
Koto Gadang, Sumatera Barat – Sejumlah pegiat warisan budaya dari dalam dan luar negeri berkolaborasi dalam lokakarya Rural Cultural Landscape of Koto Gadang yang berlangsung pada 18–22 Agustus 2025. Kegiatan yang dikemas sebagai program heritage immersion ini menekankan pendokumentasian budaya dan lanskap Koto Gadang, salah satu nagari yang bersejarah di Sumatera Barat.
Lokakarya ini merupakan kerja sama antara Kage Sumbar (organisasi lokal Koto Gadang), Pan-Sumatra Network for Heritage Conservation (Pansumnet), Sumatera Heritage Trust, ICOMOS Indonesia, Pusat Dokumentasi Arsitektur Indonesia (PDA), Pasar Papringan (Revitalisasi Desa), Interpretasi Indonesia, Universitas Bung Hatta Padang, IPB University, Institut Sains dan Teknologi Nasional (ISTN) Jakarta, Universitas Sumatera Utara (USU), Community Tourism Development Association of Tainan City Taiwan, Heritage Hands-on Belanda, serta RJdK Architectuur Belanda.
Kegiatan ini dibuka pada Senin, 18 Agustus 2025 dengan melibatkan peserta lintas disiplin, mulai dari arsitektur, arsitektur lanskap, pariwisata, ekonomi, hingga komunikasi. Melalui metode Pemindaian Cepat Historic Urban Landscape (HUL), peserta dibagi ke dalam tiga kelompok kerja: warisan budaya benda (tangible), warisan budaya takbenda (intangible) dan pariwisata, serta lanskap (landscape).
Hasti Tarekat, narasumber dari Heritage Hands-on Belanda sekaligus inisiator program, menyampaikan bahwa lokakarya ini merupakan komitmen bersama untuk melestarikan warisan budaya sekaligus mengembangkan potensi nagari.
“Kita punya empat tujuan utama, yakni pendokumentasian kultur dan lanskap Koto Gadang, peningkatan kesadaran masyarakat lokal, pemberdayaan pemuda, serta revitalisasi nagari,” ujar Hasti Tarekat dalam relis yang diterima sumbarsatu, Kamis (21/8/2025).
Visual kegiatan yang dibagikan akun resmi penyelenggara di Instagram memperlihatkan antusiasme peserta sejak hari pertama, dengan suasana diskusi, kunjungan lapangan, serta interaksi dengan masyarakat. Lokakarya ini dirancang bukan hanya sebagai forum ilmiah, tetapi juga sebagai pengalaman langsung yang mempertemukan teori dengan praktik di lapangan.
Terletak di kaki Gunung Singgalang dan berdekatan dengan Ngarai Sianok, Koto Gadang memiliki kekayaan pusaka berupa rumah-rumah bergaya Indische peninggalan kolonial Belanda, kerajinan perak dan sulaman, serta jejak tokoh nasional seperti Agus Salim dan Rohana Kudus. Namun, potensi tersebut belum sepenuhnya terdokumentasi dan terpetakan secara utuh sebagai warisan budaya.
Jurian Andika, Founder Kage Sumbar yang memfasilitasi kegiatan, menyebut bahwa lokakarya ini menjadi titik awal penyusunan panduan bagi pemerintah desa dalam mengembangkan Koto Gadang.
“Harapannya, Koto Gadang bisa dikembangkan secara terkendali berdasarkan prinsip preservasi kawasan pusaka. Koto Gadang tidak diarahkan untuk menjadi kota, melainkan tetap sebagai desa. Modernisasi yang diharapkan bukan dalam bentuk fisik melainkan cara berpikir, maka dari itu rekomendasi lokakarya ini sangat diperlukan,” ujarnya.
Hasil dari lokakarya ini akan dirumuskan dalam sebuah laporan terintegrasi yang berisi rekomendasi pengembangan budaya dan lanskap Koto Gadang. Dokumen ini diharapkan menjadi rujukan bagi otoritas lokal, komunitas, dan lembaga pendidikan untuk melanjutkan upaya preservasi sekaligus memajukan pariwisata budaya nagari. ssc/nc