
Padang, sumbarsatu.com– Jaringan Peduli Perempuan (JPP), yang terdiri dari WCC Nurani Perempuan, LBH Padang, YCMM, KPI, LP2M, HWDI, PBHI, Yayasan Akbar, Pelita Padang, PBT, PKBI, Q-Bar, PSE Caritas, Walhi Sumbar, Yayasan Taratak Jiwa Hati, AJI Padang, Forum Komunitas, serta gerakan masyarakat sipil Sumatera Barat, menggelar aksi teatrikal di depan Kantor Gubernur Sumatera Barat, Jumat (7/3/2025),
Aksi ini dilakukan dalam rangka memperingati International Women's Day (IWD), yang jatuh setiap tanggal 8 Maret, dengan bentuk monolog dan teatrikal.
Berdasarkan laporan United Nations Entity for Gender Equality and the Empowerment of Women (UN Women), peringatan IWD tahun ini mengusung tema "For ALL Women and Girls: Rights. Equality. Empowerment" atau "Untuk Semua Perempuan dan Anak Perempuan: Hak. Kesetaraan. Pemberdayaan."
Sumatera Barat, melalui JPP, mengangkat tema "Perempuan dalam Kungkungan Indonesia Gelap: Mari Ciptakan Keadilan dan Ruang Aman" sebagai respons terhadap kondisi yang masih menekan perempuan, khususnya di Sumatera Barat.
Merujuk pada data real-time KemenPPPA per 7 Maret 2025, sepanjang tahun 2024 terdapat 4.499 kasus kekerasan di Indonesia, dengan korban laki-laki sebanyak 955 orang dan perempuan 3.867 orang.
Artinya, dari setiap lima korban kekerasan, empat di antaranya adalah perempuan. Di Sumatera Barat, data BPS menunjukkan bahwa kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak pada tahun 2022 mencapai 795 kasus, sedangkan pada tahun 2023 meningkat menjadi 1.051 kasus, dengan kenaikan lebih dari 13% setiap tahunnya.
Sementara itu, Polda Sumbar mencatat bahwa pada tahun 2024 terdapat 1.687 kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak, tetapi hanya 629 kasus yang berhasil diselesaikan.
Fenomena femisida juga menjadi sorotan utama, mengingat beberapa kasus pembunuhan terhadap perempuan baru-baru ini, seperti NKS (18 tahun) di Pariaman dan CNS (16 tahun) di Tanah Datar.
Pembunuhan ini terjadi karena dominasi, penguasaan, serta pandangan bahwa perempuan adalah objek kepemilikan, sehingga pelaku merasa berhak bertindak semena-mena.
Femisida harus terus disuarakan agar negara mengambil tanggung jawabnya dalam melindungi, memenuhi, dan menghormati hak asasi manusia dengan kebijakan yang adil dan tepat sasaran.
Dalam aksi teatrikal, peserta menampilkan berbagai realitas perempuan yang menghadapi ketidakadilan dan kekerasan, di antaranya perempuan yang hamil akibat kekerasan seksual, perempuan dengan peran ganda yang dianggap tidak pandai melayani suami, perempuan yang kesulitan mendapatkan pekerjaan karena standar penampilan.
Selain itu, korban pemerkosaan sejak kecil yang mengalami gangguan mental, perempuan disabilitas yang mengalami diskriminasi, korban pelecehan verbal yang tidak mendapatkan keadilan hukum, ibu dengan bayi yang tinggal di daerah 3T tanpa akses layanan kesehatan.
Ada juga perempuan korban percobaan femisida, perempuan yang terpaksa menikah muda karena patriarki, serta perempuan korban kekerasan berbasis gender online (KBGO) oleh pacarnya.
Aksi ini dilanjutkan dengan monolog tentang perempuan yang ingin menentukan nasibnya sendiri, diakhiri dengan realitas ketidakberpihakan sistem terhadap mereka serta seruan tuntutan dalam peringatan IWD 2025.
Koordinator lapangan aksi, Anisa Hamda, menyatakan bahwa tema ini diangkat karena diskriminasi masih menjadi tantangan besar bagi perempuan.
Berbagai bentuk kejahatan berbasis gender, kekerasan seksual, kesenjangan gender, pernikahan dini, patriarki, misogini, dan sulitnya akses pendidikan serta kesehatan masih menjadi permasalahan utama.
Sementara itu, Rahmi Mery Yenti dari WCC Nurani Perempuan menegaskan bahwa aksi ini bertujuan menyampaikan pesan kepada masyarakat bahwa situasi perempuan semakin kompleks.
Jika negara terus abai terhadap hak-hak perempuan, perlindungan akan semakin lemah, dan ketidakadilan akan semakin parah. Oleh karena itu, perlu adanya upaya bersama untuk menyuarakan perlindungan bagi perempuan.
Dalam aksi ini, peserta menyampaikan beberapa tuntutan utama, di antaranya mendesak Gubernur Sumatera Barat untuk mengalokasikan anggaran penuh bagi pemulihan hak asasi perempuan dan anak korban kekerasan seksual serta memberdayakan masyarakat guna menghapus segala bentuk kekerasan, diskriminasi, dan eksploitasi.
Kepolisian Sumatera Barat juga diminta untuk mengatasi hambatan sistemik, membongkar patriarki, dan menciptakan ruang aman bagi korban kekerasan agar mereka dapat menuntut keadilan tanpa ketakutan.
Selain itu, mereka menyerukan penghentian kekerasan terhadap perempuan dengan menciptakan ruang aman, mendorong kesetaraan, serta menindak pelaku kekerasan agar stigma dan kebencian terhadap perempuan dapat dihapuskan.
Perempuan harus mendapatkan akses yang setara terhadap sumber daya, peluang, dan dukungan dalam aspek sosial ekonomi.
Tuntutan ini menegaskan bahwa meskipun telah ada kemajuan dalam perjuangan kesetaraan gender, masih banyak pekerjaan yang harus dilakukan.
Diperlukan tindakan kolektif dan kolaboratif dari seluruh lapisan masyarakat untuk menghapus hambatan yang tersisa dan memastikan bahwa hak, kesetaraan, dan pemberdayaan dapat dirasakan oleh semua perempuan dan anak perempuan.
Peserta aksi mengajak seluruh elemen masyarakat untuk berperan aktif dalam menciptakan dunia yang lebih adil dan setara bagi perempuan serta memastikan bahwa tidak ada yang tertinggal dalam perjuangan menuju kesetaraan gender. SSC/REL