Tragedi Kanso Pariaman Nan Masih Menyisakan Pertanyaan

BEDAH B-- UKU SATUPENA SUMBAR

Minggu, 20/08/2023 10:27 WIB

Pariaman, sumbarsatu.com—Buku Tragedi Kanso Trauma Etnis China di Pariaman 1945 (2022), yang ditulis Armaidi Tanjung diluncurkan dan dibedah dua orang akdemisi, Dr Free Hearty, dosen Universitas Al-Azhar dan Dr Hasanuddin, dosen Universitas Andalas, Sabtu 19 Agustus 2023 di Kota Pariaman.

Kegiatan peluncuran dan bedah buku ini digelar DPD SatuPena Sumatra Barat kolaborasi dengan Pemko Pariaman.

“Membaca buku ini seperti menemukan sesuatu yang hilang. Masa kecil saya di Kuraitaji, Pariaman. Saat itu ada perasaan kebencian pada orang China yang luar biasa. Dengan perasaan tersebut, dari lima benua yang saya kunjungi selalu belajar dan ingin tahu tentang China di negara tersebut. Di Australia datang China selalu diusir penduduk setempat. Tetapi dengan gigih mereka masuk, berdagang, bertani menanam sayur, bahkan di tanah gersang berpasir, bisa tumbuh subur dengan tanaman. Akhirnya warga China tersebut  diterima juga karena memberi manfaat,” kata Free Hearty saat memaparkan respons terhadap pembacaannya buku Armaidi Tanjung ini.

Ia menilai, setelah membaca buku ini, mengaku bertemu benang merahnya. Orang China itu rajin, gigih, peker keras, cari keuntungan, tapi bukan sepihak saja. Di Medan China mendekati penjajah untuk lebih eksisnya. Orang China yang tak peduli dengan kemerdekaan RI, tapi hanya mencari keuntungan saja. Sehingga berkhianat terhadap perjuangan bangsa Indonesia. Tapi  ada juga China yang ikut membela kemerdekaan Indonesia.. 

“Walaupun China lari dari Pariaman, tapi tak ada hartanya (barang) yang hilang. Semua asetnya tidak diganggu orang Pariaman ketika terjadi peristiwa kanso. Berbeda dengan daerah lain, kerusuhan terhadap China, asetnya dirampas begitu saja,” ,” urainya lebih jauh. 

Dosen Universitas Andalas, Hasanuddin menyebutkan, Pariaman  sejak abad ke-16 telah menjadi pelabuhan/bandar lalu lintas yang ramai dan damai. Kota pantai itu tumbuh menjadi kota heterogen, plural bahkan multikultural.

“Hal ini terlihat dari nama-nama kampung yang ada menunjukkan realitas faktual demikian. Sebutlah Kampung Cino (kampung komunitas China atau Tionghoa), Kampung Nieh (Kampung komunitas etnik Nias), Kampung Jawo (kampung komunitas etnik Jawa), Kampung Kaliang (kampung komunitas etnik India), kampung komunitas lainnya seperti Arab dan Eropa,” terang Hasanuddin.

Sementara itu, Wali Kota Pariaman Genius Umar yang hadir pada kegiatan ini mengatakan, kehadiran buku ini memperkaya pengetahuan tentang warga China dulu di Pariaman. “Buku ini menambah wawasan kita tentang etnis China di Pariaman,” katanya.

Armaidi Tanjung, penulis buku ini menguraikan, peralihan aset China yang ditinggalkan setelah eksodus dari Pariaman pada tahun 1945 tidak dirampas secara paksa masyarakat Pariaman tetapi dibeli secara sah.

“Tetap saja dibeli kepada pemiliknya yang berada di luar Pariaman. Setelah mengetahui siapa pemilik aset (bangunan) tersebut, dilakukan negosiasi. Artinya tidak pernah dirampas begitu saja,” urai Armaidi Tanjung.

Ia mengatakan, peristiwa kanso yang menjadi tragedi berdarah di Kota Pariaman dengan cara menggorok  menggunakan seng (kanso) terhadap etnis China yang diduga membocorkan informasi rahasia kepada penjajah Jepang tahun 1945.  

“Saat itu pemuda Pariaman marah dan terjadilah peristiwa yang disebut tragedi kanso. Tapi dalam peristiwa ini tidak seluruhnya masyarakat China di Pariaman itu terbunuh, hanya ada tiga orang saja,” kata Armaidi dilansir merdeka.com.

Menurut Armaidi Tanjung, keberadaan etnis China Pariaman saat itu berdampak terhadap masyarakat Pariaman teritama pada setor ekonomi.

Ketua DPD SatuPena Sumbar Sastri Bakry mengatakan, bedah buku ini merupakan pelaksanaan salah satu program kerja SatuPena Sumbar. Sebelum ini,  diselenggarakan pelatihan menulis, peluncuran buku di Malaysia, dan bedah buku serta wisata literasi ke dalam maupun ke luar negeri. 

“Buku yang ditulis Sekretaris DPD SatuPena Sumbar patut diapresiasi. Sebelum ini belum ada buku yang ditulis terkait peristiwa kanso yang terjadi tahun 1945 di Pariaman,” kata Sastri yang juga rang Pariaman ini. 

Ketua Panitia Andri Satria Masri menyebutkan, bedah buku dipandu moderator Yurnaldi, wartawan utama, diselenggarakan sekaligus dalam rangka memperingati HUT ke-78 RI di Kota Pariaman.

Peserta yang hadir kelihatan antusias bertanya dan menggugat kehadiran buku yang sejak awal kehadirannya ada pro dan kontra. Kanso dalam bahasa Minangkabau artinya seng tipis yang tajam dan berkarat. SSC/MN



BACA JUGA