Guru Besar Geologi Lingkungan dan Kebencanaan Universitas Gadjah Mada (UGM), Prof. Dwikorita Karnawati
Yogyakarta, sumbarsatu.com-- Guru Besar Geologi Lingkungan dan Kebencanaan Universitas Gadjah Mada (UGM), Prof. Dwikorita Karnawati, menegaskan bahwa rangkaian banjir bandang dan longsor di Sumatera Utara, Sumatera Barat, dan Aceh merupakan konsekuensi langsung dari kerentanan geologi Indonesia yang kini diperparah oleh kerusakan lingkungan dan perubahan iklim.
Menurut Dwikorita, kombinasi faktor tersebut menciptakan bencana geo-hidrometeorologi berantai dengan skala dan intensitas yang jauh melampaui kejadian-kejadian sebelumnya.
Daya Rusak yang Meningkat
Dwikorita menjelaskan bahwa Indonesia secara alamiah berada pada kawasan tektonik aktif yang rentan multi-bencana. Namun, pemanasan global serta kerusakan lingkungan membuat frekuensi hujan ekstrem meningkat tajam.
“Tahun 2024 merupakan tahun terpanas dalam sejarah pencatatan modern, dengan anomali suhu global mencapai +1,55°C di atas periode pra-industri. Dekade 2015–2024 bahkan menjadi sepuluh tahun terpanas yang pernah dialami bumi,” ujar Dwikorita, Jumat (12/12/2025).
Data BMKG menunjukkan ledakan kejadian cuaca ekstrem, dari 2.483 kejadian pada 2020 menjadi 6.128 kejadian pada 2024. Kawasan barat Indonesia—termasuk Sumatra—mengalami peningkatan curah hujan tahunan yang konsisten.
“Hujan ekstrem yang dulunya jarang, kini muncul berulang. Itulah mengapa banjir bandang di Sumatra datang dengan daya rusak jauh lebih besar,” katanya.
Topografi curam, perubahan tata guna lahan, dan lingkungan yang terdegradasi membuat risiko aliran debris, banjir bandang, serta gerakan tanah meningkat drastis.
Risiko Bencana Susulan Masih Tinggi
Dwikorita menekankan bahwa bencana ini bukan kejadian tunggal, melainkan bencana berlapis yang dipicu oleh interaksi geologi–hidrometeorologi dan diperburuk oleh kerusakan lingkungan.
“Selama musim hujan, potensi banjir bandang lanjutan masih sangat tinggi. Ketika rehabilitasi baru berjalan, hujan ekstrem bisa memaksa daerah terdampak kembali ke fase tanggap darurat,” jelasnya.
Kerusakan infrastruktur, dampak sosial ekonomi, serta luasnya wilayah terdampak dinilai tidak dapat diatasi hanya dengan mekanisme penanggulangan bencana yang berlaku saat ini—yang dirancang pada 2007 dan belum memperhitungkan kompleksitas krisis iklim.
“Skala kerusakan saat ini melampaui kapasitas mekanisme rutin. Kita memerlukan model penanganan khusus yang cepat, taktis, dan terintegrasi lintas sektor,” tegasnya.
Dwikorita mencontohkan keberhasilan BRR NAD–Nias pascatsunami 2004 sebagai model badan rekonstruksi yang mampu bekerja cepat dengan mandat khusus.
Ia merekomendasikan pemerintah segera menyusun kajian komprehensif yang melibatkan kementerian teknis, BNPB, pemda, akademisi, dan komunitas kebencanaan. Kajian tersebut harus mempertimbangkan perubahan iklim, degradasi lingkungan, dan proyeksi bahaya hidrometeorologi.
“Pemulihan harus disiapkan untuk menghadapi kejadian ekstrem yang berpotensi berulang,” ujarnya.
Dwikorita menutup pernyataannya dengan menegaskan bahwa pembentukan lembaga khusus bukan sekadar keputusan administratif, tetapi langkah strategis agar negara dapat hadir sepenuhnya dalam membangun kembali Sumut, Sumbar, dan Aceh di tengah peningkatan risiko akibat krisis iklim. ssc/mn