Serangan Digital Terhadap Media Siber, AMSI Nilai Ancaman Serius bagi Kebebasan Pers

Jum'at, 21/02/2025 11:36 WIB

Jakarta, sumbarsatu.com - Yayasan Tifa, Perhimpunan Pengembangan Media Nusantara (PPMN), dan Human Rights Working Group (HRWG) meluncurkan skor terbaru Indeks Keselamatan Jurnalis di Indonesia pada Kamis (20/2/2025).

Berdasarkan riset yang dirilis di Jakarta Selatan, skor keselamatan jurnalis selama 2024 tercatat di angka 60,5 poin atau masuk kategori "agak terlindungi". Peluncuran indeks ini bertepatan dengan Konvensi Media yang diselenggarakan Dewan Pers dalam rangka memperingati Hari Pers Nasional.

Meskipun terdapat peningkatan skor dari tahun sebelumnya, riset ini mengungkapkan bahwa ancaman terhadap jurnalis dan media terus meningkat, terutama dalam bentuk intimidasi, kekerasan fisik, serta serangan digital seperti doxing dan serangan siber lainnya.

Secara khusus, Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI) menyoroti maraknya serangan Distributed Denial of Service (DDoS) terhadap media yang mengusung pemberitaan kritis dan independen.

Serangan DDoS, Bungkam Kebebasan Pers

Serangan DDoS semakin mengganggu operasional media dan mengancam kebebasan pers di Indonesia. Selain menyebabkan situs berita tidak dapat diakses oleh publik, serangan ini juga meningkatkan biaya operasional media yang harus mengeluarkan dana besar untuk memperkuat infrastruktur server mereka.

AMSI menegaskan bahwa perlindungan terhadap pers harus mencakup tidak hanya keselamatan jurnalis, tetapi juga keamanan digital perusahaan media agar tetap dapat beroperasi tanpa tekanan.

Riset kualitatif AMSI menemukan bahwa serangan DDoS kerap menimpa media yang mengangkat isu sensitif seperti korupsi di kepolisian, judi online, dan pelanggaran hak asasi manusia.

Riset ini dilakukan pada Desember 2024 dengan melibatkan media anggota AMSI yang menjadi korban serangan digital, termasuk Tempo, KBR, Narasi, Suara.com, Project Multatuli, Pojoksatu.id, serta Harapanrakyat.com.

Ketua Umum AMSI, Wahyu Dhyatmika, menegaskan perlunya memperluas definisi kekerasan terhadap pers agar mencakup serangan digital terhadap perusahaan media.

“Di era digital ini, media tidak hanya menghadapi ancaman terhadap jurnalisnya, tetapi juga serangan terhadap infrastruktur mereka. Serangan digital yang bertujuan menghalangi akses publik terhadap informasi adalah bentuk baru dari upaya pembungkaman pers,” kata Wahyu Dhyatmika, Jumat (21/2/2-25).

Serangan Sistematik

Salah satu kasus serangan digital paling brutal dialami Narasi.tv pada September 2022. Saat itu, seluruh konten situs Narasi.tv tidak dapat diakses akibat serangan DDoS. Bahkan, beberapa perangkat dan akun media sosial awak Narasi juga diretas oleh pihak tak dikenal.

Setelah serangan tersebut, Narasi menerima ancaman dengan pesan “diam atau mati.” Hingga kini, kasus tersebut masih belum terungkap meskipun telah dilaporkan ke kepolisian.

Laban Laisila, Kepala Pemberitaan Narasi.tv, menyebut bahwa serangan DDoS telah menjadi bagian dari keseharian kerja redaksi mereka.

“Durasi serangan tidak bisa diprediksi, ada yang berlangsung cepat, ada pula yang berhari-hari. Serangan terbesar pada 2022 berlangsung selama sekitar dua minggu,” ujarnya.

Tak hanya Narasi, media lain juga mengalami serangan serupa. Pada 2023, situs KBR.ID tidak dapat diakses selama tujuh hari akibat serangan DDoS, sementara Project Multatuli menjadi sasaran ketika mengangkat isu ojek online dan kasus pencabulan di Sulawesi. Tempo juga mengalami serangan berat setelah menerbitkan berita terkait judi online dan kepolisian pada September 2023. Hal serupa menimpa Suara.com pada Oktober 2023.

“Serangan yang masuk ke server kami sangat masif, seolah-olah jumlah pengunjung membeludak. Namun setelah dianalisis, tidak ada lonjakan traffic yang wajar. Akibatnya, server menjadi sangat lambat,” jelas CEO Suara.com, Suwarjono.

Tak hanya media nasional, serangan digital juga menyasar media lokal. Pojoksatu.id, misalnya, mengalami serangan DDoS selama 2020-2022 dengan jumlah traffic mencurigakan yang berasal dari luar negeri. Serangan serupa juga dialami Harapanrakyat.com, yang berdampak pada penurunan traffic hingga 80 persen serta merosotnya pendapatan dari iklan.

Serangan digital ini memberikan tekanan finansial besar terhadap perusahaan media. Biaya pengelolaan server melonjak drastis, bahkan bisa mencapai dua hingga lima kali lipat dari biaya normal.

“Pernah suatu waktu, biaya server kami lebih besar daripada gaji karyawan,” ungkap Muhammad Ridwan dari Pojoksatu.id.

Dampaknya tidak hanya terbatas pada aspek finansial, tetapi juga berimbas pada kebijakan editorial di redaksi. Serangan yang terus-menerus terhadap konten tertentu memunculkan kekhawatiran bahwa pemberitaan lain juga akan menjadi target.

“Dalam beberapa kasus, kami terpaksa menurunkan berita untuk menghindari serangan lebih luas,” tambah Ridwan. Hal ini menunjukkan bahwa serangan digital dapat mendorong praktik swa-sensor, yang bertentangan dengan prinsip kebebasan pers.

AMSI mendesak Dewan Pers dan Kementerian Komunikasi dan Informatika untuk mendorong aparat penegak hukum agar serius menangani serangan digital terhadap media.

“Jika serangan ini terus dibiarkan, media di Indonesia bisa kehilangan keberanian untuk menyajikan berita kritis dan independen karena takut dibangkrutkan,” ujar Wahyu Dhyatmika.

Serangan digital terhadap media bukan sekadar gangguan teknis, melainkan bagian dari upaya sistematis untuk membungkam kebebasan pers. Oleh karena itu, diperlukan langkah konkret dari pemerintah dan pemangku kepentingan agar pers di Indonesia tetap dapat menjalankan tugasnya sebagai pilar demokrasi. SSC/MN

 



BACA JUGA