
Usmar Ismail? Dia kan orang film! Mana pula wartawan!?
Wajar saja ada pertanyaan semacam itu. Sebab dia memang lebih dikenal sebagai orang film, bahkan disebut sebagai “Bapak Perfilman Indonesia” dan namanya diabadikan pada Pusat Perfilman Indonesia di Kuningan. Tapi dia juga wartawan yang hebat. Usmar Ismail pernah menjadi Ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) yang kedua menggantikan Mr. Soemanang tahun 1947. Foto dan namanya terpajang di Gedung PWI Pusat dan Monumen Pers Nasional Solo dalam deretan wartawan hebat yang pernah menjadi Ketua PWI.
Nama Usmar Ismail sebagai wartawan juga ada dalam deretan 111 tokoh pers dalam buku Jagat Wartawan Indonesia karangan Soebagjo I.N. yang diterbitkan PT Gunung Agung tahun 1981.
Usmar Ismail dilahirkan di Bukittinggi tahun 1921 dan wafat di Jakarta 2 Januari 1971 dalam usia menjelang 50 tahun. Ayahnya seorang guru sekolah dasar HIS pengarang buku Bidang Minangkabau dan ibunya menginginkan Usmar kelak bersekolah di Kairo, Mesir, belajar agama dan menjadi ulama. Tapi hasrat kedua orang tuanya tidak kesampaian. Usmar justru mendapat pendidikan HIS di Batusangkar, MULO di Padang dan melanjutkan ke Algemene Middelbare School (AMS) jurusan Klasik Barat di Yogyakarta. Di kedua sekolah terakhir ia satu angkatan dengan wartawa ternama Rosihan Anwar.
Menurut Soebagjo I.N., pada masa pendudukan Jepang, Usmar bekerja pada Pusat Kebudayaan dan sudah sering menulis dalam majalah Pandji Poestaka. Namun ia bekerja sebagai wartawan profesional baru setelah Indonesia merdeka. Pada masa pendudukan Jepang tulisan yang dikirimkannya kepada Pandji Poestaka sebagian besar adalah sajak-sajak dan cerita pendek.
Setelah bekerja pada surat kabar Harian Rakjat yang bekantor di Jalan Pintu Air, Jakarta, dia secara penuh menjadi wartawan/redaktur yang harus mencari berita, menyunting berita dan kemudian menyuguhkan kepada pembacanya.
Harian Rakjat dipimpin oleh Sjamsuddin Sutan Makmur, dibantu tenaga-tenaga muda seperti Rinto Alwi dan Usmar Ismail ini. Surat kabar Rakjat pada waktu itu bersama Harian Merdeka merupakan surat kabar kaum Republikein yang tiap kali terbit selalu menjadi rebutan sidang pembacanya. Rubrik “Pojok” dari harian tersebut yang diasuh Bang Golok, sangat disukai oleh sidang pembacanya. Di balik nama Bang Golok tadi ternyata adalah Siti Danilah Salim, istri Sjamsuddin Sutan Makmur, sang pemimpin redaksi.
Sayang, setelah Sjamsuddin hijrah ke daerah pedalaman, surat kabar Rakjat tidak ada yang mengurusi, dan terpaksa berhenti terbit. Usmar Ismail sendiri waktu itu ikut pindah ke Yogya. Jiwa seninya lebih menonjol ketimbang jiwa kewartawanannya. Namun demikian dia di Yogya mendirikan surat kabar mingguan Patriot yang dibubuhi keterangan: “Mingguan Merdeka”.
Dalam staf redaksi Patriot mula-mula dicantumkan nama-nama Chaidir Ghazali, Anas Ma’roef, Djajakoesoema, L. Wairata, Soemanto, Tengku Hamidy, dan Kasim Mansur. Mereka umumnya lebih dikenal sebagai seniman ketimbang sebagai wartawan.
