icw
Jakarta, sumbarsatu.com—Indonesia Corruption Watch (ICW) dan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menilai, pelaksanaan pemilu 20-24 memunculkan berbagai dugaan kecurangan yangh terjadi secara struktural. Berbagai organisasi masyarakat sipil, tak terkecuali ICW dan KontraS pun melakukan monitoring dan pendokumentasian terhadap berbagai bentuk kecurangan dalam Pemilu.
Rangkaian buruknya Pemilu ini, tegasnya, tentu tidak terlepas dari tangan Presiden Joko Widodo yang semenjak awal melakukan indikasi keberpihakan lewat berbagai pernyataan seperti ‘cawe-cawe’ dan ‘Presiden boleh kampanye.’
“Secara umum, kami menemukan sebanyak 310 peristiwa dugaan kecurangan meliputi pelanggaran netralitas, manipulasi suara, penggunaan fasilitas negara oleh kandidat, politik uang hingga bentuk-bentuk kecurangan lainnya,” kata Wakil Ketua Koordinator Kontras Andi Rezaldy dalam keterangan tertulis, Jumat (23/2/2024).
ICW dan KontraS mencatat beberapa kecurangan yang sifatnya struktural, sebab pelanggaran yang dilakukan melibatkan aparat struktural. Seperti penyelenggara pemilu, struktur pemerintahan, atau struktur aparatur sipil negara (ASN).
“Salah satunya yaitu pengerahan pejabat desa untuk mendukung pasangan calon 02, Prabowo-Gibran lewat Deklarasi Desa Bersatu, yang diselenggarakan pada tanggal 17 Desember 2023. Selain itu, pengerahan sejumlah Kepala Desa untuk memilih 02 dengan berbagai ancaman oleh petinggi asosiasi desa juga terjadi seperti halnya yang dialami oleh Kepala Desa di Ngawi,” terang Andi Rezaldy.
Bahkan, tambahnya, dalam beberapa kasus, hingga ke level teknis yakni sejumlah petugas KPPS tak luput melakukan kecurangan. Melalui pemantauan lewat media, setidaknya terjadi 34 kasus dugaan kecurangan yang melibatkan anggota KPPS yang terungkap ke publik.
Dari berbagai peristiwa tersebut pun, beberapa sudah diproses oleh penegak hukum, dalam hal ini Bawaslu atau Gakkumdu. Sebagai contoh, kasus kecurangan di Baubau, tepatnya di TPS 03 Kelurahan Tarafu, Kecamatan Batupoaro. Karena kecurangan yang dilakukan, akhirnya Bawaslu merekomendasikan untuk melakukan Pemungutan Suara Ulang (PSU).
Pola lainnya terjadi di TPS 45 Kelurahan Parangtambung, Kecamatan Tamalate, Kota Makassar, ketika petugas KPPS merusak sejumlah surat suara yang jumlahnya tak sedikit. Kendati telah ada Panwas dan Saksi, kecurangan tetap dilakukan oleh petugas di TPS tersebut.
Berdasarkan kasus-kasus kecurangan itu, ICW dan KontraS menilai sudah sewajarnya publik mempertanyakan hasil Pemilu, berangkat dari proses yang diduga curang dan bermasalah.
“Kami menilai bahwa KPU tidak maksimal menjalankan tanggung jawabnya sebagai penyelenggara Pemilu. Di sisi lain Bawaslu dalam kapasitasnya sebagai pengawas Pemilu, tampak disfungsional. Sehingga, kami pun menilai bahwa Pemilu 2024 dapat dikategorikan sebagai Pemilu terburuk di era reformasi,” papar Andi Rezaldy.
Rangkaian buruknya Pemilu ini, tegasnya, tentu tidak terlepas dari tangan Presiden Joko Widodo yang semenjak awal melakukan indikasi keberpihakan lewat berbagai pernyataan seperti ‘cawe-cawe’ dan ‘Presiden boleh kampanye.’
Maka, ICW dan KontraS mendesak agar dilakuikan audit menyeluruh terhadap seluruh platform keterbukaan informasi. Audit mencakup proses perencanaan hingga tahap implementasinya dalam gelaran pemilu hari ini. Proses perencanaan yang buruk dapat membawa pada permasalahan yang lebih besar di kemudian hari.
Selain itu, KPU harus melakukan langkah tanggap dan segera dalam penanganan petugas KPPS yang sakit dan meninggal dunia. KPU harus segera memberikan kompensasi kepada keluarga KPPS atau ahli waris.
“Tak kalah penting, KPU harus hadir memberikan perlindungan fisik dan hukum apabila terdapat ancaman kepada petugas KPPS. Adapun KPU harus melakukan evaluasi total atas penyelenggaraan Pemilu serentak yang memberikan beban yang sangat berat bagi petugas KPPS,” tegasnya.
Selain itu, aparat penegak hukum harus mengusut secara tuntas dan berkeadilan seluruh kasus-kasus kekerasan serta intimidasi yang berkaitan dengan politik elektoral. Selain itu, aparat juga harus melakukan langkah antisipasi dan mitigasi atas potensi konflik atau eskalasi di tengah-tengah masyarakat, terlebih menjelang sengketa Pemilu. Penegak hukum pun harus turut menjaga kebebasan berekspresi di tengah momen seperti ini;
“Kami juga mendesak Bawaslu untuk mengusut segala bentuk kecurangan yang terjadi guna memberikan rasa keadilan bagi masyarakat. Tindakan proaktif harus dilakukan, bukan hanya menunggu laporan belaka,” kata Andi Rezaldy. SSC/MN/REL