ULEH Angelique Maria Cuaca (Jurnalis)
PERTUNJUKAN koreografi “Sang Hawa” dibuka dengan siraman lampu berwarna biru di tengah ruang serba guna lantai 4 Gedung Kebudayaan Sumatera Barat yang disulap menjadi tempat pementasan, Sabtu malam, 21 Desember 2024. Tak lama muncul kabut teatrikal yang dihasilkan dari mesin smoke fogger sehingga membangung suasana haru biru. Dan warna biru sinar lampu menjadi bias agak keunguan. Perasaan sesak pilu mulai menyeruak di dalam dada. Suara perempuan melantunkan ratok keibaan. Terkesan meratap.
Perlahan perempuan itu muncul mengenakan balutan merah. Ia berjalan pelan agak gontai sembari meratok lirih menyayat hati. Ratok merupakan bahasa Minang yang berarti ratap atas kesedihan atau berita duka. Ia tak berkata-kata, hanya suara berirama minor yang bergelombang naik turun keluar dari kerongkongannya. Memecah sunyi di ruang yang sebenarnya tak layak disebut ruang pertunjukan. Suara itu membuat suasana hati saya makin tak karuan—antara sedih, sesak, ingin berteriak—semuanya bercampur aduk.
Angga Djamar, penari yang menjadi lakon ibu itu mulai menggerakan badannya secara pelan namun bertenaga. Geraknya menyerupai gerak dasar silek Minangkabau. Kemudian, ia memutar badannya pada posisi terbalik. Sekarang kepalanya berada di bawah, menumpu badannya yang tegak lurus ke arah langit-langit ruangan. Kakinya mengayun ke segala arah secara perlahan.
Tak lama datang seorang lelaki (Rio Mefri) berkepala plontos, bertelanjang dada, dan menggunakan galembong merah. Ia jalan perlahan, datang dari arah kanan mendekat ke si ibu. Lalu, ia menirukan gerak si perempuan tadi. Tapi tanpa suara.
Gerakan itu seolah menandakan seorang anak yang mengimitasi cara dan tindak induknya. Pelajaran dasar seorang anak dimulai dari ia meniru sesuatu yang lekat dengannya sejak dalam kandungan. Sesuatu yang menubuh antara ibu dan anak. Satu darah, satu daging.
Hubungan material yang sangat lekat. Saya merasakan kelekatan itu. Keduanya menubuh. Saya tidak menangkap ada komunikasi yang sensual antarkeduanya. Itu bukan hubungan romansa antarsepasang kekasih. Tapi saya melihat mereka berdua seolah adalah satu tubuh, tidak terpisah. Si ibu duduk tegak sedangkan si anak duduk sedikit membungkuk, lebih rendah dari ibunya.
Selama kurang lebih 35 menit, penonton disuguhkan kemelut perasaan Mandeh (ibu) Minang serta hubungannya dengan anak laki-laki. Dimulai dari fase seorang ibu bersama anaknya. Ia menimang dan menggendong si anak. Pada menit awal mereka berpelukan dengan penuh kasih. Si ibu memangku, menggendong anaknya dan berputar sambil tersenyum. Ratoknya berhenti saat itu.
Seolah ingin menyampaikan ke penonton bahwa arti anak bagi ibu seperti ungkapan masyarakat Minangkabau : anak kanduang sibiran tulang, ubek jariah palarai damam (anak kandung si buah hati, obat di kala letih setelah bekerja, penyembuh dari demam/sakit). Begitu kuat perasaan seorang ibu pada anaknya, dalam dan luas.
Di tengah pertunjukan, kemelut dimulai. Raut wajah si ibu dan anak menegang. Suara napas mereka terdengar cepat. Dada keduanya kembang kempis, bergerak naik dan turun. Lampu panggung berubah menjadi merah, asap menghilang. Ibu dan anak itu meloncat menghempas kaki ke papan hitam yang menjadi sasaran pertunjukan. Mata keduanya memerah, masing-masing kaki mereka memasang kuda-kuda silek dan bergerak saling melawan. Tak lama keduanya tersungkur.
Muncul dialog pendek dan berulang-ulang antarkeduanya.
Anak: Bujang marantau bukan tak bakarano (anak laki-laki merantau bukan tanpa alasan)
Ibu: Pilihan Kato Nan salah pakai (pilihan kata yang salah pakai)
Anak: Warih Nan tajawek di adat Nan tapakai (waris yang diterima di adat yang dipakai)
Ibu: Jalan ko dialiah urang lalu. Cupak kok dipapek urang manggaleh. Disinan bana mufakaik basangketo. ( jalan ini diambil orang yang lewat. Timbangan sama dirata oleh orang yang berdagang. Di sana sengketa mufakat benar-benar terjadi)
Dialog ini semacam adigium, menggambarkan kekhawatiran seorang ibu karena anaknya berniat untuk merantau. Si ibu khawatir jika si anak pergi maka tatanan adat di kampung bisa berubah. Bahkan tatatan di rumah gadang mereka bisa berubah.