Dalam perkembangannya, dalam boks Redaksi ditulis begini: Ketua Usaha: Usmar Ismail; Pemimpin Redaksi: Gajus Siagian. Redaksi Penyelenggara: M. Naibaho dan J. Simandjoentak. Redaksi Penyumbang: Rosihan Anwar, Soeardi Tasrif, Chairil Anwar (Jakarta); Dr. Hoejoeng, CH. Ghozali, A. Achbar (Jogya); Dr. Abu Hanifah (Sukabumi). Staf Correspondent: Soebekti, Djajakoesoema, Hamidy Djamil, Imbangan, Issoetiyar. Staf artist: Kerton, Barli, Koestiwa, Sri Moertono. Cartoonist: Setijadi Tjokrohardojo. Nama-nama itu jelas juga lebih mengemukakan kesenian dan kebudayaan ketimbang pemberitaan atau politik.
Usmar Ismail sendiri selain mempimpin Patriot juga menerbitkan berkala yang bernama Arena, berisi tulisan yang mengkhususkan diri pada sajak, cerita pendek, karangan khas, dan esei yang ada kaitannya dengan kesusastraan.
Menurut Soebagjo, mungkin bekerja sama dengan Markas Besar Tentara atau Kementerian Pertahanan, Usmar dengan Arena juga menerbitkan cerita-cerita pendek berbentuk surat selebaran, agaknya diperuntukkan para perjurit yang berjuang di garis depan. Tiap satu lembar berisi satu cerita, lengkap diberi lukisan oleh para pelukis atau karikaturis kenamaan.
Pada masa itu menjadi kebiasaan bagi kaum wartawan untuk mengadakan konges yang bertepatan dengan diadakannya sesuatu kejadian yang dianggap bersejarah. Menjelang akan ditandatanganinya Perjanjian Linggar Jati, di Malang diadakan sidang KNIP. Pada saat-saat yang demikian itu, kaum wartawan dari berbagai tempat berkumpul, maka kesempatan itu dimanfaatkan pula untuk mengadakan Kongres PWI.
Dalam Kongres di Malang itu terpilihlah Usmar Ismail sebagai ketua menggantikan Mr. Soemanang yang merupakan Ketua PWI yang pertama. Mungkin, pilihan kepada Usmar Ismail didasarkan atas pertimbangan peremajaan. Sedangkan yang mendampingi tetap tenaga-tenaga tua yang sudah banyak makan asam garam jurnalistik.
Dipilih Sebagai Penulis I (Sekretaris): Soedarjo Tjokrosisworo; Penulis II: Soemanang. Anggota pengurus lainnya adalah Burhanuddin Ananda untuk Priangan, Mochtar Lubis dan Asa Bafagih untuk Jakarta; Soegijono dan Hetami untuk Jawa Tengah; Sofwan Hadi, Toeti Amissoeddin dan Pauw Kioe An untuk Jawa Timur.
Kepengurusan Usmar Ismail tidak dapat berjalan sebagaimana yang diharapkan. Usmar tampaknya bukan orang yang tepat mengurusi organisasi seperti PWI ini. Dia lebih suka mengurusi kaum seniman, para artis film dan lain sebagainya. Dia hanya jadi Ketua PWI lebih kurang sembilan bulan. Pada tanggal 24 Februari 1947 dia dipilih sebagai Ketua PWI, tanggal 8 November 1947 dia minta agar dibenarkan meletakkan jabatannya.
Akhirnya bagi PWI memang tidak ada pilihan lain, kecuali mengiyakan permintaan Usmar dan kembalilah Mr. Soemanang “didaulat” untuk menjadi Ketua PWI. Empat bulan kemudian dia pun juga menyatakan mengundurkan diri dari jabatannya itu.
Sementara itu majalah Patriot yang didirikan Usmar Ismail mengalami perkembangan yang cukup mengejutkan. Sebagaimana yang terjadi di Mingguan Revolusioner Jogya (kemudian menjadi harian) dan beberapa media massa lainnya, kaum komunis yang berhasil menyusup ke redaksi Patriot, lalu menguasai koran tersebut. Usmar Ismail dan Gajus Sigian berhasil mereka singkirkan dan menjadi tidak berdaya.
