Jamaah berada di Muzdalifah
JARAK Arafah ke Muzdalifah sesungguhnya tidak terlalu jauh. Sekitar empat kilometer saja. Setara satu jam perjalanan orang dewasa dengan kecepatan berjalan biasa. Tak heran jika banyak jamaah dari negara Arab, yang terbiasa berjalan di padang pasir, menempuh rute itu dengan berjalan kaki. Perjalanan juga lebih nyaman karena dilakukan malam hari.
Jamaah dari negeri lain lebih suka naik bus. Butuh waktu dua puluh menit untuk menempuh jarak sependek itu. Kemacetan terjadi sepanjang perjalanan. Jalan raya dipenuhi pejalan kaki dan bus yang membawa jamaah. Tapi justru perjalanan singkat dengan bus ini justru bisa membuat jantung serasa copot. Sopir kami, seorang lelaki kulit hitam dari Afrika, menyetir dengan amat sembrono. Bus yang disopirinya berbelok dan oleng kiri-kanan menghindari senggolan dengan bus lain.
Berkali-kali ia mengerem mendadak agar bus itu tidak menyerempet pejalan kaki yang melimpah ke badan jalan. Cara pengereman sang sopir amat kasar dan mendadak. Setiap kali dia mengerem, bus berguncang, penumpang di bagian belakang berteriak kaget, sementara penumpang di bagian depan terpaksa menahan nafas. Mau protes tak bisa menyampaikannya. Mau marah tak ada gunanya.
Akhirnya, beberapa orang jamaah hanya bisa menggerutu sambil menahan rasa cemas. Dalam situasi pelik itu, untungnya, ada jamaah yang berinisitaif membaca talbiyah. Ucapan itu segera saja diikuti jamaah lain. Dengan membaca talbiyah, penumpang jadi lebih tenang dan terlupa pada kesembronoan sopir bus.
Muzdalifah adalah padang pasir yang luas. Di sini kami akan melakukan mabit atau bermalam sambil mengumpulkan batu-batu kecil yang akan digunakan untuk melempar jumrah esok harinya. Topografi wilayahnya amat mirip dengan Arafah. Tapi di Muzdalifah tidak ada tenda-tenda untuk istirahat.
Setiap kelompok memilih area untuk istirahat di tengah padang pasir yang terbuka. Ketua rombongan kami membentangkan karpet tipis untuk tempat istirahat. Di atas karpet itulah saya bersama teman-teman salat beralaskan sajadah. Juga tidur hingga menjelang subuh. Di sebelah kami, jamaah asal Jepang membentangkan tikar plastik tebal berwarna biru untuk berisitirahat.
Fasilitas lainnya di Muzdalifah cukup lengkap, terawat dan bersih. Toilet dan kamar mandi tersebar dan keadaanya bersih. Air mineral botol tersedia di mana-mana. Hanya tempat sampah yang letaknya agak jarang dan berjauhan letaknya. Lampu penerangan banyak dan terang. Kami dengan mudah bisa mendapatkan dan mengumpulkan batu kecil yang akan digunakan untuk melontar jumrah esok hari. Batu-batu kecil itu ditaruh dalam kantong kecil. Jumlah minimal adalah dua puluh satu buah, untuk melontar tiga jumrah. Umumnya jamaah menyimpan lebih banyak sebagai cadangan.
Di dekat perempatan menuju ke kamar mandi, ada warung kaki lima yang menjual ayam bakar. Penjualnya sebuah keluarga Badui Arab. Mereka menggelar dagangannya di meja dan bangku kecil. Beberapa orang anak kecil, dengan pakaian sederhana yang menutupi tubuh kurus mereka, membantu orang tua mereka berjualan. Saya membeli ayam bakar dan beberapa gelas kopi di lapak Badui Arab itu. Satu porsi ayam bakar itu berupa seekor ayam utuh. Isi perut ayam dibuang, hanya badannya yang dibakar bolak balik sampai matang beminyak. Bumbunya tak terlalu tajam dan kuat. Bumbu hitam kecoklatan itu rasanya sedikit asin bercampur manis, tanpa rempah. Saya membeli dua porsi ayam bakar, juga beberapa gelas kopi, menentengnya menuju tempat teman lain berkumpul. Ayam bakar dan kopi itulah menu makan malam kami hari itu.
