-
OLEH Alfitri (Departemen Sosiologi Unand)
MUJUR tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak. Baru saja beberapa bulan menjadi bupati, daerah yang dipimpin Deck Beliau, MBA (nama sebenarnya) ditimpa musibah.
Bencana banjir dan tanah longsor yang terjadi menjelang bulan Ramadan ini bukanlah yang pertama kali terjadi. Namun, kali ini memang agak istimewa, baik dari segi cakupan wilayah yang terkena maupun jumlah korbannya.
Hampir tiap tahun, manakala musim hujan tiba, penduduk mengalami berbagai kerugian materiil atau bahkan menjadi korban. Setidaknya, mereka mengalami kerugian moral akibat dilanda kecemasan demi kecemasan.
Sebenarnya, sudah sejak lama gejala alam yang berkaitan dengan penggundulan hutan yang berkelanjutan itu disorot oleh berbagai pihak. Pers tak pernah bosan memberitakannya. LSM pun sudah menggelar aneka diskusi dan aksi. Para pakar telah mengajukan analisis dan prediksi. Para komandan pun berjanji untuk menindak tegas.
Pak Gubernur telah menghimbau dan menghimbau, bahkan juga menginstruksikan. Para ulama juga telah berulang kali mengkhotbahkan ayat, “Telah terjadi kerusakan di laut dan di darat akibat ulah tangan manusia...”
Namun, the show must go on, kegiatan pembabatan hutan tetap berlangsung seperti yang selama ini terjadi.
Mengingat dan merenungkan semua itu, Deck Beliau, MBA tak dapat tidak membenarkan laporan lugas dan kritis yang dimuat harian Republika, 30 November 2000, dengan tajuk “Hutan Dicabik-cabik, Banjir Melanda, Rakyat Sengsara”. Tak ada tendensi adu domba di situ. Sang wartawan hanya menyampaikan fakta apa adanya. Deck Beliau menyadari, memang inilah tragedi dari sebuah sandiwara yang dipenuhi oleh para aktor watak.
“Kapan ini akan berakhir? Apa yang mesti saya lakukan?” Pertanyaan-pertanyaan itu berulang kali muncul dan menghunjam di kepalanya. Sementara itu pula, ia teringat kalimat bijak yang berbunyi, bumi ini bukanlah warisan nenek moyang, melainkan titipan dari anak cucu.
Akhirnya, ia pun bertekad bahwa ia harus melakukan sesuatu untuk menyelamatkan hutan, kendati hal itu tak pernah ia singgung sebelumnya dalam penyampaian visi dan misinya ketika proses pemilihan bupati dulu.
Deck Beliau, MBA masih merenung memikirkan langkah-langkah yang akan dilakukannya, sampai kemudian ia dikejutkan sekretarisnya yang memberitahukan bahwa ada tamu VIP yang ingin menghadap. Di antara dua tamu yang berpenampilan parlente itu, seorang di antaranya berpenampilan cukong dan yang seorang lagi bertampang pembeking, dengan tubuh yang berdegap.
“Nah, ini dia orang yang saya cari!” kata Deck Beliau, MBA keras begitu kedua tamu itu masuk ke ruangannya. Rupanya, ia sudah mengetahui sepak terjang yang telah dilakukan kedua oknum itu selama ini.
“Maaf, Pak Bup, kami ke sini ingin mengantarkan dana bantuan…,” ucap sang tamu yang berwajah cukong.
“Maaf, maaf, maaf itu urusan hari Lebaran! Apa kamu pikir bantuanmu itu dapat menutup kerugian yang ditimbulkan bencana banjir dan tanah longsor di daerah ini?!” tanya Deck Beliau dengan nada tinggi.
“Tidak ada cerita lain, tuan-tuan mesti diusut dan diproses secara hukum!” katanya lagi tegas.
“Tapi kami ingin menyampaikan niat kami untuk tobat nasuha kepada Pak Bup. Kini kepada Pak Bup kami serahkan seluruh kunci sawmill dan juga satu truk gergaji mesin yang ada di luar,” kata tamu bertampang pembeking penuh harap sambil meletakkan beberapa kunci di meja Pak Bup.
“Oke, oke, tobat nasuha adalah urusan tuan-tuan dengan Allah, namun yang namanya proses hukum tetap jalan. Saya sangat menghargai niat tuan-tuan untuk tobat nasuha, namun tolong hormati pula upaya saya untuk menegakkan hukum,” kata Deck Beliau lugas sambil memencet nomor telepon kantor polisi di ponselnya.
“Pap, Pap…, sahur, Pap, sahur, sahur!” bisik istri Deck Beliau sambil mengguncang-guncang tubuh suaminya itu. Deck Beliau pun bangun dari tidurnya. Rupanya, ia telah bermimpi akibat keletihan meninjau beberapa lokasi bencana sepanjang hari kemarin. Sambil melangkah menuju kamar mandi untuk berwudu, ia pun bertekad bahwa mimpi tadi akan segera ia wujudkan.
Dengan penuh kesadaran, ia bertekad pula bahwa selepas sahur ini, ia sendiri yang terlebih dahulu akan melakukan tobat nasuha.*
Tulisan ini pernah dimuat di Harian Mimbar Minang akhir tahun 2000