Menyigi Gelar Akademik ‘Doktorandus’ dan ‘Insinyur’ Jokowi

Minggu, 27/04/2025 06:44 WIB

OLEH Suryadi (Leiden University)

SEBAGAIMANA sudah diketahui umum melalui berbagai postingan tentang Jokowi di medsos, saat menjabat sebagai Walikota Solo (2005-2012), (mantan) Presiden Indonesia ke-7 itu memakai gelar akademik ‘Doktorandus’ (Drs.). Gelar ‘Drs.’ Jokowi itu antara lain terlihat di caption berita media ketika Walikota Solo itu berkunjung ke pabrik tekstil Sritex di Sukoharjo pada 20 September 2006. (lihat: https://www.sawitku.id/hype/81414991310/selamat-ginting-bingung-jokowi-wali-kota-solo-bergelar-drs-jadi-gubernur-bergelar-ir; Ilustrasi 1).

Gelar ‘Drs.’ Jokowi itu diketahui umum selama dia berkampanye menjadi Wali Kota Solo dan gelar itu sering dilekatkan pada caption-caption berita pers mengenai dirinya selama ia menjabat sebagai Wali Kota Solo.

Sampai akhir masa jabatannya sebagai Wali Kota Solo, Jokowi masih memakai gelar “Drs.’ Namun, gelar itu berubah menjadi “Ir.” ketika dia mencalonkan diri dan kemudian terpilih menjadi Walikota Jakarta, dan setelah itu terpilih pula menjadi Presiden Republik Indonesia yang ke-7 selama dua periode (2014-2024).

Perubahan gelar akademik Jokowi ini dapat dilacak melalui berbagai media massa yang terbit di Jawa dan di Ibukota Republik Indonesia, Jakarta, dalam periode 2005 sampai 2024. (Lihat misalnya: https://leadersforum.uksw.edu/pages/presiden-ri-ir-h-joko-widodo; Ilustrasi 2).

Berbagai ulasan dari banyak pihak di Indonesia soal perubahan gelar akademik Jokowi ini dapat diikuti melalui berbagai platform media sosial. Namun, ada hal-hal yang tampaknya belum dibahas dan, oleh karenanya, menjadi fokus perhatian saya dalam tulisan ini. Hal-hal tersebut adalah sebagai berikut (kursif oleh penulis):

  1. Apakah gelar akademik “Drs.” dan “Ir.” yang dengan bangga letakkan Jokowi di depan namanya berasal dari bidang ilmu yang sama?
  2. Apakah gelar akademik “Drs.” dan “Ir.” yang dengan bangga dilekatkan Jokowi pada namanya berasal dari bidang ilmu yang berbeda?
  3. Apakah kedua gelar itu (‘Drs.’ dan ‘Ir.’) diperoleh dari satu jurusan (opleiding) dalam lingkungan fakultas tertentu di universitas tertentu?
  4. Apakah kedua gelar itu (‘Drs.’ dan ‘Ir.’) diperoleh dari dua jurusan (opleiding) yang berbeda dalam lingkungan fakultas tertentu di universitas tertentu?
  5. Apakah gelar akademik “Drs.” dan “Ir.” yang dengan bangga diletakkan oleh Jokowi di depan namanya diperolehnya (jika memang benar) dari universitas yang berbeda?

Pada tahun 1980-an, saat Jokowi mengaku kuliah dan berhasil menamatkan kuliahnya di UGM, bahkan sampai 1990-an, gelar ‘Drs’ dan ‘Ir’, yang merupakan warisan dari system akademik zaman kolonial, masih biasa dipakai untuk bidang banyak ilmu yang dipelajari di tingkat universitas di Indonesia. Namun, gelar ‘Drs.’ (untuk laki-laki) dan ‘Dra.’ (Doktoranda) untuk wanita) biasa dilekatkan pada nama lulusan universitas yang mengambil bidang ilmu sosial dan humaniora, juga beberapa bidang ilmu eksakta. Akan tetapi gelar ini tidak pernah digunakan untuk mereka yang lulus ilmu pertanian dan kehutanan.

