
Pementasan tari kontemporer Rantau Berbisik karya koreografi Ery Mefri pementasan di Jakarta, 14 September 2015. Foto TEMPO
OLEH Sarah Azmi (Jurnalis)
RUANG itu gelap gulita. Lalu, cahaya kecil muncul di sudut panggung. Awal dari cerita dalam koreografi itu dimulai, yaitu pertunjukan seni Rantau Berbisik dibawakan oleh Nan Jombang Dance Company, karya Ery Mefri. Perlahan, cahaya pun melebar, memenuhi panggung.
Cahaya temaram dari sisi tengah panggung menangkap empat kursi dan satu meja. Di atasnya, penari (Rio) bergerak pelan memainkan tubuhnya. Kepalanya menyatu ke sisi perut. Kaki dengan celana galembong itu membentuk kuda-kuda. Kaki kiri diangkat sembari tangannya memutar, diikuti badannya. Kemudian, hanya tersisa kedua telapak tangannya. Tubuh itu menjulang kokoh ke atas.
Cahaya temaram berwarna kemerahan terbagi menjadi tiga ruang yang dibedakan oleh warna cahaya. Cahayanya dipancarkan dari atap langit panggung, membias ke sisi kanan. Suara bermunculan: suara piring yang teratur, ratapan yang samar-samar. Tiga perempuan (Ririn, Gebi, dan Intan) berdiri seolah mengutuk pepiringan, gerobak nasi tampak samar-samar. Bebunyian dari benda-benda ini mengeluarkan irama (musik) manual.
Koreografi Rantau Berbisik dipentaskan di Brisbane Powerhouse Theatre, Australia, pada 10 September 2010. Karya Ery Mefri berjudul Sang Hawa juga dipentaskan dalam event yang sama. Pertunjukan tari Rantau Berbisik tahun 2010 ini diputar ulang dalam acara Workshop Penulisan Apresiasi Seni Pertunjukan di Hotel Daima pada 19–21 Februari 2025. Acara ini diikuti oleh jurnalis dari berbagai media di Kota Padang dan diselenggarakan oleh Nan Jombang Dance Company dalam rangkaian KABA Festival X.
Sebelumnya, pada 2007, Nan Jombang Dance Company telah mementaskan Rantau Berbisik di Brisbane Powerhouse. Sejak itu, karya ini telah dipentaskan di berbagai tempat di Australia, Filipina, dan Jepang. Selama kunjungan ke Australia, Nan Jombang juga berpentas serta memberikan kursus khusus di Festival Darwin, serta menampilkan karya mereka di Festival OzAsia di Adelaide.
Sejak tahun 2000, Ery Mefri tidak lagi menggunakan alat-alat musik pengiring. Musik hanya dihasilkan dari para penari dengan menepuk celana galembong (celana silek) dan anggota tubuh, juga dari properti lainnya yang inheren dengan pertunjukan.
Suara di panggung dari tubuh-tubuh dan ketukan meja kian gemuruh dan dinamis. Bebunyian piring yang beradu mengeluarkan bunyi nyaring. Rio membentuk komposisi gerak di atas meja. Tangannya menyatu dengan kaki. Kadang kepalanya sejajar dengan punggung. Semua tubuh terlihat menjadi satu dalam bentuk cekungan. Gerakan ini menggunakan dasar-dasar teknik silek tuo Minangkabau.
Kemudian, cahaya panggung berubah menjadi ungu. Kedua telapak tangan penari Rio memukul-mukul meja, menimbulkan bunyi yang kian keras. Penari lainnya (Angga) muncul dari belakang panggung. Tadi ia bergerak pelan, lalu meloncat ke atas meja. Rio mengikuti. Keduanya membangun imajinasi lewat komposisi gerak tari. Tubuh yang menyatu itu menyimbolkan multitafsir. Puncak dari dramaturgi koreografi Rantau Berbisik adalah bagian ini: klimaks.
Alur tari menuju antiklimaks. Kemudian, tiga perempuan yang berdiri di sisi gerobak makanan berlari sembari memainkan piring, seperti dalam tarian piring yang populer itu. Piring-piring menghasilkan bebunyian dari jemari penari. Bunyinya bervariasi, imajinatif. Lalu, bebunyian itu membawa ingatan pada kampung kelahiran.
Penonton senyap. Entah apa yang ada dalam pikiran mereka saat piring-piring mengeluarkan nada-nada dan suara yang kian keras, tetapi tetap teratur. Tiga penari mengitari meja, diikuti Rio dan Angga.
Panggung diam sesaat. Semua sisi bangku sudah diisi tangan-tangan para penari. Mereka menghentakkan kedua tangannya. Sementara itu, meja penuh oleh piring. Puk, pak, bum, puk, pak, bum dan suara ratapan yang lunak memecah bunyi lainnya. Suasana terasa lembap dan dingin.
