Solok, sumbarsatu.com — Ratusan warga Nagari Batu Bajanjang, Kecamatan Lembang Jaya, Kabupaten Solok, kembali menyuarakan penolakan terhadap rencana pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) Gunung Talang–Bukik Kili.
Penolakan itu disampaikan langsung saat sosialisasi pemerintah daerah bersama PT Hitay Daya Energi di Masjid Nurul Islam, Kamis (13/11/2025).
Liwar, salah satu petani, menilai materi sosialisasi tidak akurat dan tidak transparan. Ia menyebut foto-foto yang ditampilkan tim ahli gubernur tidak berasal dari lokasi proyek.
“Ladang bawang yang mereka tampilkan bukan di Muara Labuh, tapi Alahan Panjang. Air panas di sini sudah ada dari nenek moyang. Air kami bersih tanpa proyek geothermal,” ujarnya. Ia menilai dampak negatif seperti risiko gas beracun, kerusakan lahan, dan pencemaran air tidak dijelaskan kepada warga.
Liwar menegaskan masyarakat tidak anti pembangunan, tetapi menolak proyek yang dinilai tidak membawa manfaat bagi petani. “Ekonomi kami makmur sebagai petani. Sayur ke banyak daerah berasal dari sini. Kami hanya ingin mempertahankan tanah untuk anak cucu,” katanya.
Penolakan serupa disampaikan Jasmanto, petani lainnya. Ia mengingatkan bahwa masyarakat sudah menolak sejak 2017. “Kami ingin hidup tenang sebagai petani tanpa ancaman geothermal. Tahun 2020 perusahaan sudah pergi. Sekarang datang lagi. Kami tetap menolak,” ujarnya.
Menurut Jasmanto, proyek geothermal mengancam tanah ulayat, sumber air, serta masa depan generasi di nagari. “Kalau pemerintah bilang ini untuk kepentingan nasional, di mana kepentingan masyarakat di sini? Risiko gas, air tercemar, tanah hilang—itu ancaman, bukan pembangunan,” tegasnya.
Warga Batu Bajanjang mendesak Pemkab Solok, Pemprov Sumbar, dan PT Hitay menghentikan seluruh proses pembangunan PLTP serta mencabut izin terkait proyek tersebut. Mereka menegaskan hak untuk mendapatkan informasi yang benar dan hak untuk menolak pembangunan yang berpotensi merusak ruang hidup.
Kepala Divisi Kampanye Publik LBH Padang, Calvin Nanda Permana, menyatakan aksi warga merupakan bagian dari hak sipil dan politik yang dijamin UU No. 9/1998 dan UU No. 39/1999 tentang HAM. Menurutnya, negara wajib memastikan prinsip Free, Prior and Informed Consent (FPIC) ketika pembangunan berdampak langsung pada masyarakat.
“Jika masyarakat berkata tidak, semua pihak harus menghormatinya. Keputusan yang tepat adalah menghentikan rencana proyek geothermal ini,” ujar Calvin. Ia menegaskan bahwa hak atas tanah dan lingkungan hidup merupakan hak asasi yang harus dilindungi negara.
Sosialisasi itu turut dihadiri Bupati Solok, Forkopimda, Dandim 0309/Solok, Kapolres Solok, PT Hitay Daya Energi, dan Tenaga Ahli Gubernur Sumbar, Yulnofrins Napilus. Saat presentasi ahli dianggap tidak sesuai fakta lapangan, warga langsung membentangkan spanduk penolakan. ssc/rel