"Wajah Halimunda" Siap Tampil di Panggung Festival Teater Indonesia 2025

Rabu, 26/11/2025 05:40 WIB
Pertunjukan teater

Pertunjukan teater "Wajah Halimunda"

Padang Panjang, sumbarsatu.com— Seniman teater asal Padang Panjang, Yeni Wahyuni (Aen), melangkah ke panggung nasional melalui kuratorial Festival Teater Indonesia 2025 yang digelar Kementerian Kebudayaan bekerja sama dengan Titimangsa dan Penastri (Perkumpulan Nasional Teater Indonesia).

Dalam catatan kuratorial bertajuk “Sirkulasi Ilusi”, Aen menyoroti pertanyaan mendasar: apa yang paling nyata di panggung teater hari ini? Pertanyaan tersebut hadir dari kegelisahan terhadap batas realitas dan representasi yang semakin kabur di era digital, ketika citra dan informasi dapat direkayasa serta dikendalikan hingga mengaburkan kenyataan itu sendiri.

Konsep kuratorial tersebut bertumpu pada empat pilar: realisme pemikiran, adaptasi transformatif, interaksi reflektif, dan ruang kolaborasi baru—yang mendorong teater sebagai ruang kritis untuk menafsir ulang realitas kontemporer.

Diangkat dari Novel “Cantik Itu Luka”

Karya teater Wajah Halimunda, adaptasi dari novel Cantik Itu Luka karya Eka Kurniawan, menjadi salah satu pertunjukan terpilih dalam festival tahun ini. Pementasan dijadwalkan berlangsung di Taman Budaya Mataram, NTB, pada 10 Desember 2025.

Dari 180 pendaftar, tim kuratorial menetapkan 16 kelompok terpilih yang akan tampil di empat titik pementasan. Wajah Halimunda menjadi salah satu karya yang menonjol karena kekuatan adaptasi dan pendekatan artistiknya.

Pertunjukan ini bermain pada perbatasan realitas dan ilusi, menggabungkan kisah keluarga, sejarah kolonial, dan mitologi dalam narasi yang absurd namun justru menyentuh “luka-luka” sosial dan historis Indonesia.

Aen memusatkan perhatian pada fragmen-fragmen kunci melalui tokoh Dewi Ayu, perempuan keturunan Belanda-Indonesia yang terpaksa menjadi pelacur pada masa pendudukan Jepang dan bangkit kembali setelah 21 tahun meninggal.

Ia memiliki empat anak—tiga perempuan cantik (Alamanda, Adinda, Maya Dewi) dan seorang anak terakhir bernama Si Cantik yang justru terlahir buruk rupa.

Sosok Dewi Ayu yang hadir sebagai hantu menjadi medium untuk mengalirkan imaji novel ke panggung: desa yang dipenuhi orang-orang tanpa ingatan, tubuh-tubuh yang dihantui sejarah, dan trauma generasi yang terus berulang. Adaptasi ini memanfaatkan alih wahana sebagai strategi utama.

Realisme Magis dan Teknologi Interaktif

Wajah Halimunda tidak berupaya merepresentasikan realitas secara harfiah. Yeni memilih pendekatan realisme magis sebagai bahasa utama pementasan. Panggung dirancang tidak menyerupai ruang nyata, melainkan menjadi lanskap psiko-historis di mana masa lalu dan masa kini saling bertaut.

Teknologi interaktif digunakan untuk memproyeksikan kembali realitas ke atas panggung, sekaligus mempertegas tema kekerasan dan patriarki yang masih relevan hingga hari ini. Karya ini membuka dialog antara panggung dan penonton—menggugat pertanyaan krusial: seberapa jauh kita telah berubah dari sejarah yang membentuk kita?

Pertunjukan ini melibatkan aktor, seniman visual, musisi, hingga desainer multimedia untuk menciptakan lanskap artistik yang utuh. Musik elektronik, desain kostum bernuansa avant-garde, serta permainan cahaya memperkuat atmosfer ilusi dalam karya.

Panggung dirancang berwarna putih, minimalis, dan didominasi kain serta benang merah—sebagai simbol memori, hubungan, dan trauma. Proyeksi video menampilkan arsip foto dan rekaman yang memperluas dimensi historis. Para aktor tidak hanya bertumpu pada dialog, tetapi juga gerak tubuh ekspresif untuk menghadirkan trauma, emosi, dan ingatan karakter.ssc/aen



BACA JUGA