Hutan Mentawai Dikuras, Rakyatnya Tetap Miskin

PEMERINTAH HARUS SETOP IZIN HAK PENGUASAAN HUTAN

Senin, 17/10/2016 08:14 WIB
Salah satu kendaraan angkutan kayu log PT MPL yang melintasidi areal pemukiman warga di Kepulauan Mentawai-- Foto Dok YCMM

Salah satu kendaraan angkutan kayu log PT MPL yang melintasidi areal pemukiman warga di Kepulauan Mentawai-- Foto Dok YCMM

OLEH Leo Randus Saragih

Suatu kebanggaan bagi masyarakat Mentawai karena kekayaan alamnya dan ditetapkan UNESCO sebagai cagar biosfer. Secara geopolitik, kabupaten ini termasuk daerah terluar Indonesia, yang berhadapan langsung dengan Samudera Hindia dan sekitar 62 mil dari Sumatera.

Pulau Siberut mempunyai empat primata endemik yang bahkan terancam punah, yaitu siamang mentawai (Bilou), lutung, simakobu dan bokkoi. Begitu juga dengan keanekaragaman flora berupa hutan hujan lebih dari 65% yang menyelimuti pulau ini.

Selain itu di Mentawai juga banyak terdapat titik untuk bermain selancar (surfing) bagi para wisatawan domestik maupun mancanegara. Mentawai bahkan sudah terkenal ke mancanegara karena pesona ombaknya.

Hal ini dibuktikan dengan kunjungan wisatawan mancanegara yang meningkat ke Mentawai. Dengan Keindahan alam ini akan sangat mempengaruhi PAD Kabupaten Kepulauan Mentawai.

Terlepas dari pesona alamnya yang indah, kondisi hutan di Kabupaten Kepulauan Mentawai sudah kritis. Lebih kurang 40 tahun perusahaan hak penguasaan hutan (HPH) beroperasi. Banyak perusahaan yang mengeksploitasi hutan di Mentwai, bahkan sampai saat ini masih tetap beroperasi.

Salah satunya yang beroperasi di Siberut adalah PT Salaki Summa Sejahtera dengan mengantongi izin dari Kementerian Kehutanan yaitu HPH, maka perusahaan ini dapat beroperasi di Pulau Siberut dengan syarat tidak mengganggu cagar biosfer yang telah ditetapkan oleh pemerintah.

Pembangunan selalu memanfaatkan sumber daya alam, namun pemanfaatan sumber daya alam harus diimbangi dengan daya dukung lingkungan. Setelah beroperasi perusahaan ini sudah mengangkut ribuan kubik kayu yang berkualitas untuk di pasarkan ke beberapa daerah.

Pengeksploitasian ini akan menimbulkan kerusakan flora dan fauna yang ada di sekitarnya. Dengan status cagar biosfer di Pulau Siberut, seharusnya pemerintah mengkaji ulang dengan pemberian ijin kepada PT Salaki Summa Sejahtera karena akan merusak keseimbangan ekosistem. Selain itu masyarakat bergantung pada hutan yang menyuplai cadangan air bersih.

Dampak lainnya, dengan gundulnya hutan, maka akan menyebabkan terjadinya sedimentasi di daerah aliran sungai (DAS) yang berakibat fatal pada masyarakat. Dengan terbitnya izin dari Kementerian Lingkungan Hidup, kenapa pemerintah daerah mengizinkan eksploitasi hutan di Pulau Siberut?

Akibat eksploitasi itu, keindahan Pulau Siberut akan tergerus oleh adanya aktivitas sksploitasi hutan salah satunya terhadap Taman Nasional Siberut.

Dampak sosial dari eksploitasi hutan ini dapat kita lihat, yaitu masyarakat tetap berada pada taraf hidup yang masih kategori miskin. Dengan banyaknya hasil alam berupa kayu yang bernilai ekonomi tinggi, Mentawai masih tetap jadi kabupaten yang tergolong miskin di Sumatera Barat menurut peneliti LIPI Gotomo Bayu Aji, yaitu dibuktikan dengan data BPS 2014.

Dengan adanya eksploitasi hutan, sebenarnya siapa saja yang diuntungkan, masyarakat? Pengusaha? Atau para pejabat?

Saat ini PT MPL mendapat izin perpanjangan 13 April 2013 hingg 12 April 2056. Menurut data dari Kementerian Lingkungan Hidup periode Mei-Juni 2016 telah memproduksi 1.838 batang kayu bulat jenis meranti.

Sementara menurut Kementerian Lingkungan Hidup, produksi kayu bulat oleh dua perusahaan HPH di Mentawai yang hingga kini beroperasi antara Januar-Mei 2016 adalah sekitar 22.571,35 kubik untuk meranti dan 348,08 kubik jenis rimba campuran.

Mengutip pernyatan dari Gotomo Bayu Aji, peneliti LIPI, maka dengan asumsi 1.270.000 per kubik untuk jenis meranti dan 953.000 untuk jenis rimba, maka produksi 2 HPH per bulan mencapai Rp6 miliar. Begitu luar biasa potensi hutan di Kabupaten Kepulauan Mentawai.

Ironisnya, kekayaan alam melimpah namun masyarakat masih banyak hidup dalam kategori miskin. Sumber daya alam yang melimpah hanya dinikmati oknum tertentu. Dengan eksploitasi hutan selama 40 tahun lebih, seharusnya masyarakat Mentawai sudah maju, dan memiliki sarana prasarana yang lebih memadai.

Kita dapat berkaca dari pengalaman masuknya perusahaan pengolah hutan di Pulau Pagai. Hutan dieksploitasi oleh PT Minas Pagai Lumber, tapi pada kenyataan apa dampak dari perusahaan sekarang ini? masyarakat masih banyak terdapat hidup di bawah garis kemiskinan. Bahkan masyarakat dibekas operasional perusahaan bertahan hidup dengan bertani, dan akses menuju ke ibukota kecamatan sangat susah. Akses jalan yang susah menyebabkan harga sembako naik.

Sementara hasil tani tidak seimbang dengan biaya kebutuhan pokok. Setelah perusahaan hengkang, maka masyarakat hanya bisa bertahan hidup dengan berkebun. Bahkan dengan hadirnya HPH banyak masyarakat yang berkonflik. Sangat tidak seimbang antara hasil alam dan sarana prasarana yang dibangun di Mentawai.

Lebih parah lagi pascagempa dan tsunami 2010, masyarakat direlokasi pemerintah ke daerah yang lebih tinggi, yaitu bekas lahan HPH PT Minas Pagai Lumber. Pemerintah sudah merelokasi, tetapi masalah lainnya adalah bagaimana ekonomi masyarakat? Apakah dengan pemukiman yang baru masyarakat sudah bisa bertahan hidup tanpa adanya pemulihan ekonomi masyarakat? Bahkan masyarakat lebih memilih kembali ke kampung lama untuk memanen hasil tani, seperti kelapa dari pada tinggal di tempat batu itu.

Untuk ke depannya pemerintah harus mengkaji ulang keberadaan HPH di Mentawai dan pembangunan lebih mengutamakan Musrembang. Merevitalisasi kearifan lokal dengan mengakui keberadaan masyarakat adat akan lebih efektif dalam pembangunan berkelanjutan di Mentawai. ***

 



BACA JUGA