Setelah itu Patriot terang-terangan mendukung Front Demokrasi Rakyat (PKI), terutama setelah Muso kembali di tengah-tengah mereka. Mula-mula Naibaho dan Josef Simandjuntak yang memegang kemudi. Naibaho di kemudian hari bahkan menjadi redaktur terkemuka dan pengelola Harian Rakjat, suara Partai Komunis Indonesia. Sedangkan Josef Simandjuntak kelak berganti nama menjadi Jusuf Adjitorop dan belakangan diberitakan menjadi Ketua CC PKI yang bermukim di Beijing menggantikan D.N. Aidit yang mati terbunuh pada pemberontakan PKI tahun 1965.
Tahun 1948, Usmar Ismail kembali ke Jakarta, dan bekerja sebagai wartawan politik Antara. Dalam kedudukan itu, ia pernah ditangkap dan ditawan Belanda sewaktu Belanda melancarkan agresi yang kedua (akhir 1948). Kajadiannya berjalan dengan mendadak dan tiba-tiba, sehingga sebagai wartawan Antara dia sama sekali tidak menduga akan ditangkap.
Pihak Belanda menuduh profesi Usmar sebagai wartawan Antara hanya kamuflase. Belanda melalui Nefis, dinas intelijennya, mengaku punya informasi, bahwa Usmar Ismail sebenarnya bekerja sebagai intelijen Republik Indonesia dengan pangkat Mayor TNI di bawah Zulkifli Lubis. Dia ditahan beberapa bulan, dan dibebaskan tanpa diadili menjelang penyerahan kedaulatan tahun 1949.
Setelah keluar dari penjara, Usmar diajak rekannya Andjar Asmara (Abisin Abbas) sebagai asisten sutradara untuk film Gadis Desa di Studio Jatinegara milik South Pacific Rim Corporation. Di dunia film, masa depan baginya ternyata cukup cerah. Digumulilah dunianya yang sebenarnya itu.
Selepas penyerahan kedaulatan, Usmar berencana mendirikan sebuah perusahaan film. Ia menemui Menteri Penerangan Sjamsuddin Sutan Makmur, bekas mentornya di Harian Rakjat dulu. Usmar minta izin pemerintah untuk menggunakan peralatan bekas studio Multifilm. Permintaan itu dikabulkan Menteri Penerangan. Maka setelah itu, Usmar Ismail bersama antara lain Rosihan Anwar, mendirikan Perusahaan Film Nasional Indonesia (Perfini).
Di bawah bendera NV Perfini ini, pada tanggal 30 Maret 1950, Usmar Ismail melakukan suting pertama film Darah dan Doa, dan dia sebagai sutradaranya. Itulah film pertama yang diproduksi dan disutradarai sepenuhnya oleh putra dan perusahaan Indonesia. Tanggal 30 Maret 1950, hari pertama suting film Darah dan Doa itu kelak di kemudian hari ditetapkan menjadi Hari Film Nasional.
Setelah terjun ke film, Usmar meninggalkan dunia wartawan. Cerita selanjutnya, sudah diketahui secara luas, bahwa Usmar Ismail adalah penggerak utama industri perfilman Indonesia selama tahun 1950-an hingga awal 1970-an. Antara lain bersama Djamaluddin Malik, sineas hebat yang juga kelahiran Minangkabau.
Atas jasa-jasanya di bidang film, pada tahun 1969 Usmar Ismail menerima Anugrah Seni dari Pemerintah RI. Lalu oleh Gubernur Ali Sadikin ia diangkat sebagai Warga Kehormatan DKI Jakarta. Ia diakui sebagai Bapak Perfilman Nasional, dan namanya diabadikan pada Pusat Perfilman Nasional yang terletak di darah Kuningan, Jakarta Selatan.
Usmar Ismail meninggal di Jakarta tanggal 2 Januari 1971, dalam usia kurang dari 50 tahun. Lama setelah kematiannya, bersamaan dengan Peringatan Hari Pahlawan 10 November 2009, Presiden RI menganugrahi Alm. Usmar Ismail tanda penghargaan Bintang Budaya Parama Dharma, penghargaan tertinggi dari negera di bidang seni dan kebudayaan. Pada tahun 2021 ini, Presiden Joko Widodo menganugerahkan Usmar Ismail sebagai Pahlawan Nasional. (Hasril Chaniago)
Diambil dari buku 121 Wartawan Hebat dari Ranah Minang & Sejumlah Jubir Rumah Bagonjong (2018) dengan sedikit penyuntingan