
Masyarakat adat Siberut hidup serasi dengan hutan (© YCMM)
Padang, sumbarsatu.com—Izin hutan tanaman industri (HTI) di Pulau Siberut, Kepulauan Mentawai dinilai inkonstitusional dan berpotensi melanggar hak asasi manusia dan adat istiadat masyarakat Mentawai.
Hal itu dikatakan Rifai, Direktur Yayasan Citra Mandiri (YCMM), kepada sumbarsatu, Rabu (7/8/2019).
Izin inkonstitusional yang dimaksud itu ialah surat izin Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan SK Nomor: 619/MENLHK/SETJEN/HPL.0/2018 tentang Pemberian Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu-Hutan Tanaman Industri (IUPHHK-HTI) kepada PT Biomass Andalan Energi (BAE).
“Dengan izin ini, PT BAE akan membangun hutan tanaman industri (HTI) seluas 19.876,59 hektare di Pulau Siberut, Kepulauan Mentawai. Izin ini memberikan akses pada peruhahaan ini untuk membuka kebun kaliandra dan gamal. Tanaman ini akan diolah menjadi wood pellet sebagai sumber energi biomassa,” kata Rifai.
Biomassa dalam industri produksi energi, merujuk pada bahan biologis yang hidup atau baru mati yang dapat digunakan sebagai sumber bahan bakar atau untuk produksi industria
Menurutnya, pemberian izin ini inkonstitusional berpotensi melanggar adat dan HAM.
Melalui Putusan Nomor 45/PUU-IX/2011, Mahkamah Konstitusi telah memberikan tafsir konstitusional terhadap Pasal 1 angka 3 UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan sehingga yang dimaksud dengan kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang ditunjuk dan ditetapkan oleh pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap.
“Bukan lagi sekadar ditunjuk. Dengan demikian, memberikan izin HTI di hutan-hutan Pulau Siberut, yang sampai pada saat ini baru pada tahapan penunjukan adalah inkonstitusional,” urainya.
Selain inskonstitusioal, tambahnya, pemberian izin HTI kepada PT BAE juga melanggar adat. Sebab, baik pemerintah selaku pemberi izin maupun PT BAE selaku pemohon izin, tidak pernah meminta persetujuan kepada suku atau uma pemilik tanah dan hutan-hutan tersebut pada saat proses perizinan dimulai.
Padahal berdasarkan sejarah asal usul dan alur migrasi suku/uma-uma di Pulau Siberut, setiap jengkal tanah sudah dimiliki oleh suku atau uma. Berdasarkan penemuan atas tanah-tanah yang pada saat itu belum ada pemiliknya. Tanah-tanah hasil temuan (polak sinesei) tersebut, berdasarkan dinamika internal bisa beroleh menjadi milik suku/uma lain, baik karena peristiwa perkawinan (polak alak toga) pertukaran dengan suku lain (polak pasailiat mone), pembayaran denda (polak tulou) dan lain-lain.
“Semuanya itu berlangsung berdasarkan hukum adat tapi hal ini tidak menjadi pertimbangan saat proses izin. Maka, kami menilai ini bentuk pelanggaran terhadap kepemilikan adat,” terangnya.
Dikatakannya, berdasarkan hukum adat masyarakat Mentawai, tidak ada pihak lain yang dapat memasuki, menggarap dan memanfaatkan tanpa persetujuan dari uma/suku pemiliknya.
Selain itu, juga tidak ada pihak lain yang dapat mengalihkan atau memberi hak kepada pihak lain, selain suku atau uma pemiliknya. Memasuki, mamanfaatkan, mengalihkan hak atau memberikan hak-hak tertentu kepada pihak lain oleh bukan pemiliknya adalah pelanggaran yang dapat dijatuhi sanksi berupa denda atau tulou.
Sudah diketahui bersama, pada Pasal 18 B ayat (2) dan pasal 28 I ayat (3) UUD memberikan pengakuan terhadap masyarakat hukum adat dan hak-hak tradisionalnya. Demikian juga Pasal 6 Ayat (2) UU Nomor 39 tahun 1999 tentang hak Asasi manusia (HAM), menyebutkan identitas budaya masyarakat hukum adat, termasuk hak ulayatnya dilindungi selaras dengan perkembangan zaman.
“Karena itu, selain inkonstitusional, tindakan pemberian izin di atas tanah suku/uma pemilinya tanpa didasari persetujuan oleh suku/uma pemiliknya, juga melanggar hak asasi uma/suku sebagi masyarakat adat,” jelas Rifai. SSC/MN
Petisi tentang hutan Siberut baca di sini