Menyalakan "Api" Jadi Penulis, Catatan Pelatihan Menulis Mahasiswa di IAIN Bukittinggi

=

Minggu, 28/11/2021 12:34 WIB

OLEH Ilham Yusardi (Penulis)

Saya menerima undangan menjadi narasumber pelatihan menulis esai bagi mahasiswa program studi Sejarah Peradaban Islam, UIN Bukittinggi dengan semangat. Semangat karena berbagi pengetahuan dan berdiskusi dengan mahasiswa adalah sebuah kegembiraan bagi saya.

Rasanya, seakan kembali ke belasan tahun yang lampau, ketika saya masih jadi mahasiswa pula, yang haus dengan ilmu pengetahuan, yang bergegas kian ke mari demi sebuah acara diskusi, pelatihan menulis, bertemu penulis atau tokoh yang sudah berjaya di bidangnya.

Bagi saya, berdiskusi dengan mahasiswa barangkali upaya memanaskan lagi pikiran dan suasana yang terlanjur membeku, atau pikiran yang sudah 'basi' atau kedaluwarsa. Ruang mahasiswa adalah ruang inkubator bagi peradaban dan kehidupan bangsa di masa depan. Ruang inkubator ini harus dijaga, dirawat dan diasuh dengan ide-ide, gagasan, pikiran.

Pelatihan menulis ini mungkin suatu upaya agar pribadi-pribadi di dalamnya, menjadi pelaku peradaban yang mampu mencatat ide, gagasan atau pikirannya ke dalam sebuah tulisan. Pelatihan itu sendiri bertajuk "Abadikan Jejakmu dengan Tulisan", yang dapat dimaknai bahwa peserta punya harapan untuk menjadi orang-orang yang mencatatkan dinamika peradaban manusia, sekaligus berharap menjadi orang-orang yang dicatat jejaknya.

Saya sempat berseloroh dangkal, "Pada zaman yang memori digital mencatat segala yang pernah kita perbuat dalam hidup, jika anda mengetikan nama di mesin pencari google, berapa banyak nama anda muncul? (Dalam artian ruang laku atau peristiwa yang positif): Apakah nama Anda hanya 'dicatet' dan muncul di Google cuma sebagai akun Facebook, Instagram, Twitter saja? Tidak adakah nama Anda dimunculkan Google sebagai suatu sumber tulisan, nama yang dicatat dalam peristiwa dalam upaya mengisi kehidupan ini dengan kegiatan yang baik?

Coba bandingkan ketika Anda mengetikkan, misalnya nama dosen Anda, Deddy Arsya. Tentu algoritma digital akan memunculkan nama Deddy Arsya dengan segala karya dan peristiwa yang telah dilaluinya, puisinya, cerpennya, esainya, penghargaaannya, prestasinya semua akan disajikan oleh memori mesin pencari Google.“

Dengan itu saya sedang berusaha menyalakan 'api' kawan-kawan mahasiswa itu sebagai seorang yang mampu menuliskan ide, gagasan atau pikirannnya ke dalam sebuah tulisan. Harapan saya, tentu api yang sudah menyala dalam masing-masing pribadi itu, dijaga agar tetap menyala.

Menulis dalam perkara teknis bagaimana cara menyusun sebuah tulisan mungkin perkara mudah. Akan tetapi yang susah itu menjaga 'nyala api' agar tidak mudah padam, tidak mudah putus asa. Menjadikan menulis sebagai kerja yang tidak pernah selesai, itulah harapan kita semua.

Sekali lagi saya menceritakan kembali bahwa bangsa ini ditegakkan oleh para founding father yang bisa mencatat pemikirannya dalam sebuah tulisan.

Tulisan Soekarno bisa dilihat di buku "di Bawah Bendera Revolusi" Pemikiran Muhammad Hatta bisa dibaca dari berbagai bukunya, salah satunya saja: "Kemerdekaan dan Demokrasi". Begitu pula Tan Malaka menulis Madilog, Agus Salim, Syahrir adalah tokoh-tokoh yang menulis. Sayang saja, dekade belakangan, sedikit sekali para pemimpin bangsa yang jejak pikiran tercatat baik dalam tulisan.

Waktu pelatihan lebih banyak saya habiskan untuk menyalakan api atau memprovokasi agar kawan-kawan mahasiswa itu menggoeeskan penanya. Pada separuh waktu kemudian, saya melatih kawan-kawan mahasiswa menyusun sebuah karangan esai.

Cara sampaikan meteri yang saya beri judul "Cara 'Gila' Menulis Esai. Pertama bagaimana cara cepat menangkap ide, menetapkan topik, membuat pohon ide atau peta pikiran, mengembangkan ide pokok ke dalam paragraf-paragraf. Pelatihan menulis itu secara sederhana langsung dipraktikan. Kawan-kawan mahasiswa itu tampak antusias, membuktikan menulis esai bukanlah perkara yang rumit sekali.

Pada kesempatan itu pulalah, semua peserta dan saya bersepakat untuk membentuk sebuah komunitas penulis di lingkungan IAIN Bukittinggi tersebut. Komunitas penulis itu diperluas, yang awalnya berangkat dari pelatihan menulis esai, menjadi komunitas penulis yang lebih beragam lagi. Boleh saja penulis fiksi (cerpen, novel, puisi, drama) dan penulis non fiksi (esai, artikel, karya ilmiah, berita) dan lainnya.

Saya mendoakan komunitas ini bergerak lebih jauh. Tidak sekedar mendoakan, tentu saja harus dilalui dengan usaha. Saya berharap muncul mahasiswa yang kelak menjadi tokoh-tokoh penting yang bisa menulis. Yang mencatatkan pemikirannya dalam tulisan. Yang tulisannya bisa dibaca oleh orang banyak.

"Ingatkah kita seutas kalimat sajak Catatan 1946 dari penyair Chairil Anwar? "lahir seorang besar dan tenggelam beratus ribu. Keduanya harus dicatet, keduanya dapat tempat." 



BACA JUGA