
Jakarta, sumbarsatu.com— Center for Market Education (CME) menyoroti polemik seputar pengumuman Badan Pusat Statistik (BPS) mengenai pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal II 2025 yang dinyatakan mencapai 5,12 persen.
Sejumlah kalangan mempertanyakan angka ini. Namun, bagi CME, perdebatan tersebut justru melupakan masalah yang lebih mendasar: ketergantungan berlebihan pada Produk Domestik Bruto (PDB) sebagai tolok ukur utama kesejahteraan ekonomi.
Selama ini, kenaikan PDB kerap diperlakukan bak “angka keramat” penentu kesejahteraan. Padahal, PDB hanyalah agregat statistik yang belum tentu sejalan dengan realitas hidup masyarakat.
Pertumbuhan PDB bisa saja terjadi bersamaan dengan stagnasi upah, menyusutnya jumlah kelas menengah, meningkatnya pemutusan hubungan kerja (PHK), atau melonjaknya biaya hidup. Dalam kondisi seperti ini, angka PDB tidak cukup menggambarkan apa yang dirasakan rumah tangga sehari-hari.
Peneliti CME sekaligus pengajar Universitas Prasetiya Mulya, Dr. Yohanes Berenika Kadarusman, menekankan perlunya transparansi dan integritas BPS dalam menyajikan data yang konsisten, relevan, dan mencerminkan kondisi sosial-ekonomi yang sebenarnya.
“Validitas dan reliabilitas data harus dijaga agar publik tidak ragu dan tetap memiliki ekspektasi positif,” ujar Yohanes Berenika Kadarusman, Selasa, (12/8/2025).
Meski demikian, ia juga mengingatkan pentingnya mengaitkan angka-angka resmi dengan fenomena keseharian di masyarakat, seperti penyusutan kelas menengah, PHK, dan indikator sosial lainnya, agar data tidak kehilangan relevansi.
Chief Economist CME, Alvin Desfiandi — yang juga anggota fakultas di Universitas Prasetiya Mulya — menilai kenaikan PDB tidak serta-merta berarti ekonomi berada di jalur yang tepat.
“Jika angka pertumbuhan didorong belanja pemerintah yang tidak produktif dan dibiayai defisit, dampaknya hanya sementara. Ke depan, hal ini malah berisiko memicu inflasi, salah alokasi sumber daya, dan meningkatnya pengangguran,” jelasnya.
Country Manager CME, Alfian Banjaransari, menambahkan:
“PDB adalah alat yang berguna, tapi tetap saja bukan kompas. Jika dijadikan satu-satunya patokan, kita mengabaikan dimensi yang lebih humanistik dalam kehidupan ekonomi — ketahanan rumah tangga, pemerataan kesempatan, dan keberlanjutan pertumbuhan itu sendiri. Pertanyaannya bukan sekadar apakah PDB naik, melainkan apakah pertumbuhan itu berakar pada fondasi yang sehat dan mampu meningkatkan kualitas hidup masyarakat secara berkelanjutan?”
CME menegaskan, pertumbuhan ekonomi yang sehat dan berkelanjutan adalah pertumbuhan yang manfaatnya terasa luas, bertahan lama, dan tidak memicu siklus “boom and bust” yang merugikan. Ukurannya bukan hanya PDB, tetapi juga:
-
Investasi swasta yang dominan dan menjawab kebutuhan pasar nyata.
-
Tabungan rumah tangga yang cukup untuk menghadapi guncangan ekonomi.
-
Keuangan negara yang stabil melalui belanja cermat dan pajak yang efisien. ssc/rel