Prof. Dr. Djohermansyah Djohan, M.A., Guru Besar IPDN
Jakarta, sumbarsatu.com – Ketika pejabat publik tersandung kasus korupsi, publik sering kali menyalahkan individu. Padahal, di balik perilaku buruk seorang pejabat, berdiri sistem yang cacat sejak awal—mulai dari proses pemilihan hingga lemahnya pengawasan.
Pakar pemerintahan dan otonomi daerah Prof. Dr. Djohermansyah Djohan, M.A., Guru Besar IPDN, menyebut realitas itu sebagai prinsip garbage in, garbage out—jika sistem menerima sampah, maka hasil yang keluar pun tetap sampah.
Sistem Pemilu yang Mahal, Hasilnya Murahan
Dalam wawancara bersama sejumlah media di Jakarta, Rabu (12/11/2025), Djohermansyah menegaskan bahwa akar persoalan kepemimpinan daerah di Indonesia bukan terletak pada kurangnya orang berintegritas, melainkan pada sistem pemilihan kepala daerah yang “mahal dan tidak sehat”.
“Kalau sistemnya buruk, orang baik pun bisa ikut rusak. Ini yang disebut garbage in, garbage out. Sistem pilkada kita masih berbiaya tinggi, dan yang bisa menang biasanya orang yang punya uang, bukan yang punya moral,” ujarnya.
Menurutnya, perilaku pemilih turut memperparah keadaan. Banyak masyarakat masih memandang pemilu sebagai transaksi ekonomi, bukan tanggung jawab moral.
“Pemilih kita banyak yang masih lemah secara ekonomi dan pendidikan. Kalau tidak diberi uang, mereka memilih untuk tidak datang ke TPS. Rata-rata pendidikan nasional kita baru setara kelas dua SMP, jadi kesadaran politik masih rendah,” jelasnya.
Akibatnya, yang lahir bukanlah pemimpin berintegritas, melainkan pejabat yang sejak awal sudah berpikir untuk “mengembalikan modal”.
“Begitu menang, mereka sibuk jual beli jabatan, main proyek, pengadaan barang, dan perizinan—semua demi balik modal. Inilah lingkaran setan yang belum bisa diputus,” tambahnya.
Jeruk Makan Jeruk
Selain sistem pemilihan yang mahal, Prof. Djohermansyah juga menyoroti lemahnya fungsi pengawasan di pemerintahan daerah—baik internal maupun eksternal.
Ia menyebut, pengawasan internal seperti inspektorat daerah sering kali tidak efektif karena adanya tumpang tindih kepentingan.
“Bagaimana mungkin inspektorat bisa mengawasi kepala daerah kalau ia berada di bawah kendali kepala daerah juga? Itu seperti jeruk makan jeruk,” katanya.
Sementara itu, lembaga pengawas eksternal seperti BPK dan BPKP pun tidak lepas dari persoalan integritas dan keterbatasan kewenangan.
“BPK itu seharusnya tajam, tapi dalam praktiknya sering tumpul ke atas dan tajam ke bawah. Audit bisa diatur. Jadi, baik pengawasan internal maupun eksternal sama-sama kurang bergigi,” ujarnya kritis.
Kondisi ini, lanjutnya, membuat operasi tangkap tangan (OTT) terus berulang dengan modus yang sama—dari jual beli jabatan hingga pengadaan barang.
“Saya cemas. Ini hanya soal waktu. Yakin saya, sebentar lagi ada lagi kepala daerah kena OTT. Data saya menunjukkan sudah ada 462 kepala daerah terjerat kasus hukum,” ungkapnya.
Prof. Djohermansyah mengungkapkan bahwa rekrutmen politik berbiaya tinggi tidak hanya terjadi di tingkat kepala daerah, tetapi juga di legislatif.
“Mau jadi calon legislatif sekarang butuh miliaran rupiah. Jadi DPRD atau DPR, semua butuh ongkos politik yang mahal. Akibatnya, begitu duduk, mereka berpikir mengembalikan modal, bukan memperjuangkan rakyat,” tegasnya.
Ia menilai, akar masalah ini hanya bisa diputus melalui reformasi total terhadap sistem politik dan pemerintahan, bukan sekadar menambal undang-undang.
“Negara ini perlu turun mesin. Reformasi bukan slogan, tapi kerja nyata memperbaiki sistem pemilihan dan pengawasan,” katanya.
Menanggapi usulan perbaikan sistem, Prof. Djohermansyah mengajukan solusi realistis: tidak semua daerah harus menjalani pilkada langsung.
“Daerah seperti Jakarta, dengan pendidikan dan ekonomi yang lebih baik, bisa tetap pilkada langsung. Tapi untuk daerah-daerah yang PAD-nya kecil dan tingkat pendidikan rendah, lebih baik pemilihannya lewat DPRD saja,” usulnya.
Ia menyebut sistem asimetris ini dapat menghemat biaya politik sekaligus mengurangi risiko korupsi.
“Kalau PAD cuma tiga persen dari APBD, bagaimana bisa mereka biayai pilkada langsung tanpa korupsi? Jadi, jangan seragam. Kita harus cerdas dalam desain sistem politik daerah,” tambahnya.
Prof. Djohermansyah mendesak agar pemerintah dan DPR segera merevisi Undang-Undang Pilkada Nomor 10 Tahun 2016 dan UU Pemilu Nomor 7 Tahun 2017, sebelum pelaksanaan pemilu berikutnya.
“Jangan tunggu sampai 2029 atau 2031 dengan sistem yang sama. Harus diperbaiki dari sekarang agar rekrutmen kepala daerah dan legislatif ke depan lebih bermoral dan berkualitas,” ujarnya.
Baginya, inti persoalan bukan hanya siapa yang terpilih, tetapi bagaimana sistem melahirkan mereka dengan benar.
“Kalau mesin politik kita tetap memproduksi dari bahan baku kotor, jangan berharap hasilnya bersih,” tegasnya menutup wawancara
Dari wawancara ini, satu pesan Prof. Djohermansyah paling mudah dicerna namun paling sulit dijalankan: politik harus kembali pada moral.
Tanpa moralitas, birokrasi akan kehilangan profesionalitas, rakyat tidak akan mendapatkan pelayanan publik yang adil, dan pembangunan tak akan bisa dipercepat.
Selama sistem politik masih menganggap uang lebih penting daripada amanah, bangsa ini akan terus melahirkan pemimpin yang transaksional—bukan pemimpin yang transformasional. ssc/rel