2. Beberapa jamaah sedang berada di Masjid Pusat Kota Seoul.
“Saya tak mau dibebani lagi dengan aturan agama,” ujar Shie-Min, seorang mahasiswa, ketika saya bertanya tentang agama. Kenapa? “Sudah terlalu banyak aturan dalam hidup saya. Sejak dari aturan negara, sekolah, masyarakat, keluarga.” Maka gadis semampai berambut sebahu itu memutuskan untuk tidak memeluk agama apa pun. Setidaknya hingga saat kami bertemu.
Di mata generasi muda seperti Shie-Min, agama hanyalah seonggok aturan yang mengekang. Ajaran moral dengan setumpuk kewajiban dan larangan. Semua itu tak ada hubungannya dengan masa depan yang mereka impikan. Masa depan, bagi generasi Shie-Min, adalah kenyataan di depan mata, kehidupan dunia yang penuh pesona. Ia tak peduli pada kehidupan akhirat, apalagi soal surga atau neraka. Jadi, bisa dimaklumi kenapa gadis berumur dua puluhan tahun itu tak tertarik pada agama.
Jumlah penduduk Korea Selatan pada tahun 2018, mendekati angka lima puluh dua juta orang. Lebih dari separuh penduduk, menurut data resmi yang dipublikasikan pemerintah, tidak memiliki agama apa pun. Tapi bukan berarti mereka anti-Tuhan atau tidak percaya pada hal-hal gaib. Agaknya, lebih tepat jika dikatakan mereka bersikap agnostic; tidak peduli pada ajaran dan aturan agama.
Kepedulian pada ajaran agama tentu saja amat dipengaruhi oleh didikan orang tua. Pengalaman Si Hyeon, agaknya, bisa menjadi contoh. Gadis berperawakan mungil itu berasal dari keluarga sederhana yang religius.
“Kakek dan orang tua saya bekerja sebagai tabib. Kami di rumah selalu berdoa sebelum makan dan tidur,” katanya pada saya menjelaskan latar belakang keluarganya. Orang tua Si Hyeon juga rajin mengajak anak-anaknya datang ke gereja untuk beribadah. "Ketika kecil, orang tua selalu membawa saya ke gereja. Sampai sekarang saya jadi terbiasa,” jelasnya.
Suukjon Lee, mahasiswi yang lain, juga mengaku sering diajak orang tuanya ke gereja. Tapi wanita itu mengaku bukan seorang Katolik yang alim.
“Saya ke gereja buat ketemu pacar saya,” ujarnya sambil terbahak. Pacar Suukjon adalah pemain piano di kelompok musik gereja, yang setiap Minggu bertugas mengiringi upacara peribadatan. Di sela-sela waktu peribadatan itulah Suukjon dan pacanyanya bertemu.
Bagaimana caranya berpacaran sambil beribadah, Suukjon? “Usai beribadah, kami bercerita dan bercanda, Pak. Sekali-sekali berpegangan tangan,” katanya menjelaskan dengan tersenyum.
Pengakuan gadis berkulit putih itu mengingatkan saya pada tradisi ‘asmara subuh’ di kalangan remaja pada tahun sembilan puluhan. Ramadan adalah bulan ibadah. Setiap orang dianjurkan lebih banyak beribadah pada bulan penuh berkah itu. Mengikuti anjuran itu, maka selepas sahur, anak-anak muda berbondong-bondong ke masjid untuk salat berjamaah.
Usai salat Subuh, remaja laki-laki dan pulang berbarengan. Muda-mudi yang dimabuk cinta akan memanfaatkan kesempatan itu untuk bertemu dan memadu kasih. Dari masjid, pasangan kekasih itu akan berjalan menuju pantai. Di sana mereka duduk berdekatan untuk melakukan ‘ritual’ lain, lazimnya remaja yang lagi jatuh cinta. Agar tidak menimbulkan kecurigaan, maka remaja laki-laki akan menyamar menggunakan mukena yang dipinjamnya dari wanita lain. Jika dilihat dari jauh, pasangan kekasih itu bagaikan dua remaja putri yang baru pulang dari masjid dan kini duduk santai menunggu munculnya matahari di ufuk timur. Begitu hari mulai terang, mukena dilipat, dan remaja lelaki akan kembali ke wujud asalnya. Saat itu barulah terlihat kalau mereka pasangan yang sedang memadu kasih.
Betapa pun, Suukjon masih lebih beruntung dibanding banyak remaja lain seusianya. Gadis itu memiliki orang tua yang peduli pada pendidikan agama untuk anaknya. Sementara banyak orang tua lain sama sekali tak peduli soal yang sama. Mereka tak peduli apakah anaknya mengerti atau tidak soal agama. Orang tua juga tak ambil pusing apakah anaknya mau beragama atau tidak. Begitu tak pedulinya keluarga pada agama, beberapa anak bahkan tak mengenal agama orang tuanya.
“Saya tak pernah diajak ke gereja atau kuil,” aku Hye Joo, seorang mahasiswa Jurusan Teknologi Informasi yang mengambil pelajaran Bahasa Indonesia di kelas saya. Kedua orang tua Hye Joo adalah manusia karier. Ayahnya seorang pebisnis, sedangkan ibunya pekerja kantoran.
“Ayah dan ibu saya terlalu sibuk bekerja. Mereka tak ada waktu untuk berdoa di depan Yesus atau Budha,” katanya.
Sebenarnya, apa agama orang tua Anda, Joo?
“Wah… maaf, Pak. Kayaknya saya lupa bertanya mereka, hihihi...” jawabnya tertawa geli sambil menutup wajah.
Agama terbanyak yang dianut penduduk asli adalah Budha dan Katolik. Budha merupakan agama yang dianut kerajaan-kerajaan tua Korea, sedangkan agama Katolik masuk seiring datangnya imigran dari Eropa. Penganut Islam jumlahnya amat kecil. Hanya sekitar nol koma satu persen saja. Sebagian besar penganutnya adalah imigran dari Turki, Bangladesh, Irak, Indonesia, dan Pakistan.
Penduduk asli Korea yang muslim tak banyak. Hanya baru-baru ini saja penduduk asli mulai tertarik memeluk agama Islam. Karena jumlahnya yang amat sedikit, penganut muslim tidak dikategorikan secara mandiri dalam data statistik. Tapi dikelompokkan sebagai the others, penganut “agama lain-lain”. Dengan jumlah sekecil itu, saya dan Muslim lainnya hanyalah serpihan debu di belantara manusia tanpa agama di Semenanjung Korea. (Ivan Adilla-dosen Jurusan Sastra Indonesia FIB Unand)