Penemu Bahasa Tansi Sawahlunto Dr Elsa Putri Elmisah Syafril, MPd
Padang, sumbarsatu.com—Penemu Bahasa Tansi Sawahlunto Dr Elsa Putri Elmisah Syafril, M.Pd atau dikenal dengan Elsa Putri ES merespons positif atas penetapan Bahasa Tansi Sawahlunto sebagai Warisan Budaya Takbenda Indonesia (WBTI) oleh Pemerintah Republik Indonesia kendati ia sendiri tak mengetahui hasil temuannya jadi warisan budaya tak benda. Selain itu, ia mengaku juga tak pernah dihubungi sekaitan dengan proses dan cara kerja tim ahli dalam penetapan itu.
“Tapi, alhamdulillah sebagai penemu Bahasa Tansi Sawahlunto, saya bersyukur karena karya yang bertahun-tahun saya teliti ini dihargai dan bermanfaat bagi masyarakat Sawahlunto, Sumatra Barat, dan bangsa Indonesia umumnya, serta peraSdaban, tentunya. Meskipun, pada awalnya temuan itu dikritik dan dianggap "sampah" namun saya meyakini bahwa segala yang baik dengan tujuan yang baik pasti akan berbuah baik,” kata Elsa Putri ES kepada sumbarsatu, Sabtu (13/10/2018).
BACA: Bahasa Tansa Sawahlunto Ditetapkan sebagai Warisan Budaya Takbenda
Kendati begitu, Elsa Putri ES yang kini sebagai staf ahli di Pusat Studi Kebudayaan Universitas Gadjah Mada (UGM) menyayangkan cara kerja dan proses penetapan Bahasa Tansi Sawahlunto sebagai WBTI oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang menurutnya tidak etis dan beretika. Ia mengaku, pemberian nama Bahasa Tansi di Sawahlunto merupakan hasil pergulatan intelektualnya.
“Seharusnya, para pihak yang terlibat dalam proses penetapan Bahasa Tansi Sawahlunto ini memberi tahu saya, paling tidak menginformasikan. Bahasa
Tansi sebagai bahasa kreol pertama di Indonesia merupakan hasil penelitian yang saya angkat menjadi disertasi saya. Saya yanb memberi nama Bahasa Tansi Sawahlunto itu,” terang Elsa Putri ES.
Ia menyelesaikan Program Doktor Ilmu-ilmu Humaniora (Linguistik) di Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Gadjah Mada dengan judul disertasi "Bahasa Tansi di Kota Sawahlunto" yang dipertahankan di depan penguji pada 2 November 2010 lalu. Disertasi itu telah diterbitkan dalam bentuk buku dengan judul “Menggali Bara, Menemu Bahasa, Bahasa Tansi: Bahasa Kreol Buruh dari Sawahlunto” menyusul terbit buku “Kamus Bahasa Tansi Sawahlunto.”
“Buku-buku itu telah tersebar di perpustakaan pelbagai negara, antara lain Australia, Belanda, Inggris, Thailand, dan Malaysia.”
Menurut Elsa Putri ES, satu sisi ia merasa bangga karena Bahasa Tansi Sawahlunto telah diakui sebagai warisan budaya takbenda, tapi di sisi lain sebagai salah seorang intelektual, ia sangat kecewa karena karya intelektual di negeri ini sangat tidak dihargai. Sementara itu, kerja otot begitu sangat dihargai.
“Ini sangat ironis dan berbanding sangat terbalik dengan karya dari kerja otak. Semoga ke depan ada realisasi dari revolusi mental yang didengung-dengungkan itu. Bagaimana seorang intelektual tidak dihargai di negeri ini,” kata perempuan kelahiran Sawahlunto, 27 November 1977 yang menyelesaikan S1 di Fakultas Ilmu Budaya (Fakultas Sastra) Unand ini.
Lebih jauh dijelaskannya, sebelum meriset Bahasa Tansi Sawahlunto ini, masyarakat dengan multietnis, antara lain Minangkabau, Jawa, Cina, Madura, Sunda, Bugis, Bali, dan Batak, masyarakat Sawahlunto di Provinsi Sumatera Barat ini tidak tahu bahasa yang mereka gunakan.
“Lalu, setelah melakukan penelitian mendalam, saya kemudian memberi nama alat komunikasi masyarakat Sawahlunto ini Bahasa Tansi tapi sempat ditolak dan tidak diakui di lembaga tempat saya menyelesaikan S3. Saya mengatakan,
mengapa peneliti asing berhak menamakan sesuatu atas diri kita? Mengapa seseorang yang menjadi bagian dari yang diteliti dan ditemukan tidak boleh menamakannya? Akhirnya nama Bahasa Tansi Sawahlunto diterima juga,” papar Elsa Putri ES yang menyelesaikan S2 di Universitas Negeri Jakarta ini.
Elsa Putri ES menyebutkan, metode penelitian bahasa dengan menggunakan pendekatan sosioligustik antropologis baru pertama dilakukan dalam lingkungan Ilmu-ilmu Humaniora (Linguistik) di Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Gadjah Mada.
Bahasa Tansi di Kota Sawahlunto sudah digunakan selama lebih dari 100 tahun oleh masyarakat buruh tambang dan terus berkembang seiring dengan perkawinan campur tapi kini tampaknya sedang menuju standarisasi.
Menurut Elsa, penelitian ini, memunculkan kesadaran masyarakat Sawahlunto terhadap identitas mereka sebagai bagian masyarakat plural dan multietnis.