Kini, semua telah mengelilingi meja. Perlahan, mereka menepuk-nepuk galembong dengan tubuh bergerak ke kiri dan ke kanan. Para penari ini mulai tenang. Kini tidak ada gerak. Seperti mematung. Mereka bergeser ke satu sudut cahaya di belakang panggung. Hening.
Namun, sepanjang pertunjukan, saya melihat kursi yang disusun di tiap sudut meja hanya berfungsi sebagai tempat pukul-memukul yang menghasilkan suara, tetapi tidak difungsikan sebagaimana mestinya kursi digunakan.
Pertunjukan berdurasi satu jam itu dihabiskan di atas meja dengan membangun gerak, simbolisasi, dan jalan cerita. Kesan yang muncul, meja itu menjadi panggung di atas panggung bagi Rio dan Angga. Keduanya sebagai pusat cerita ternyata membutuhkan waktu satu tahun dalam prosesnya. Tiga pemain lainnya—Ririn, Intan, dan Gebi—berperan sebagai penjaga gerobak nasi sembari bergulat dengan bunyi-bunyian untuk menciptakan musik dari properti yang ada.
Ketika pemutaran video Rantau Berbisik selesai, saya melihat wajah peserta lainnya. Saat lampu kembali dinyalakan, banyak yang tertegun. Ada juga yang matanya memerah. Barangkali mereka merasakan hal yang sama dengan saya. Sebuah percakapan dalam gerak-gerak si penari yang ingin menyampaikan pergolakan antara kerasnya hidup di perantauan dengan usia yang masih terbilang kecil, serta ingatan-ingatan lampau tentang kampung halaman. Kemudian, semua ingatan itu berpuncak pada sosok ibu (yang diperankan oleh Angga).
Pertunjukan Rantau Berbisik membuat saya terpukau dengan setiap detail gerakan yang dilakukan oleh seluruh tubuh penari, terutama Rio dan Angga. Saya pun penasaran, berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk menjadikan tubuh itu sebagai suara yang mampu menyampaikan banyak pesan kepada penonton. Ternyata, Rio tidak hanya berlatih selama satu tahun. Ia telah memulai latihan gerak tubuh sejak Sekolah Menengah Pertama (SMP). Ketekunan ini membuatnya, bersama para penari Nan Jombang lainnya, berkesempatan tampil di berbagai panggung di belahan dunia. Ada lebih dari 60 pertunjukan seni tari karya Ery Mefri yang telah dibawakan oleh grup tari yang resmi dibentuk pada 1 November 1983 ini.
Menurut Angga Djamar, atau yang akrab dipanggil Angga sekaligus Direktur Festival Nan Jombang Dance Company, ia dan rekan-rekannya selalu menerapkan prinsip bahwa berlatih itu seperti "makan nasi." Menurutnya, jika manusia tidak makan, maka ia akan mengalami rasa lapar. Jika rasa lapar itu ditahan, maka akan menimbulkan rasa perih. Inilah bayangan saya ketika mendengar kalimat itu dari Angga. Ternyata, yang saya dan kawan-kawan tonton ini tak lepas dari ketekunan para penari Nan Jombang yang berlatih setiap hari selama enam jam. Kalimat yang paling saya sukai dari semangat Angga adalah, "Saya hidup untuk menari dan akan terus menari."
Cerita di balik Rantau Berbisik lahir dari pengalaman pribadi Ery Mefri, pencipta koreografi ini sekaligus pimpinan Nan Jombang Dance Company. Ia mengatakan bahwa Rantau Berbisik merupakan karya tari yang terinspirasi dari pengalaman personalnya pada tahun 1970-an, saat masih duduk di bangku Sekolah Dasar (SD). Ia tidak naik kelas, lalu merantau ke Jakarta. Usianya yang masih kecil ternyata tak kuat menanggung beratnya pekerjaan yang harus ia pikul. Ia menceritakan bahwa dirinya diperantaukan sebagai pencuci piring di rumah makan padang—pekerjaan yang tak mengenal waktu.
Kenangan dan pengalaman merantau di usia bocah itu mengendap puluhan tahun lamanya. Kilas balik ingatan Ery Mefri yang paling lekat dan kuat adalah ketika ia dijemput oleh Emaknya untuk pulang ke kampung halaman dan melanjutkan sekolah.
"Jakarta bukan duniamu, Nak," kata Emaknya membujuk agar ia pulang bersamanya. Untuk menemukan anaknya tercinta, bukanlah perkara mudah. Perjuangan yang panjang dan penuh kegigihan harus dilalui, terlebih saat itu komunikasi belum secanggih sekarang.
Merantau dalam kisah Rantau Berbisik merupakan transformasi pengalaman batinnya yang ia curahkan lewat komposisi gerak, simbol-simbol, bebunyian, serta cahaya.
Pertunjukan pertama Rantau Berbisik pada tahun 2009 ditampilkan di Indonesia Performing Art Mart (IPAM). Setelah itu, karya ini ditampilkan di berbagai belahan dunia.*