Jum'at, 29/03/2024 04:33 WIB

Jamaah yang Tersesat dan Dagangan Sang Ketua

Jamaah menyimak ceraham

Jamaah menyimak ceraham

MINA Mina malam hari pada musim haji layaknya pasar malam yang meriah. Sehabis makan malam, saya berjalan ke arah pasar kaget yang berlokasi di pinggir jalan. Banyak orang berada di jalan. Ada yang duduk sambil menikmati minuman, mengobrol, atau melihat-lihat lapak penjual pakaian.

Beberapa pengunjung duduk di bangku kayu menikmati makanan kecil yang dijual di warung tenda di pinggir jalan. Di warung itu dijual biskuit, roti, hingga kebab. Juga minuman seperti jus, teh, kopi hingga minuman kaleng. Harga minuman kemasan antara dua sampai empat riyal. Harga minuman seduh justru lebih mahal. Barang lainnya umumnya serba lima riyal.

Makanan kecil paling laris adalah mi gelas. Hampir seluruh warung menyediakannya. Pembelinya bukan hanya orang Indonesia, tapi juga jamaah dari negara lain. Pembeli menyenangi makanan instan itu karena bentuknya yang praktis. Tinggal buka tutupnya, tuangkan air panas, dan makanan siap disantap. Mi gelas bisa dinikmati dengan cara duduk di trotoar. Sambil bercerita, menikmati udara malam yang sejuk

Maktab tempat kami tinggal terletak dekat persimpangan, tak jauh dari pintu masuk dan keluar terowongan arah melontar jumrah. Jamaah yang akan pergi maupun pulang melontar jumrah pastilah melewati tempat itu. Maktab jamaah Indonesia berada di kedua sisi simpang itu. Di sebelah kiri agak ke atas adalah maktab 1-49. Di kanan jalan, maktab 50-75.

Di persimpangan itulah sering ditemukan jamaah yang tersesat. Umumnya jamaah tua yang bingung karena capai. Melihat situasi itu, seorang teman asal Solo berinisiatif berjaga di bawah jembatan layang dekat simpang. Agar bisa membantu dan mengarahkan jamaah yang tersesat.

Suatu sore, Mas Yazid asal Klaten menemukan seorang jamaah wanita asal Aceh. Ibu tua yang kelelahan itu tak memiliki kartu identitas yang seharusnya digantungkan di leher. Satu-satunya identitas yang ada hanyalah gelang tangan. Namun di gelang itu tak tertera informasi tentang nomor maktab jamaah. Mas Yazid membawa jamaah itu menemui seorang petugas kesehatan haji Indonesia yang berdiri tak jauh dari sana.

Tapi petugas dengan badged bendera merah putih itu menjawab bahwa ia petugas bidang kesehatan, bukan petugas bidang fasilitas. Karena itu, dia tak bisa membantu. Padahal saat didatangi, petugas kesehatan itu hanya mengobrol sambil ketawa-ketawa dengan temannya  di meja dekat jembatan. Kami yang mendengar situasi itu menjadi kesal.

Seorang teman asal Makassar, Daeng Lukman, bergegas mendatangi meja tempat petugas kesehatan itu. Mengenakan rompi seragam jamaah Korea, dengan marah-marah ia menyuruh petugas kesehatan yang masih muda itu untuk menelepon pimpinan rombongan asal Aceh. Petugas itu semula berusaha mengelak dengan menjawab bahwa ia tak punya nomor telepon pimpinan rombongan asal Aceh.

“Telepon siapa saja, yang tahu lokasi maktab untuk jamaah dari Aceh,” kata Daeng Lukman dengan kesal.

Dengan berat hati, petugas itu mencoba menghubungi temannya. Dan ternyata usaha itu berhasil. Tak lama kemudian datang pimpinan rombongan asal Aceh, dan membawa anggota jamaah ke maktab mereka. Ternyata maktab itu letaknya tak jauh dari simpang tempat kami berjaga. Ironis sekali; petugas haji Indonesia tak punya informasi tentang sebaran maktab jamaahnya sendiri. 

Suatu malam selepas Isya, kami bertemu seorang jamaah lelaki  asal Kudus yang tersesat sejak pagi. Usianya tujuh puluh lima tahun dan berangkat tanpa anggota keluarga. Dia tercecer dari rombongannya usai melempar jumrah. Tiga jamaah haji Korea berusaha menolong Bapak tua itu. Mereka mengecek peta rombongan Indonesia untuk mengira-ngira arah tenda dari Pak Tua yang tersesat. 

Meski tersesat sejak pagi, Pak Tua itu terlihat masih kuat dan tidak letih. Selagi ketiga penolongnya sibuk mengecek peta dan mencari informasi, Pak Tua itu meluncur ke arah lapak pedagang pakaian di pinggir jalan.

“Jangan ke mana-mana, Pak. Kami masih berusaha menghubungi pimpinan rombongan Bapak,” ujar Kang Dedi, jamaah Korea yang berusaha menolong.