Bahasa Tansi Sawahlunto merupakan bahasa kreol pertama di Indonesia yang lahir dengan latar belakang perburuhan dan berada di pedalaman yang berasal dari kelompok sosial terbawah di dalam struktur sosial kolonial di Kota Sawahlunto. Sumatera Barat.
Penuturnya yang multietnis dari buruh tambang batu bara itu, secara teoretis, terang Elsa, Bahasa Tansi awalnya merupakan bahasa pigin karena bahasa tersebut polygenetic, yang campuran (mixture) dengan bahasa dasar bahasa Melayu dan terdapat bahasa Belanda.
“Saya berharap, ke depan, melalui penelitian linguistik yang melihat latar belakang sejarah, sosial, dan budaya masyarakat pengguna, tidak tertutup kemungkinan khazanah bahasa yang ada ini akan kembali bertambah,” harapnya.
Ia berharap, temuannya ini bisa menjadi bahan pertimbangan bagi Pemerintah Kota Sawahlunto paling tidak bagaimana menyusun strategi untuk menyelamatkan eksistensi Bahasa Tansi dari kepunahan. Selain itu, mengupayakan pemertahanan Bahasa Tansi Sawahlunto melalui kehadirannya dalam ragam tulis, seperti penulisan tonil dan naskah sejarah.
Dilansir sebelumnya, Bahasa Tansi Sawahlunto yang berada di Provinsi Sumatera Barat ditetapkan sebagai WBTI oleh Pemerintah Republik Indonesia melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Penghargaan itu diserahkan Direktur Jenderal Kebudayaan Hilmar Farid kepada Gubernur Sumatra Barat Irwan Prayitno pada acara Apresiasi Penetapan Warisan Budaya Takbenda Indonesia yang digelar di Gedung Kesenian Jakarta pada Rabu (10/10/2018).
Gubernur Sumbar Irwan Prayitno mengapresiasi penetapan Bahasa Tansi sebagai WTBI dan menurutnya ini merupakan kebanggaan bagi masyarakat Sumbar, khususnya warga Sawahlunto.
Pemberian status Budaya Takbenda menjadi Warisan Budaya Takbenda Indonesia diberikan oleh Mendikbud berdasarkan rekomendasi tim ahli yang meliputi lima ranah sesuai dengan Konvensi 2003 UNESCO tentang Safeguarding of Intangible Cultural Heritage, yakni: Tradisi dan ekspresi lisan, termasuk bahasa sebagai wahana warisan budaya tak benda; Seni pertunjukan; Adat istiadat masyarakat, ritus dan perayaan; Pengetahuan dan kebiasaan perilaku mengenainalam semesta; Kemahiran kerajinan tradisional.
Konvensi tersebut sudah diratifikasi oleh Indonesia pada tahun 2007 melalui Peraturan Presiden Nomor 78 tahun 2007 tentang Pengesahan Convention for the Safeguarding of Intangible Cultural Heritage.
Sementara itu, Kepala Dinas Kebudayaan Provinsi Sumbar, Gemala Ranti, menyebutkan, Pemerintah Provinsi Sumbar sebelumnya telah mengusulkan 19 Warisan Budaya Takbenda (WBT) asal Sumbar untuk ditetapkan sebagai WBTI.
Dari 19 WBT tersebut, hanya 3 yang lulus verifikasi. Bahasa Tansi, salah satu dari 3 WBT yang lulus verifikasi akhirnya ditetapkan.
“Yang diusulkan 19, yang lulus verifikasi 3 dan ditetapkan 1. Begitu selektifnya tim ahli menilai dengan kriteria yang telah ditentukan,” terang Gemala Ranti, yang merupakan putri dari sastrawan dan budayawan AA Navis itu, Jumat (12/10/2018).
Memperhatikan ketatnya kriteria seleksi bagi penetapan, Gemala kemudian menyatakan, Pemprov Sumbar melalui Dinas Kebudayaan akan bekerja lebih keras lagi untuk mendorong berbagai WBT yang ada di kabupaten/kota di Sumbar agar ditetapkan sebagai WBTI.
“Hal ini penting dilakukan karena penetapan WBTI atas produk budaya daerah akan memberikan pengaruh yang besar terhadap kelestarian budaya bersangkutan yang secara tak langsung, ikut memperkuat Sumbar terutama di sisi adat dan budaya,” katanya.
Pada tahun 2018, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menetapkan sebanyak 225 karya budaya Indonesia sebagai WTBI.
Direktur Warisan dan Diplomasi Budaya, Dirjen Kebudayaan Kemdikbud Nadjamuddin Ramly, menjelaskan tentang proses penetapan karya budaya yang diusulkan oleh tiap-tiap provinsi.
“Proses penetapan WBTB 2018 ini turut melibatkan kementerian lain, seperti Kementerian Hukum dan HAM dan Kementerian Dalam Negeri. Sebanyak 416 usulan karya budaya masuk ke kami, lalu kami lanjutkan ke tahap proses verifikasi hingga jumlah karya budaya mengerucut menjadi 264 karya budaya.
Pada tahap akhir, para panitia kemudian melakukan sidang bersama para perwakilan daerah, dan dihasilkan sebanyak 225 karya budaya yang ditetapkan sebagai Warisan Budaya Tak Benda Indonesia tahun 2018,” jelas Nadjamuddin Ramly.
Penetapan Warisan Budaya Tak Benda Indonesia sudah memasuki tahun 6 pada tahun ini. Sejak pertama kali dilaksanakan pada tahun 2013 silam, total sebanyak 819 karya budaya sudah ditetapkan sebagai warisan budaya takbenda Indonesia. (SSC/NA)