Kampus di Kaki Bukit

Bagian 2 dari 3

Kamis, 07/09/2023 09:44 WIB
Kampus Hankuk University for Foreign Studies (HUFS) yang berada di bebukitan nan asri dan indah > foto ivan adilla

Kampus Hankuk University for Foreign Studies (HUFS) yang berada di bebukitan nan asri dan indah > foto ivan adilla

OLEH Ivan Adilla (Dosen Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Andalas)

KAMI turun di halte dekat supermarket besar. Beberapa taksi berjajar dalam antrean menunggu penumpang. Yuli mendatangi antrean taksi paling depan dan menjelaskan alamat tujuan. Sopir taksi, lelaki berambut putih dengan usia sekitar enam puluh tahun, keluar dari mobil dan berjalan ke belakang mobil untuk membuka bagasi. Saya lihat sekilas, sopir itu berjalan agak pincang. Dalam hati ada perasaan khawatir, amankah menumpang dengan sopir tua yang pincang ini?

Setelah memasukkan tas dan koper ke bagasi, saya dan Yuli duduk di bangku belakang. Begitu memasuki jalan besar menuju ke luar kota, sopir dengan lincah memacu sedan Hyundai di jalan lebar yang turun-naik. Suara cericit ban mobil yang berpiuh di aspal menjerit saat mobil menikung dengan kecepatan tinggi. Yuli dengan tenang duduk di sebelah saya.

“Kamu tidak cemas dengan cara sopir taksi membawa kendaraan seperti ini?” tanya saya

“Oh, di sini biasa, Pak. Sopir taksi selalu ngebut agar mereka bisa mendapat penumpang lagi,” jawab Yuli.

“Tapi sopirnya sudah tua?”

“Seperti mobilnya juga tua, namun lincah dan sehat.”

Beberapa bulan kemudian, setelah terbiasa naik kendaraan umum, saya amati hampir semua sopir kendaraan umum di Korea berusia sekitar lima puluh tahun. 

“Hanya orang berusia di atas empat puluh lima tahun yang boleh menjadi sopir angkutan umum,” jelas Lee Myeong-jun, kolega saya dari Jurusan Penerjemahan Bahasa Melayu-Indonesia. Pak Lee, begitu biasa saya menyapanya, menamatkan studi Magister dan Doktornya di Universitas Hasanuddin, Makassar.

“Kenapa?” tanya saya lagi.

“Orang dalam usia itu dianggap telah stabil secara psikologis. Jadi aman untuk melayani penumpang mereka. Tidak emosional atau ugal-ugalan,” jelasnya.

Saya hanya mengangguk-anggukkan kepala mendengar alasan demikian.

“Bapak heran?” tanya Pak Lee lagi.

Sebagai penduduk Indonesia yang belasan tahun naik angkutan kota, tentu saja aturan demikian membuat saya heran. Di kota tempat tinggal saya, sopir angkutan kota yang melayani kami sehari-hari adalah remaja belasan tahun. Sopir muda itu dengan penuh semangat saling berpacu di jalan raya untuk berebut penumpang. Begitu melihat ada calon penumpang, sopir cilik itu dengan tangkas mengerem dan menepi untuk mendapatkan penumpang.

Penumpang dalam mobil segera saja terdorong ke arah depan dan berhimpitan dengan penumpang lain di sebelahnya. Sang sopir cilik tentu saja tak peduli. Sementara kami para penumpang menganggapnya itu semua bagian dari romantika naik angkutan umum. Di tangan “pembalap jalanan” berusia belasan tahun itulah nyawa penumpang bus umum di kota kami ditumpangkan.

Hankuk University for Foreign Studies (HUFS) punya beberapa lokasi kampus.  Kampus pertama terletak di Immun-dong, Seoul. Kampus kedua, Global Campus, terletak di sebuah kampung kecil yang tidak begitu ramai, desa Mohyeon-myeon, Gyeonggi-Gwangju. Di tempat inilah saya mengajar.

Jalan beraspal yang mulus dengan trotoar luas membujur dari gerbang hingga ke ujung kampus paling jauh di kaki bukit. Di tengah area kampus terdapat sebuah danau kecil dengan taman sekelilingnya. Air danau bersih dan tenang tanpa ombak. Hanya riak kecil yang terlihat jika angin bertiup. Tepi bagian barat yang rendah, dibatasi dengan pagar kawat untuk mencegah siapa saja mencebur ke sana. Namun begitu disediakan juga pelampung yang ditaruh dekat tiang pagar. Pelampung itu bisa digunakan sewaktu-waktu untuk menolong pengunjung yang tak bisa berenang. Konon, memang pernah ada mahasiswa yang frustasi dan melompat ke danau kecil itu. Dasar orang frustasi, ia lupa kalau tak bisa berenang sehingga akhirnya tenggelam. Sebuah prasasti kecil dipahatkan di tepi danau untuk mengenang korban itu.

Di ujung danau bagian timur, terdapat sebuah taman dengan hamparan bunga anyelir. Bunga-bunga berdaun lebat menghampar di dinding tebing, membentuk rangkaian huruf H-U-F-S, nama universitas. Di tengah taman terdapat patung Heung Bae Kim, pendiri universitas  dalam posisi berdiri dengan memakai jas lengkap sedang menghadap ke  arah danau.

Hutan dengan pepohonan yang hijau memenuhi arah selatan danau. Beberapa cabangnya menjulur ke tepi danau, sedangkan ranting dan daunnya menjangkau air. Di ujung barat, terletak ruang teater terbuka dengan tiang-tiang besi bulat besar yang melengkung dan dicat putih. Bunga rumput menyebar sekitar tepi danau. Sesekali angin bertiup, menerbangkan bulu-bulu halus dari bunga yang langsing seperti lidi itu, dan membawanya hingga ke tengah danau.

Jam sepuluh pagi, saya telah siap berjalan kaki menuju kampus. Ini adalah hari pertama saya mengunjungi kampus. Park Jooyeon menjemput saya ke apartemen, dan kami berjalan bersama melewati jalan setapak yang melintasi hutan kampus dekat asrama. Gedung kuliah kami terletak paling ujung dan dekat bukit. Jaraknya satu setengah kilometer dari apartemen. Jalan menuju kampus agak mendaki, dengan tangga yang cukup tinggi di samping gedung kuliah. (ivan adilla)



BACA JUGA