
Masmimar Mangiang meninggal dalam usia 71 tahun di Rumah Sakit Medistra, Jakarta
OLEH Hasril Chaniago (Wartawan dan Penulis Buku)
Dalam waktu kurang dari 13 jam, saya kehilangan dua orang yang pernah saya kenal dan tulis kisah hidup mereka. Pukul 06.00, Senin 29 Juni 2020 berpulang pencipta lagu Minangkabau legendaris Syahrul Tarun Yusuf.
Lalu,Senin, 29 Juni 2020, pukul 18.50, Masmimar Mangiang, meninggal dalam usia 71 tahun di Rumah Sakit Medistra, Jakarta. Masmimar Mangiang wartawan senior yang juga pengajar Komunikasi Uiversitas Indonesia(UI).
Saya kontak dengan Uda Masmimar bulan Januari 2018 saat menulis biografi ringkasnya untuk buku "121 Wartawan Hebat dari Ranah Minang" yang diluncurkan pada puncak peringatan Hari Pers di Padang tanggal 9 Februari 2018.
Selain wartawan senior dan pengajar komunikasi di Universitas Indonesia, Masmimar Mangiang juga dikenal sebagai ahli bahasa jurnalistik.
Namanya gampang diingat karena rada unik: Masmimar Mangiang. Kata pertama (Masmimar), konon, singkatan dari “Masa mempertahankan Indonesia mardeka”. Ia memang lahir tak lama setelah era Pemerintah Darurat Rapublik Indonesia (PDRI) yang salah satu pusatnya ada di sekitar kampungnya. Sedangkan yang kedua (Mangiang) diambil dari kata belakang gelar ayahnya: M. Sain Dt. Manggung Mangiang.
"Karena kedengarannya bagus, gelar itu saya pakai di belakang nama saya," kata Uda Mimar kepada saya.
Marmimar Mangiang lahir di Nagari Limbanang, Suliki, Limapuluh Kota, Sumatra Barat, 10 September 1949, dari ibu bernama Sitti Rugaiyah, bersuku Piliang. Ia adalah wartawan yang sarat pengalaman, pernah bekerja dan memimpin sejumlah media. Anggota PWI sejak 1971, Masmimar pemegang Press Card Number One dan sertifikat “Wartawan Utama” Dewan Pers. Pengajar pada Departemen Komunikasi FISIP UI (sejak 1980) ini juga banyak menulis dan menyunting buku, serta aktif mendirikan dan mengelola sejumlah yayasan, lembaga kajian dan penelitian.
Pendidikan SR dan SMP ia jalani di Kota Payakumbuh, lalu melanjutkan ke SMA Negeri 1 Bukittinggi (tamat 1968). Setelah itu meneruskan ke Fakultas Hukum/IPK Universitas Indonesia. Pendidikan jurnalistik diperoleh Masmimar dari International Institute for Journalism, Berlin (Barat), Jerman (1976).
Karier wartawan Masmimar terbilang mentereng. Ketika masih kuliah di UI ia menjadi wartawan Harian KAMI (1971-1972), selanjutnya wartawan Harian Pedoman pimpinan Rosihan Anwar hingga koran itu diberedel menyusul Peristiwa Malari 1974. Setelah itu ia menjadi staf redaksi “Siaran Pemuda” (kerja sama Radio ARH dengan LP3ES dan Friederich Naumann Stiftung, Jerman).
Sekembali dari Jerman, Masmimar berturut-turut bekerja sebagai anggota Dewan Redaksi Jurnal Prisma, LP3ES (1977-1982), Redaktur Pelaksana Majalah Berita Mingguan Fokus (1982-1983), anggota Sidang Redaksi Majalah Tempo (1984), Wakil Pemimpin Redaksi Jurnal Prisma (1985-1989), Senior Staff for Public Relations PT Indocement (1989-1990), Redaktur Pelaksana (1991-1993) dan Pemimpin Redaksi Harian Ekonomi Neraca (1993-2005). Dalam rentang waktu tersebut ia juga bekerja part time antara lain sebagai staf pada Office of the President Matari Advertising (1989) dan Pemimpin Umum Jurnal Pasar Modal Indonesia (1997-2001). Sejak 2013 hingga sekarang menjadi anggota Dewan Penyunting Jurnal Komunikasi Indonesia yang diterbitkan Departemen Komunikasi FISIP UI.