Sebagaimana sudah sama diketahu, Fakultas Kehutanan UGM semula merupakan bagian dari Fakultas Pertanian dan Kehutanan (sejak 1952/53), tapi kemudian dipecah sehingga Fakultas Kehutanan berdiri sendiri secara resmi pada 17 Agustus 1963). Lulusannya diberi gelar ‘Insinyur’ (‘Ir.’)

Kelima pertanyaan di atas tentu menarik untuk diselidiki lebih lanjut. Artinya, banyak pertanyaan yang kini muncul seputar ijazah “Ir.” Jokowi yang diakui oleh UGM sebagai produk Fakultas Kehutanan-nya dari ‘Jurusan Teknologi Kayu’ fakultas itu yang misterius (lihat: >https://sumbarsatu.com/berita/32869-misteri-‘jurusan-teknologi-kayu’-fakultas-kehutanan-ugm), penyelidikan-penyelidikan lebih lanjut dapat dilakukan yang diharapkan dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas.

Logikanya, jika Jokowi memang lulus dari Fakultas Kehutanan UGM dengan gelar ‘Ir.’, maka gelar ‘Drs.’ yang dia pakai sebelumnya ketika masih menjadi Walikota Solo sangat mungkin berasal dari bidang studi lain (dari UGM atau universitas lain).

Oleh karena itu perlu diselidiki lebih jauh apakah pemberian kedua gelar akademik itu kepada Jokowi melibatkan satu jurusan, satu fakultas, dan satu universitas yang sama (UGM) saja? Atau pekerjaan sistematis tapi berbau kepalsuan melibatkan lebih dari satu institusi perguruan tinggi? (kursif oleh penulis)

Oleh karena itu, para insan akademik dan intelektual Indonesia yang masih peduli dengan kejujuran akademik dan masih berkomitmen menjaga muruah (martabat) institusi perguruan tinggi (akademik) Indonesia, perlu bahu-membahu mengungkapkan berbagai kejanggalan yang menyangkut gelar-gelar akademik Jokowi ini. Ini sekaligus usaha untuk membentengi dunia akademik Indonesia dari pengkuyo-kuyoan yang dilakukan dengan semena-mena oleh kekuasaan politik yang arogan dan kebablasan.

Salah satu cara kea rah pengungkapan gelar ‘Drs.’ Jokowi ini adalah melakukan penyelidikan terhadap arsip Komisi Pemilihan Umum (KPU) Solo 2005, melalui mana diharapkan dapat diperoleh informasi universitas apa yang telah memberikan gelar ‘Drs.’ Kepada Jokowi. (kursif dari penulis). Kiranya hal ini perlu dilakukan sesegera mungkin, mengingat ada kesan Upaya penghapusan jejak Jokowi oleh otoritas-otoritas yang terkait dan terlibat dalam pencalonannya sebagai pejabat publik, seiring dengan viral-nya kasus ijazah Jokowi ini.

Sebagaimana sudah diberitakan secara luas, CV Jokowi untuk pencalonannya sebagai presiden Indonesia 2019 konon sudah tidak ditemukan lagi di situs KPU  (lihat: https://www.tribunnews.com/nasional/2025/04/23/penggugat-ijazah-jokowi-klaim-cv-presiden-ke-7-ri-hilang-di-situs-kpu-saat-nyalon-pilpres-2019).

Indikasi-indikasi yang menunjukkan adanya upaya penghilangan arsip-arsip yang terkait dengan pencalonan Jokowi sebagai Presiden RI mengilatkan adanya sesuatu yang tak beres dalam lembaga KPU. Oleh karena itu, kiranya baik jika diselidiki pula arsip-arsip yang terkait dengan pencalonan Jokowi sebagai Gubernur DKI Jakarta dan Walikota Solo, sebelum arsip-arsipnya Jokowi di kedua lembaga KPU ini dikhawatirkan akan hilang pula.

Semoga para kaum intelektual/akademisi Indonesia terus bahu-membahu menjaga muruah dunia akademik di Republik ini.

Leiden, 26 April 2025

Dr. Suryadi (Leiden University, Penjunjung tinggi kejujuran & kebebasan akademik)



BACA JUGA