
Masmimar Mangiang meninggal dunia dalam usia 71 tahun
OLEH Ade Armando (Mantan Mahasiswa Almarhum di UI)
Kemarin, Senin, 29 Juni 2020, pukul 18.50, Bang Masmimar Mangiang, meninggalkan kita semua. Dia berpulang dalam usia 71 tahun di Rumah Sakit Medistra, Jakarta.
Saya berdoa agar orang baik ini dipermudah jalannya menuju surga. Dia manusia baik yang membawa kebaikan bagi orang-orang di sekitarnya. Saya bangga pernah menjadi mahasiswanya, asistennya, bawahannya, rekan kerjanya, dan sahabatnya.
Tapi di atas segala-galanya, Bang Mimar— demikian kami memanggilnya—adalah guru bagi banyak orang.
Dia mulai mengajar di Departemen Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Indonesia pada 1980, tahun saat saya mulai kuliah di UI. Bagi saya, dia adalah dosen terbaik yang bukan saja mengajarkan kecakapan, keterampilan, keahlian namun juga idealisme dan integritas.
Bang Mimar mengajarkan saya untuk mencintai proses menulis. Dia membuat saya percaya kemampuan menulis itu adalah sebuah anugerah yang harus dimanfaatkan untuk membawa kebaikan pada banyak orang.
Secara teliti dia memeriksa setiap pekerjaan mahasiswanya, memberikan catatan dan komentar, serta memberikan panduan yang diperlukan bagi mahasiswa untuk memperbaiki karyanya.
Di kelas, dia tidak pernah marah. Dia tidak pernah mempermalukan mahasiswa yang malas dan bodoh. Dia memberikan penghargaan yang cukup untuk membuat mahasiswa pintar dan rajin untuk terus berprestasi.
Sejak mahasiswa saya terlibat dalam kegiatan penelitian yang dia lakukan, sempat menjadi asistennya, dan kemudian saya diajaknya menjadi salah seorang redaktur yunior di jurnal sosial-politik-ekonomi yang sangat prestisius, Prisma.
Dan di sepanjang interaksi itu, saya belajar tentang arti penting idealisme, kualitas kerja, integritas dan komitmen pada kebenaran.
Bang Mimar mengajarkan pada saya tentang betapa penting profesi jurnalis. Dia mengajarkan bahwa jurnalis itu bukan sekadar kuli, buruh, bahkan bukan sekadar profesional, tapi intelektual. Dia mengajarkan bahwa pers memiliki arti penting dalam demokrasi dan dalam memperjuangkan kesejahteraan masyarakat.
Bang Mimar bukan saja mengajarkan kecakapan praktis, teori tapi juga idealisme dan moral.
Pengalaman jurnalistik Bang Mimar memang menempatkan dirinya pada posisi yang harus terus menerus berhadapan dengan penguasa Orde Baru.
Pada saat berusia 22 tahun, pada tahun 1971 ia menjadi wartawan surat kabar mahasiswa yang sangat kritis, Harian Kami. Pada tahun 1973 ia menjadi wartawan surat kabar Pedoman, di bawah jurnalis kawakan Rosihan Anwar. Oleh Soeharto, koran ini ditutup pada 1974, terkait dengan huru-hara Malapetaka 15 Januari (Malari).
Setelah itu ia mendirikan dan terlibat sebagai redaktur surat kabar kampus UI, Salemba. Koran kampus ini juga dikenal berani mengeritik kebijakan-kebijakan pemerintah saat itu. Pada 1978, Salemba dibreidel oleh Pemerintah Soeharto.
Pada 1980, dia ditarik menjadi dosen di departemen Ilmu Komunikasi FISIP UI. Di sana ia kembali diberi kepercayaan mengembangkan sebuah surat kabar laboratorium Komunikasi Massa. Hanya satu kali terbit, koran ini pun dihentikan penerbitannya karena memuat laporan utama yang kritis terhadap proses penggantian Rektor UI yang diintervensi pemerintah.
Pada tahun 1982 selama setahun ia menjadi Redaktur Pelaksana Majalah Berita Mingguan Fokus. Saya tidak tahu persis apa penyebab pemberhentiannya tapi tampaknya itu terkait dengan sikapnya yang tidak mau tunduk pada keinginan pemodal agar majalah tersebut bermanis-manis dengan pemerintah. Dari Fokus, ia ditarik menjadi anggota Sidang Redaksi Majalah Berita Mingguan Tempo. Setahun di sana, ia pindah dan menjadi pemimpin redaksi jurnal sosial-ekonomi-politik Prisma.
Di saat Bang Mimar memimpin Prisma itulah, saya direkrut menjadi redaktur yunior di sana. Menjadi bawahan Bang Mimar adalah pengalaman sangat berharga. Saya belajar, diarahkan, diajak diskusi, diberi kepercayaan dan dihargai. Bang Mimar mengajarkan saya bahwa pekerjaan jurnalis bukan saja memberitakan peristiwa, tapi juga memberi perspektif, menjelaskan dan membantu pembaca memahami mengapa peristiwa itu penting bagi kehidupan masyarakat.
Bang Mimar mengajarkan bahwa setiap jurnalis harus menjunjung tinggi kebenaran, bukan saja dalam hal teknis (seperti keakuratan menulis nama, atau logika bahasa) tapi terutama juga secara substantif.
Saya kemudian keluar dari Prisma karena harus kuliah di Amerika Serikat pada 1990. Pada saat saya kembali, Bang Mimar sudah pindah menjadi Redaktur Pelaksana Harian Ekonomi Neraca dan kemudian pada 1993 menjabat sebagai pemimpin redaksi pada harian tersebut hingga 2005.
Saat memimpin Neraca, pada 1997 hingga 2001 ia juga menjadi Direktur Institute for Economic and Financial Research (Ecfin) sekaligus Pemimpin Umum Jurnal Pasar Modal Indonesia.
Karena keterlibatannya dalam dunia jurnalistik sejak mahasiswa itulah yang akhirnya membuat studinya di Fakultas Hukum Universitas Indonesia (angkatan 1968) tidak terselesaikan. Tapi segenap kecakapan dan keahliannya sebagai wartawan sejati itu menyebabkan ia lazim diminta untuk mengajar pendidikan jurnalistik. Selain mengajar di UI, dia juga mengajar di Lembaga Pers Dr. Soetomo sejak tahun 1989.
Di luar itu ia kerap diminta menjadi narasumber atau pembicara di berbagai diskusi, seminar, workshop atau training jurnalistik dan humas di berbagai media, lembaga, dan kementerian di berbagai tempat di Indonesia. Ia pun menjadi instruktur pada pendidikan wartawan di berbagai media cetak dan televisi terkemuka.
Bang Masmimar Mangiang kemarin meninggalkan dunia tapi pria yang lahir di Payakumbuh, Sumatra Barat, 10 September 1949 ini tidak pergi begitu saja. Kehadirannya selama 71 tahun di dunia ini meninggalkan warisan kekayaan yang luar biasa pada bukan saja orang yang pernah mengenal dan bekerja bersamanya tapi juga masyarakat luas.
Sebagai intelektual, ia melahirkan karya tulis yang membuka mata masyarakat tentang kebenaran. Ia mencerahkan. Ia memberi teladan. Dan ia melahirkan begitu banyak anak didik yang kemudian membawa kebaikan dan kebenaran yang ia ajarkan untuk mebawa kebaikan pada dunia.
Terimakasih Bang Mimar.
Terima kasih Allah.