
Pementasan “Mandi Angin” Bumi Teater dengan sutradara Pret T dalam rangkaian Festival Bumi, Minggu (11/11/2018) berjalan meriah dan dipadati penonton. “Mandi Angin” merupakan salah satu teater post-modern Indonesia. (Foto Aprimas)
Padang, sumbarsatu.com—Pementasan “Mandi Angin” Bumi Teater dengan sutradara Pret T dalam rangkaian Festival Bumi, Minggu (11/11/2018) berjalan meriah dan dipadati penonton. “Mandi Angin” merupakan salah satu teater post-modern Indonesia.
Menggarap dan mengeksplorasi permainan ‘buaian kaliang, salah satu permainan tradisi anak nagari di Minangkabau, menjadikan pertunjukan teater ini menarik perhatian pencinta seni di Padang.
Festival Bumi diselenggarakan kerja sama dengan Dinas Kebudayaan Sumatera Barat dihelat sebagai manifestasi perayaaan 42 tahun Lembaga Bumi Kebudayaan dilaksanakan sejak 10-14 November 2018 di kawasan Taman Budaya Sumbar.
Sebelum pertunjukan teater, dibuka secara pameran seni rupa oleh Muasri, Kepala Taman Budaya Sumatera Barat pada Minggu malam (11/11/). Pameran diikuti perupa yang pernah secara langsung dan tak langsung bersentuhan dalam proses kreatifnya dengan Lembaga Bumi Kebudayaan, seperti Darvies Rasyidin, Trikora Irianto, Body Dharma, Amrizal Selayan, Syahrizal Koto dan lainnya digelar di Galeri Taman Budaya Sumatera Barat.
“Festival Bumi” ini memperingati 42 tahun grup yang didirikan almarhum Wisran Hadi, Raudha Thaib, dan Darman Moenir ini. Ini bukan memulai tapi mengaktualisasikan nilai-nilai yang sudah ditanam kuat oleh pendiri Bumi selama ini,” kata Trikora Irianto, Ketua Festival Bumi di Taman Budaya Sumbar, saat pembukaan festival.
Lakon “Mandi Angin” yang ditulis almarhum Wisran Hadi itu digarap secara aktraktif sutradara Prel T. Pementasan “Mandi Angin” dengan durasi 70 menit itu, sarat dengan kritik sosial yang merupakan cirri khas hampir setiap naskah drama yang ditulis Wisran Hadi semasa hidupnya.
Pementasan “Mandi Angin” dengan menggunakan pola permainan randai yang melingkar dan berputar sembari berdialog menjadi dasar utama garapan ini. Dialog yang sarat dengan sentilan masalah-masalah sosial budaya dan politik, “berpingpong” antarpemain yang dikesankan tanpa identitas personal sembari menyeret tikar dan ‘buaian kaliang yang berputar dari kanan ke kiri. Setiap seretan tikar dan putaran ‘buaian kaliang peristiwa dramatik dibangun.
Arena permainan yang dibatasi pancang obor berdiri antara pemain dan penonton membuat pertunjukan ini seolah “berbaur” dengan publiknya. Dan cara seperti ini tak jauh beda dengan pertunjukan seni randai di sasaran.
Selain itu, sutradara juga membuka kemungkinan lain terhadap fungsionalisasi ‘buaian kaliang’. Benda yang sering muncul dalam alek nagari atau saat Hari Raya Idulfitri ini, bukan sebatas permainan semata tapi juga sebuah “kapal” yang “dikapteni” seorang yang dikesankan sebagai putra mahkota keturunan langsung Iskandar Zulkarnain.
Kapal Raja sebagai Putra Mahkota berlayar mengarungi lautan luas dan singgah dari satu negeri ke negeri lainnya. Awak kapal pun bertemu banyak orang pribumi yang tentu saja dengan segenap tabiat dan perangainya: masyarakat pribumi yang gemar berjudi, menyabung ayam, pemalas, dan sejenis ini. Di sini konflik dan ketercengangan warga yang berada di kapal pun semakin kentara: ada kebingunagan di antara mereka.
Lalu konflik baru datang ketika mahkota raja jatuh ke dasar laut. Konflik internal pun kiat mengedepan. Dengan kekuatan bahasa tulis Wisran Hadi dan garapan Prel T yang komunikatif, pertunjukan ini jadi enak dan perlu, kendati pada teknik vokal perlu sentuhan maksimal dan serius.
Pada penampilan :Mandi Angin” malam itu, terlihat hadir beberapa pemain Bumi Teater yang pada tahun 1999 pernah digarap penulis dan sekaligus sutradaranya, Wisran Hadi yang dipentaskan di Padang dan Yogyakarta, antara lain Muslim Noer, Syuhendri, Doni Arnis, Alfebrian, Rizkanur, Wahyu, dan lainnya. Pada garapan ini, Prel T dipercaya sebagai asisten sutrdara.
Setelah pementasan tahun 1999, “Mandi Angin” tampil pada Minggu 29 April 2018 dalam rangkaian Festival Nasional Wisran Hadi (FNWH), yang digelar oleh Teater Langkah Universitas Andalas dengan sutradara Prel T.
