatakan, Jokowi dan jajarannya telah memberika karpet merah kepada TNI-Polri untuk mengisi jabatan ASN.
Jokowi, lanjut Ujang, telah memasukan gaya baru dalam membawa Indonesia kembali ke zaman orba.
“Ya memang kita sedang menuju zaman orde baru lagi, orde baru dengan gaya yang baru. Jadi yang disalahkan jangan ABRI nya, tapi pemerintahnya, presidennya yang memberikan ruang tersebut,” ucapnya.
Selain itu, Ujang juga menyoroti sikap dan mentalitas pemerintah Indonesia yang masih seperi zaman orba. Kebiasaan yang ada pada zaman orban masih terlihat dan dilakukan oleh pemerintah hingga saat ini.
Nepotisme, KKN, hingga pelecehan hukum menurut Ujang adalah tindak-tindakan yang mencerminkan era Orba. Reformasi 98 hanya sebatas gerakan namun tidak mengubah sikap dan mental bangsa itu sendiri.
“Kita tidak pernah mengubah sikap, mental, dan perilaku kita, tidak pernah berubah bangsa ini. Jadi habitusnya, kebiasaan-kebiasaan orde baru yang saat ini terjadi lagi, mengulang saja sebenarnya,” imbuh Ujang.
Kondisi tersebut menurut Ujang hanya membawa Indonesia berputar pada satu poros dan berpotensi mengulang sejarah yang sama. Terlebih saat ini, Jokowi dengan ambisinya sangat menyayangi TNI-Polri sehingga berupaya memberikan jabatan sipil.
“Posisi Jokowi keliatannya suka tidak suka, senang tidak senang ingin menyenangkan TNI-Polri dengan memberikan jabatan yang ditempati ASN,” pungkasnya.
Berbahaya
Menurutnya, Indonesia berpotensi mengalami kemunduran jika Dwi Fungsi ABRI diterapkan kembali. Ujang mengatakan, antara TNI, Polri, dan ASN seharusnya tidak dicampur aduk.
“Itu berbahaya sebenarnya, kenapa? ini tandanya kita kembali ke zaman orde baru lagi. Kelihatannya Jokowi ingin mengembalikan format Orde Baru dulu. Mestinya antara TNI dan Polri punya jenjang karir tersendiri dengan ASN,” kata Ujang.
Langkah yang diambil Jokowi itu akan menghilangkan sebagian pekerjaan ASN. Jumlah ASN lambat laun akan semakin berkurang, dan hal itu tidak bagus untuk lapangan kerja Indonesia.
Selain itu, Ujang melihat alasan dihidupkannya kembali Dwifungsi TNI-Polri. Menurutnya, sistem jenjang karir di TNI-Polri berada dalam kondisi yang tidak sehat.
Banyak perwira-perwira tinggi yang nganggur dan tidak memiliki pekerjaaan apapun selain dari kesatuannya. Hal inilah yang mendorong Jokowi ingin memberikan posisi kepada perwira TNI-Polri di kementerian atau lembaga tertentu.
“Inikan memang tidak sehat struktur jenjang karir di TNI-Polri karena banyak perwira-perwira yang nganggur yang nonjob,” ucapnya.
Ujang menilai, langkah tersebut tetap tidak bisa dibenarkan. Mengaktifkan kembali Dwi Fungsi ABRI hanya akan membuka luka lama kepada rakyat.
Format Orba menurut Ujang bisa menambah kerusakan dan semakin memecah belah rakyat Indonesia.
“Kelihatan Jokowi ingin menyalurkanya ke kementerian-kementerian atau posisi yang ditempati ASN sekarang, dan ini sama dengan zaman orde baru, ini sangat disayangkan karena merusak,” pungkasnya. SSC/KBA