Pengalaman paling berkesan sekaligus menyakitkan bagi Masmimar sebagai wartawan adalah ketika sebagai reporter Pedoman meliput kedatangan Perdana Menteri Jepang Kekuei Tanaka, di Bandara Halim Perdanakusuma, 14 Januari 1974. “Malam itu saya dilarang masuk, dan mendapat bogem mentah dari tentara yang berjaga di sana. Padahal saya membawa tanda pengenal Wartawan Istana,” ceritanya.
Sejak tahun 1980 Marmimar Mangiang menjadi pengajar di Departemen Komunikasi FISIP UI. Di samping itu, ia juga jadi pengajar di Lembaga Pers Dr. Soetomo (sejak 1989 hingga sekarang). Di tengah segudang kesibukan sebagai wartawan dan pengajar, ia juga aktif mendirikan, memimpin atau terlibat dalam kegiatan berbagai yayasan, lembaga studi dan pusat kajian. Antara lain, ia adalah anggota Perhimpuan LP3ES; Wakil Ketua Yayasan Padi dan Kapas; anggota pendiri Yayasan Hasta Fajar, LP3Y, Yogyakarta; Ketua Dewan Pendiri Yayasan Pengembangan Sumber Daya Bangsa, Jakarta; serta anggota “Perhimpunan Indonesia Baru” yang didirikan oleh Dr. Sjahrir.
Sejak tahun 1972, Marminar juga aktif menjadi penulis, editor, dan penyunting sejumlah buku. Buku yang turut ia tukangi antara lain: Pemilihan Umum 1971 (LPKP, Jakarta, 1972), Pedoman Penerbitan Pemerintah (Departemen Penerangan RI, 1979), Tajuk-tajuk dalam Terik Matahari (Yayasan Keluarga Bhakti, Surabaya, 1993), Perempuan, Politik dan Jurnalisme (Yayasan Padi dan Kapas, 1994), Sejarah Bank Indonesia (Pustaka LP3ES, 1993), Indonesia Tertawa: Srimulat sebagai Sebuah Subkultur (Pustaka LP3ES, 1999), Lukman Harun dalam Lintasan Sejarah (Yayasan Lukman Harun, 2000), Ashadi Siregar: Penjaga Akal Sehat dari Kampus Biru (Kepustakaan Populer Gramedia, 2010), Ciil (Yayasan Padi dan Kapas - Kepustakaan Populer Gramedia, 2010)
Masmimar Mangiang juga aktif mengikuti dan menyampaikan makalah dalam berbagai seminar di dalam dan luar negeri. Ia juga pernah menjadi anggota Dewan Juri “Anugerah Kebudayaan” yang diberikan kepada media oleh Departemen Pariwisata (2004, 2005, dan 2006), dan Anggota Dewan Juri “KPI Awards (2010 – 2013).
Ia juga sering diminta menjadi instruktur pelatihan (in-house training) oleh berbagai media. Di antaranya untuk pendidikan wartawan Suara Pembaruan (1989), Surabaya Post (1993 dan 1999); Bisnis Indonesia (1996), Sinar Harapan (2006), Harian Kompas (2005-2011), Pikiran Rakyat Bandung (2006-2010), Seputar Indonesia (2009), Warta Kota (2010), SCTV (2010), dan Pos Kota (2013).
Berbicara mengenai wartawan zaman now, menurut Masmimar, kelemahan utama terletak pada penggunaan bahasa Indonesia. Wartawan Indonesia, baik reporter maupun editor, menurutnya, banyak yang tidak memahami pemakaian bahasa tulis maupun bahasa lisan dengan baik. Kelemahan yang cukup menonjol terutama dalam logika bahasa, penguasaan kosa kata, dan penguasaan makna kata. Dari amatannya, reporter televisi banyak yang menggunakan bahasa secara buruk.
Keadaan itu, kata Masmimar, bukan saja kelemahan wartawan, melainkan umumnya orang Indonesia. Penyebabnya, mungkin, karena kurikulum sekolah tidak melatih kemampuan ekspresi anak didik, baik dalam hal ekspresi tulis maupun ekspresi lisan. Akibatnya terjadilah kekacauan dalam berbahasa.