Festival Bumi menghadirkan 6 grup seni pertunjukan teater, 3 musikalisasi puisi dan 10 pembaca puisi. Grup teater adalah Bumi Teater, Ranah PAC, Teater Imaji, Komunitas Seni Hitam-Putih, Trikora Irianto Performance Art dan serta dari Bandung, Teater Bel.
Sementara itu, Pentassakral, Komunitas Seni nan Tumpah dan Sanggar Seni Dayung-Dayung menyatakan diri siap tampil di musikalisasi puisi. Kemudian, selain Darman dan Raudha, penyair Papa Rusli Marzuki Saria, Syarifuddin Arifin dan Irman Syah akan membacakan puisinya.
Selain itu, diskusi, pameran rupa dan dokumentasi serta penerbitan buku juga jadi mata acara. Sepanjang lima hari, acara berada di tiga tempat yaitu Taman Budaya Sumatera Barat, Lantai 4 Gedung Kesenian Sumatera Barat dan Museum Adityawarman.
Festival Bumi ini terlaksana atas dukungan dana pokok pikiran Hidayat, anggota DPRD Sumbar, juga Ketua Komisi V DPRD Sumbar dan kebetulan salah seorang “Anak Bumi”(istilah yang dipakai untuk orang yang pernah jadi anggota Bumi Teater).
“Tapi bukan itu alasan saya mendistribusikan dana pokok pikiran. Bumi telah menanamkan karakter kuat pada setiap penghuninya. Karakter yang dibutuhkan bangsa ini, sekarang dan masa depan. Jadi, pantas saya bantu (penyelenggaraan),” ujar Hidayat yang pernah bermain dalam naskah “Imam Bonjol”.
Salah seorang penonton mengapresiasi dan merespons pertunjukan yang menurutnya cukup unik dan luar biasa ini. “Baru kali ini menonton teater pentasnya di atas buaian kaliang. Luar biasa idenya,” kata Febriyanti, seorang jurnalis Tempo yang acap menulis tentang seni dan budaya.
Sementara itu, Prel T mengatakan, pementasan “Mandi Angin” merupakan suatu bentuk apresiasi terhadap Wisran Hadi. Prel T mengakui bahwa ia tidak memberi konsep baru, melainkan membawa konsep asli lakon tersebut, sebagaimana konsep Wisran Hadi.
“Pada “Mandi Angin” ini, memang, full kita angkat konsep yang dimiliki Wisran Hadi sendiri. Bisa dikatakan sebagai sebuah pertunjukan teater eksperimental, lah, dari Wisran Hadi sendiri, yang berangkat dari kekayaan budaya Minangkabau, berangkat dari permainan buaian kaliang yang dimiliki masyarakat Minangkabau,” kata Prel T.
Lebih lanjut, Prel T menjelaskan, naskah dan pertunjukan “Mandi Angin” termasuk salah lakon yang ia bahas dalam disertasi di Program Kajian Budaya Universitas Udayana Bali. Ia menyebit, "Mandi Angin" merupakan salah-satu bentuk teater post-modern Indonesia.
Wisran Hadi lahir di Padang 27 Juli 1945 dan meninggal dunia di Padang, pada 28 Juni 2011 berusia 65 tahun adalah seorang seniman Minangkabau dan budayawan Indonesia.
Wisran Hadi pernah kuliah di Sekolah Tinggi Seni Rupa Akademi Seni Rupa Indonesia (kini ISI Yogyakarta tamat 1969 dan pernah diundang untuk menjadi dosen tamu mengajarkan drama modern dan drama tradisional Minangkabau di Akademi Seni Kebangsaan, Kuala Lumpur, Malaysia (2001).
Wisran pernah ikut International Writing Program di Iowa University pada tahun 1977 dan pernah mengikuti observasi teater modern Amerika pada tahun 1978 dan teater Jepang pada tahun 1987.
Sejumlah naskah dramanya pernah memenangkan Sayembara Penulisan Naskah Sandiwara Indonesia yang diadakan DKJ: Gaung mendapatkan Hadiah Ketiga pada tahun 1975, Ring mendapatkan Hadiah Harapan pada tahun 1976, Cindra Mata mendapatkan Hadiah Harapan pada tahun 1977, Perguruan mendapatkan Hadiah Kedua dan Malin Kundang mendapatkan Hadiah Harapah pada 1978, Penyeberangan mendapatkan Hadiah Ketiga dan Senandung Semenanjung mendapatkan Hadiah Perangsang pada tahun 1985/1986.
Dia juga pernah mendapat Hadiah Sastra 1991 dari Pusat Pengembangan Bahasa Depdikbud karena karya buku dramanya Jalan Lurus. Drama tersebut juga dijadikan buku drama terbaik pada Pertemuan Sastrawan Nusantara 1997.Tahun 2000 dia mendapatkan penghargaan Hadiah Sastra ASEAN. Ia juga menjadi salah satu penerima penghargaan dari Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata pada tahun 2003. (SSC/MN)