Minggu, 07/01/2024 15:03 WIB

Rubrik "HAJI KOREA" Dari Redaksi dan Pengantar Penulis

Ivan Adilla

Ivan Adilla

Redaksi

SEMENJAK hari ini, Minggu, 7 Januari 2024, sumbarsatu secara berkala menurunkan catatan perjalanan dan pengalaman spiritual Ivan Adilla dalam melaksanakan ibadah haji ke Tanah Suci Mekkah. Menariknya, perjalanan haji ini bukan sekadar kisah tetapi sesungguhnya merupakan catatan pribadi seorang Muslim setengah parewa yang melaksanakan petualangan keagamaan di negeri minoritas Muslim bernama Korea Selatan hingga ke Tanah Para Nabi.

Rubrik baru ini diberi nama “HAJI KOREA” dengan subjudul “Dari Negeri K-Pop ke Tanah Para Nabi”. Catatan pengajar Jurusan Sastra Indonesia FIB Unand kami turunkan secara reguler setiap hari Minggu dan Jumat. Selamat mambaca

Pengantar Penulis

“Bagaimana nanti kamu salat Jumat di sana? Apa di sana ada masjid?” Itulah pertanyaan Ibu ketika saya meminta izin untuk bertugas di Korea Selatan. 

Ibu dibesarkan di sebuah kampung di pedalaman Minangkabau.  Ayah beliau, kami panggil Angku, seorang ulama desa yang juga pengurus organisasi Muhammadiyah di tingkat kecamatan. Di tahun 1950-an, Angku mengirim Ibu bersekolah ke perguruan Muhammadiyah di Padang Panjang.  Setelah tamat, Ibu bekerja sebagai guru agama di Sekolah Dasar, dan pensiun sebagai guru di Madrasah Tsanawiyah Muhammadiyah.

“Untuk anak, yang pertama-tama harus diisi itu adalah dadanya, bukan perutnya. Ajarkan dia agama, sumpalkan iman ke dalam hatinya…,” kata Angku suatu kali.

 “Tapi kalau memelihara kerbau atau beruk, tentu perutnya yang utama. Sumpalkan saja makanan, selesai…”

 Mengikuti nasihat orang tuanya, Ibu mewajibkan anak anaknya menjalani pendidikan menengah di madrasah. Setelah itu, barulah kami bebas melanjutkan ke bidang yang disenangi. 

Ini bukan perpisahan pertama saya dari Ibu. Perpisahan dan kepergian sudah menjadi hal yang lumrah bagi keluarga Minangkabau. Setiap lelaki di kampung kami dianjurkan merantau untuk menimba ilmu dan pengalaman hidup. Pertama kali berpisah dari Ibu adalah saat tamat Sekolah Dasar dan melanjutkan ke MTs Muhammadiyah di Kauman, Padang Panjang, Sumatra Barat. Di tahun 1970-an, merantau untuk bersekolah ke kota dengan jarak empat puluh kilometer itu rasanya sudah cukup jauh. Sarana transportasi masih sulit, dan teknologi komunikasi baru sebatas telepon engkol; telepon manual yang digunakan dengan cara menekan tombol angka dan memutar engkolnya.  Perpisahan kedua terjadi ketika saya melanjutkan studi S-2 di Yogyakarta di pertengahan 90-an. Perjalanan darat Padang-Yogya saat itu hampir seminggu lamanya, dan teknologi komunikasi masih belum beranjak.

Pada dua kepergian sebelumnya, Ibu melepas saya dengan wajah ceria. Entah kenapa, saat saya meminta izin bertugas ke Korea Selatan dalam usia dewasa, beliau justru terlihat bimbang.   Padahal saya berangkat dengan tujuan dan alamat yang jelas. Teknologi komunikasi pun sudah amat canggih, dapat menghubungkan manusia setiap saat. Jadi, apa yang mesti dicemaskan Ibu dengan kepergian ini?

 Teknologi secanggih apa pun, tampaknya, tak akan mampu menjembatani kasih sayang orang tua pada anaknya. Apalagi menghalau kecemasan dari sanubari seorang ibu.

“Jangan sampai lupa salat dan mengaji ya. Tak boleh malas dan lalai lagi. Umurmu sudah lanjut,” ujar Ibu setelah terdiam agak lama. Ibu menepuk-nepuk tangan punggung tangan saya. Matanya yang terbuka lebar menatap saya dengan pandangan tegas.

Akhirnya, saya berangkat dan melambaikan tangan. Ibu melepas sambil berdiri di teras depan rumah. Kini wajahnya sedikit tegang dengan pandangan menerawang. Tak ada yang tahu, apakah beliau mencemaskan kepergian anaknya atau risau pada kerinduan dalam dirinya. 

Selama saya bertugas di Korea—kata adik saya kemudian— Ibu berdoa lebih lama setiap kali usai salat.  Bahkan pada waktu tertentu, Ibu sengaja bangun untuk salat tahajjud dan mendoakan anaknya yang jauh di rantau.

“Seakan hanya Uda saja yang butuh didoakan Ibu. Mentang-mentang anak sulung,” ujar adik saya lagi.  

Tuhan agaknya mendengar dan mengabulkan doa Ibu. Kualitas ibadah saya selama di rantau Semenanjung Korea itu rasanya menjadi lebih baik. Saat di kampung, misalnya, jarang sekali saya salat berjamaah di masjid yang letaknya hanya beberapa langkah dari rumah kami. Selagi di rantau, saya malah suka bertualang mengunjungi masjid hingga ke kota lain yang jauh. Puncaknya, saya bertolak mengunjungi Masjidil Haram dan Masjid Nabawi dari Korea Selatan.

Korea Selatan, bagi saya, bukan hanya wilayah tempat bertugas dan berwisata. Tempat itu  juga menjadi area berkaca-diri. Di sana saya diterima tanpa curiga, bertemu saudara seiman dari negara lain, dan dilepas berhaji oleh penduduk Korea yang berlain keyakinan. Keramahan dan keragaman penduduknya, mengguncang kesadaran spritual saya sebagai seorang muslim. Bagian pertama dari buku ini mengisahkan hal tersebut.

Dari Negeri K-Pop itu saya melakukan ibadah haji bersama jamaah asal Afganistan, Bangladesh, Pakistan, Uzbekhistan dan Korea Selatan. Rombongan kami membawa bendera dua bendera sekaligus: Korea Selatan dan Indonesia. Bagian kedua buku ini berisi pengamatan terhadap aneka tingkah laku manusia yang datang untuk meraih surga. Tentu sedikit banyaknya juga mengisahkan pengalaman spiritual saya saat melaksanakan rukun Islam kelima itu.

 Lebih dari sekadar kisah perjalanan haji, catatan ini sesungguhnya merupakan catatan pribadi seorang Muslim setengah parewa yang melaksanakan petualangan keagamaan di negeri minoritas Muslim hingga ke Tanah Para Nabi. Mudah-mudahan catatan ini ada gunanya bagi pembaca. Itulah alasan kenapa saya menuliskan catatan sederhana ini. (Ivan Adilla-Dosen Jurusan sastra indonesia FIB Unand)

 

 

Padang, September 2023

BACA JUGA