Malampah, sumbarsatu.com—Tim ahli Universitas Andalas yang tergabung dalam Pusat Studi Bencana dan HATHI Sumatera Barat berkolaborasi meninjau lokasi yang menjadi pusat terjadinya galodo di Pasaman, khususnya di Nagari Malampah.
Tim ini beranggotakan Prof. Dr. Eng. Fauzan (Ketua Pusat Studi Bencana PSB Unand), Prof. Dr. Abdul Hakam (Sekretaris Umum Himpunan Ahli Teknik Hidraulik Indonesia, HATHI Sumatra Barat) dan anggota tim lainnya.
Tim ini melakukan analisis kajian terhadap mekanisme terjadinya galodo dan bagaimana penanganan yang sedang dilakukan oleh institusi terkait dalam hal ini Balai Wilayah Sungai Sumatera V (BWSS V).
Kegiatan ini didukung penuh oleh LPPM Unand selaku lembaga yang bergerak di bidang penelitian dan pengabdian masyarakat.
Analisis kajian yang dilakukan oleh tim penting untuk mencarikan solusi yang komprehensif dalam penanggulangan bencana di Kabupaten Pasaman dan Pasaman Barat,” kata Rektor Universitas Andalas, Prof. Dr. Yuliandri, Senin (7/3/2022).
Pada Jumat 25 Februari 2022 lalu, telah terjadi bencana alam tanah longsor yang dipicu oleh gempa bumi yang berpusat di Utara Gunung Talamau, Kabupaten Pasaman Barat, dengan magnitudo 6,2 pada kedalaman 10 km.
Material longsoran tanah ini menimbun dan membendung sungai Fatimah, Kampung Guguang, Nagari Malampah, Kecamatan Tigo Nagari, Kabupaten Pasaman, sehingga menyebabkan terjadinya galodo (banjir bandang).
Longsoran tanah ini menimbun hulu Sungai Fatimah lalu mengalir membawa material lumpur dan kayu. Lumpur ini menghantam perkebunan jagung dan ladang disekitarnya sampai ke daerah yang lebih rendah”, jelasnya. Akibatnya, masyarakat banyak yang mengungsi meninggalkan rumah mereka, di samping karena rumahnya hancur atau rusak berat akibat gempa, juga khawatir terjadi galodo susulan yang lebih besar.
Ketua Pusat Studi Bencana Unand Eng Fauzan, mengatakan bahwa ada kemungkinan terjadinya galodo kembali.
“Galodo bisa saja terjadi lagi, apalagi dengan kondisi musim hujan dan gempa yang masih terus terjadi dalam skala sedang dan kecil,” kata Fauzan.
Ketua Ikatan Ahli Geologi (IAG) Sumatera Barat, Dian Hadiyansyah, nenyebutkan menambahkan, gempa yang terjadi pada tanggal 25 Februari 2022 telah mengakibatkan terjadinya pelepasan material Gunung Talamau.
“Material yang sudah lepas ini akan mudah rontok akibat gonjangan dan curah hujan tinggi,” terang Dian Hadiyansyah.
“Selanjutnya jenis tanah Lanau yang ada dilokasi juga memberikan pengaruh pada percepatan aliran galodo. Jenis tanah ini jika terkena air akan mudah lepas dan mengalir, dan ini akan memberikan pengaruh pada percepatan aliran galado,” tambah Fauzan.
Prof. Dr. Abdul Hakam, menjelaskan bahwa BWSS V sudah melakukan tindakan darurat untuk menormalisasi sungai.
“Sudah diturunkan 4 unit eksavator untuk membersihkan serta memperlebar aliran sungai dengan memindahkan batu-batu besar yang ada disungai agar air tidak kembali melimpah. Masyarakat pun kini telah kembali ke kampung dan membuat pondok-pondok plastik di dekat rumah mereka yang runtuh sembari menunggu bantuan dan mengamati perkembangan keadaan,” urai Abdul Hakam.
Abdul Hakam menyebutkan bahwa terdapat hal yang menarik dalam tinjauan lapangan kali ini.
“Masyarakat Nagari Malampah memiliki kearifan lokal yang terus terjaga dalam upaya untuk tetap survive di wilayah rawan bencana. Orang tua zaman dulu memperingati kami untuk lari ke arah kiri jika terjadi galodo,” begitu Abdul Hakam menyampaikan pengalaman masyarakat yang didapat dari lapangan.
Ia menjelaskan bahwa pengalaman masyarakat ini bisa diterangkan secara keilmuan. Dari sisi geomorfologis dimana sisi kiri sungai lebih tinggi dari sisi kanan.
Selanjutnya Abdul Hakam menambahkan perlu dilakukan sosialisasi tentang kearifan lokal kepada masyarakat serta simulasi mitigasi bencana sehingga masyarakat siap untuk menghadapi bencana kedepannya.
Yenny Narny, Ph.D salah seorang tim dari Pusat Studi Bencana untuk kajian budaya dan sejarah kebencanaan menambahkan, kearifan lokal harusnya sudah menjadi acuan dalam setiap pengambilan kebijakan, terkhusus dalam hal kebencanaan karena ia sudah menjadi nadi dalam masyarakat.
“Masyarakat telah belajar banyak dari kondisi alam yang ada. Mereka menyadari bahwa setiap kejadian tidak berlaku tunggal namun berulang. Untuk Talamau sendiri, sejarah telah mencatat bahwa bencana yang diakibat oleh gempa bumi telah berulang kali terjadi. Bahkan catatan tentang kegempaan itu sudah ada sejak periode kolonial dan tersimpan dan expose koran dan kajian ilmiah para peneliti sezaman,” jelas Yenny Narny.
Selain meninjau lokasi yang terdampak, tim ahli juga mengambil sampel tanah untuk melakukan investigasi atau kajian lebih lanjut mengenai tragedi longsoron tanah ini.
Abdul Hakam mengatakan bahwa hasil dari kajian lanjutan ini akan disampaikan ke pemerintah daerah dan masyarakat untuk meningkatkan mitigasi bencana ke depannya. Ia menegaskan, pemerintah daerah harusnya sudah mulai memikirkan untuk membuat dokumen kajian risiko bencana yang komprehensif mulai dari tingkat nagari hingga kabupaten, sehingga masyarakat bisa mendapatkan informasi yang akurat dan pedoman yang jelas dalam menghadapi setiap bencana. SSC/Rel