Pak Tua itu patuh. Ia memang tidak ke mana-mana. Hanya sibuk memilih dan mematut kerudung serta jubah yang dijajakan di lapak pinggir jalan. Mungkin untuk cucu atau kerabatnya. Dengan asyiknya, Pak Tua mematut-matut dan memilih barang dagangan. Sampai sampai ia lupa bahwa sedang tersesat. Tiga pemuda yang menolong akhirnya berhasil mengidentifikasi maktab Pak Tua itu. Namun mereka masih harus bersabar menunggu, karena Pak Tua sedang menawar dan membayar belanjaannya. 

***

Sebagian besar jamaah Indonesia berusia lanjut. Kebanyakan mereka juga tak bisa berbahasa asing, Arab maupun Inggris. Jangankan bahasa asing, beberapa jamaah yang saya temui bahkan kesulitan bicara dalam bahasa Indonesia. Dengan keterbatasan itu, mereka kesulitan untuk  bertanya dan minta bantuan pada polisi. Polisi Arab hanya bisa berbahasa Arab.  

Jamaah makan bersama 

Apa yang bisa dilakukan jamaah jika tersesat? Mau memanfaatkan google map? Hanya segelintir jamaah kita yang paham memanfaatkan teknologi informasi seperti telepon genggam. Itu pun penggunaanya lebih banyak untuk berswafoto dan mengambil video.  Sebagian besar jamaah kita sama sekali tak bisa menggunakan Google Map atau aplikasi peta lainnya di telepon genggam. Maka panitia haji perlu mengagendakan pelatihan menggunakan peta digital dalam materi manasik haji.

Jika diamati, bukan hanya orang Indonesia saja yang naik haji di usia tua. Jamaah asal China bahkan lebih tua, antara enam hingga delapan puluh tahun. Meski berusia sepuh, jamaah itu tetap bugar dan lincah berjalan kaki.  Selesai melontar jumrah, jamaah China langsung menuju maktab masing-masing. Mereka kembali ke tendanya dengan berbaris rapi seperti ketika berangkat. Meski badan kuyup dibasahi keringat, wajah mereka tak terlihat letih. Mereka amat disiplin.

Keadaannya berbanding terbalik dengan jamaah Indonesia. Pulang beribadah, jamaah kita berjalan gontai karena letih. Tapi begitu berbelanja, keletihan mereka seakan lenyap. Sejak sore hari, jamaah Indonesia dengan mudah ditemukan di sekitar tempat orang berjualan.

Salah satu tempat favorit adalah lapak orang menjual pakaian. Di sana dijual gamis, kerudung, sajadah. Harga baju antara 15-30 riyal. Yang mau tasbih dan peci, harganya 5 riyal.  Tersedia juga hati onta kering seharga 5 riyal. Maka berbondong-bondonglah orang berbelanja. Udara malam dipenuhi suara teriakan pedagang. Suasana Mina riuh, tak bedanya pasar malam.

Selagi asyik mengamati orang belanja, seorang lelaki paruh baya menyapa saya. “Mau rokok, Mas?” ujarnya. Di tangannya tergenggam sebuah tas kresek hitam.

“Oh ada, tho?” jawab saya kaget.

“Ya, ada,” katanya meyakinkan. Dia langsung membuka plastik kresek di tangannya dan menunjukkan rokok berbagai merek. Tak lama kemudian datang beberapa pembeli lain. Saya pilih sebungkus kretek dan membayarnya. Begitu transaksi selesai, penjual itu bergegas memasukkan rokok jualannya dan meneruskan usaha gerilyanya.

Kata salah seorang anggota jamaah, penjual itu adalah ketua rombongan mereka. Sang Ketua punya banyak stok rokok untuk dijual. Disimpan di tas khusus di tenda. Sebelum berangkat haji,  kata jamaah itu lagi, Sang Ketua membeli beberapa slof rokok dan menitipkannya pada anggota rombongan. Karena titipan Sang Ketua, jamaah tak bisa menolak. Masing-masing jamaah dititipi satu slof, sesuai aturan imigrasi.

Setelah sampai di Jedah dan melewati pemeriksaan imigrasi, Sang Ketua mengambil kembali rokok yang dititipkannya. Rokok itulah yang diasong Sang Ketua selama berhaji. Dengan perbedaan harga rokok di Indonesia dengan Arab Saudi cukup jauh, Sang Ketua mendapat keuntungan lumayan.

Saya tak habis pikir, bisa-bisanya Sang Ketua mencampur adukkan perjalanan ibadah dengan perdagangan illegal untuk mencari keuntungan. Sungguh saya kehilangan kata-kata menjelaskan sikap dan tingkah laku Sang Ketua rombongan haji negeri tercinta itu. (Ivan Adilla, Dosen Jurusan Sastra Indonesia FIB Unand)

BACA JUGA