Tapi menurut si anak, merantau itu ada alasannya. Sistem adat matrilineal menetapkan perempuan sebagai pewaris. Sedangkan laki-laki tidak memiliki apa-apa selain kedudukan adat sebagai mamak atau panghulu. Itupun jika ia memiliki saudara perempuan. Jika tidak, maka laki-laki tersebut tidak mengelola apapun dari harta pusaka. Jika si laki-laki tidak memiliki saudara perempuan, harta pusaka akan jatuh ke tangan sepupu perempuannya yang lain. Ini akan menyulitkan jika laki-laki tersebut tidak memiliki pekerjaan yang bisa mencukupi hidupnya.
Ketika menikahpun, laki-laki Minang harus keluar dari rumah gadang dan tinggal di rumah istrinya sebagai sumando. Sumando dalam adat Minangkabau diibaratkan sebagai abu di ateh tungku (abu di atas tungku). Artinya ia tidak memiliki kedudukan atau wewenang apapun di rumah keluarga istri.
Kondisi ini yang jadi salah satu alasan yang mendorong lelaki Minangkabau untuk merantau. Jika ranah tak lagi cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup, maka merantau adalah alasan untuk mencari penghidupan yang lebih baik. Merantau untuk kembali pulang ke ranah tempatnya dilahirkan.
Salah seorang teman laki-laki saya yang berasal dari Minangkabau pernah berkata, “Kami laki-laki Minang dilahirkan untuk pergi dari rumah. Tidak ada yang kami miliki kecuali baju sehelai yang lekat di badan.”
Si ibu tampak begitu berat merestui keinginan bujangnya untuk merantau. 10 menit terakhir tampak pergulatan batin perempuan itu. Wajahnya terlihat sedih, geraknya kembali gontai. Si anak mencoba meyakinkan ibunya. Ia melihat lekat-lekat ibunya, memeluk erat dan menggendong ibunya seperti ibunya yang dulu menggendongnya dengan penuh kasih.
Suasana kembali tenang. Keduanya terdiam. Mereka seperti sedang berbicara dari hati ke hati. Pada menit terakhir si anak kembali mengatakan Bujang marantau bukan tak bakarano. Akhirnya, si ibu menjawab, merelakan kepergian anaknya dengan dendang, “Hati den luluah juo (hati saya luluh juga).”
Teks dialog tersebut memperkuat perasaan seorang ibu terhadap anaknya. Jika diperluas pemaknaannya, seorang ibu dalam tari itu juga merindukan anak perempuan yang kelak jadi pelanjut pesukuan kaum karena warisan dan sistem matrilineal. Sebenarnya ia sedih secara kultural, bukan hanya secara "kemanusiaan".
Sakitku Tak Mungkin Disuarakan Orang Lain
Karya koreografi pertunjukan “Sang Hawa” diproduksi oleh Nan Jombang Dance Company di tahun 2010. Pertunjukan ini sebetulnya telah tampil berulang kali di panggung dunia seperti Eropa, Asia, dan lainnya.
“Sang Hawa” berarti perempuan atau padusi dalam bahasa Minangkabau. Karya pertunjukan “Sang Hawa” mencoba menyajikan gejolak dan problematika perempuan di Minangkabau.
“Karya ini mengisahkan posisi perempuan sebagai ibu dalam tatanan matrilineal Minangkabau. “Sang Hawa” merupakan eksplorasi perjalanan perempuan dalam menghadapi arus perubahan zaman,“ kata Ery Mefri, koreografer dari “Sang Hawa” saat sesi diskusi setelah pertunjukan.
Ery Mefri mengajak penonton untuk merenung dan merefleksikan peran perempuan yang kian melemah di tengah modernitas.
“Kita juga melihat sekarang ini banyak sekali kasus kekerasan seksual yang menimpa perempuan. Bahkan pelakunya adalah orang-orang terdekat,” ujarnya.
Secara konsep artistik, “Sang Hawa” bertapak dari seni tradisi randai silek yang kemudian dielaborasikan dengan komposisi modern dan kontemporer. Hal itu tampak dari pemilihan musik performatif yakni bunyi yang timbul dari performer itu sendiri, seperti suara dari tenggorokan, tepuk pada anggota tubuh seperti tangan dan badan. Kemudian hentakan kaki pada lantai papan hitam ketika bergerak seperti gerakan pada silat. Pemilihan musik ini memberikan kesan yang mendalam dan sangat personal.
Kemudian tata panggung yang terdapat 1 sasaran terbuat dari papan hitam seukuran kira-kira 5x4 meter. Tanpa ada properti panggung lainnya. Pemilihan panggung yang minimalis ini menambah suasana personal antara dua performer yang tampil.
Selama pertunjukan berlangsung, performer perempuan mendendangkan ratok secara berulang-ulang. Pemilihan geraknya juga memberi kesan bahwa banyak beban yang dipikul oleh perempuan. Mulai dari gerak gontai sampai dengan gerakan kepala di bawah yang menopang badan si perempuan.
“Kesedihan itu menubuh pada perempuan itu sendiri. Sakit itu tidak mungkin disuarakan oleh orang lain. Saya menyanyikan ratok dari Minangkabau dan membahasakannya dengan tubuh saya sendiri. Sebagai seorang perempuan,” ujar Angga Djamar, performer perempuan pada pertunjukan ini dalam bincang-bincang dengan sumbarsatu.
Ada puluhan penonton yang datang pada pertunjukan malam itu. Mereka ada yang duduk di bangku, sebagian lagi memilih duduk di sekitar sasaran pertunjukan. Salah satu alasan penonton duduk dekat sasaran karena ada tiang besar yang cukup mengganggu pandangan di tengah ruang pementasan, sehingga penonton tidak fokus untuk menonton pertunjukan.
Jika sebelumnya “Sang Hawa” ditampilkan pada panggung prosenium kelas dunia, kali ini di kampung halamannya sendiri, “Sang Hawa” tampil pada ruang yang seadanya di Gedung Lantai 4 Dinas Kebudayaan Provinsi Sumatera Barat. Karena memang pada kenyataannya Sumatera Barat tidak lagi memiliki gedung pertunjukan representatif pascadirobohkan tahun 2015 silam.
Kendati demikian, penonton yang datang tidak kehilangan antusias. Hal itu disampaikan oleh Veny Rosalina, koreografer sekaligus pendiri dari Komunitas Seni Payung Sumatera yang hadir pada malam itu.
“Penampilan malam ini begitu memukau. Kak Angga, di usia 48 tahun menunjukkan stabilitas, performa yang baik dan totalitas sebagai seorang penari. Bernyanyi dan menari dengan presisi, tanpa ada sedikitpun teknik tubuh maupun vokal yang meleset,” cerita Veny yang juga seorang koreografer dan dosen di FBS UNP.
Menurutnya sebagai sesama penari, sulit mencapai tingkat performa seperti itu. Bagi Veny, energi yang muncul karya ini begitu besar, meskipun hanya melibatkan dua penari tanpa iringan musik. Penonton pun terpaku, menikmati setiap gerakan yang dilakukan dengan penuh fokus. Karya ini berhasil membangun intensitas yang mengagumkan hanya melalui tubuh dan ekspresi.
Oscar, sineas dari Bioskop Mini Kito yang hadir pada malam itu juga menyampaikan apresiasinya.
“Nan Jombang Dance Company melalui pertunjukan “Sang Hawa” sangat matang dan betul-betul dinikmati penonton serta tersampaikan pesan-pesannya, walaupun gedung itu masih memiliki banyak kekurangan untuk menampung pertunjukan sekelas “Sang Hawa,” ujar Oscar.
Ia berharap agar pihak-pihak terkait bisa melihat ini sehingga Taman Budaya bisa kembali menjadi wadah untuk seniman, budayawan dan komunitas-komunitas kreatif untuk menghidupkan seni, budaya dan ekosistem kreatif yang baik dan sehat di Sumatera Barat.
Secara pertunjukan, “Sang Hawa” berhasil memikat perhatian penonton. Ery Mefri yang sudah aral melintang di dunia seni tari beserta Angga Djamar dan Rio Mefry, dan Nan Jombang Company tentu sudah tidak diragukan lagi performanya. Latihan olah tubuh yang rutin membuat performa Angga dan Rio prima pada penampilan malam ini.
Semoga pertunjukan seperti ini menjadi inspirasi banyak komunitas seni pertunjukan di Sumatera Barat untuk terus berkarya guna memajukan seni budaya di Sumatera Barat. Selain itu, penampilan ini juga merupakan protes berkali-kali bagi pemangku kebijakan di Sumatera Barat untuk menyediakan ruang pertunjukan yang representatif untuk komunitas seni pertunjukan. *