Usai salat Isya berjamaah, kami bersiap untuk tidur. Sebagian besar jamaah tidur tanpa selimut. Terkapar begitu saja dalam balutan pakaian ihram, dua lembar kain putih tanpa jahitan dan tanpa pakaian apa pun di bagian dalam. Beberapa bagian tubuh, bahkan aurat, terbuka begitu saja. Kita harus amat hati-hati melangkah agar tak terinjak jamaah yang sedang tidur. Juga hati-hati memandang, agar tak melihat hal terlarang.
Sejak dari Korea, Mbak Dyas, bos wanita kami, sudah mengingatkan agar membawa sleeping bag untuk tidur di Muzdalifah. “Aku sering risih menyaksikan jamaah yang tidur tanpa penutup badan”, katanya menyampaikan alasan.
“Coba bayangkan. Ada jamaah laki-laki yang tidur mengangkang begitu saja. Pakaian ihram mereka layaknya tenda mungil, yang disangga tonggak kecil di bagian selangkangan. Jika tonggak kecil itu bergoyang, tendanya juga ikut bergerak. Aku kan jadi serba salah menyaksikan pemandangan begitu,” ujarnya. Ketika saya coba bayangkan adegan yang dikatakan Mbak Dyas, saya jadi geli sendiri.
“Tidur dalam sleeping bag lebih aman dan sopan,” kata Mbak Dyas lagi
Akan tetapi, hanya beberapa jamaah saja yang mengikuti saran itu. Kebanyakan mereka lebih suka tidur bergelimpangan tanpa selimut di ruang terbuka itu. Untung saja saya membeli sleeping bag di Madinah. Jadinya malam itu saya tidur dengan aman dan sopan.
***
Jam dua dinihari jamaah mulai bangun. Bersiap untuk berwudu dan melakukan salat sunat. Antrian panjang mulai terjadi di sekitar kamar mandi dan kamar kecil. Saya lihat beberapa jamaah memanfaatkan air mineral dalam botol untuk menggosok gigi, mencuci muka hingga berwuduk. Panitia memang menyediakan banyak sekali air mineral botolan. Jumlahnya berlimpah dan ditumpuk di banyak tempat. Setiap orang bebas mengambil seberapa perlu.
Beberapa kelompok jamaah memutuskan berangkat menjelang subuh. Bersamaan dengan menyingsingnya fajar, rombongan itu meninggalkan Muzdalifah menuju tempat melontar jumrah. Setiap rombongan antri di halte, menunggu bus yang akan membawa penumpang menuju Mina. Kami memilih untuk melakukan salat subuh dan sarapan terlebih dahulu di Muzdalifah.
Padang pasir luas itu mulai sepi ketika kami selesai sarapan. Yang ramai justru sampah-sampah berserakah di sana-sini. Botol plastik, kertas, karton, dus, hingga plastik bekas alas tidur. Tempat sampah terbatas dan letaknya berjauhan. Jamaah sendiri enggan bersusah payah membuang sampah. Mereka seenak perutnya saja membuang botol air mineral yang habis digunakan. Bercampur baur dengan sampah makanan, kotak , dus, dan plastik bekas alas tidur. Di mana-mana, di area padang pasir yang luas itu, sampah bertebaran.
Ketika baru tiba di Muzdalifah, saya menyaksikan tempat ini bersih dan rapi sekali. Kontras dengan keadaannya sekarang. Kami jadi merasa bersalah. “Ayo kita melakukan operasi semut…” ujar seorang jamaah mengusulkan.
Kami segera saja memunguti sampah-sampah di sekitar tempat kami tidur. Mengumpulkan dan menumpuknya ke tempat sampah. Setelah bersih barulah kami naik bus, menuju Mina.
Ada sebuah hadits yang popular tentang kebersihan; An nadzaafatu minal man. Dalam bahasa Indonesia ‘kebersihan adalah sebagian dari iman’. Meski hadis itu telah a\disampaikan jutaan kali dengan mulut berbusa oleh para guru dan ahli dakwah, kaum muslim tampaknya seakan tak peduli dengan perkataan Nabi itu. Jutaan manusia dari berbagai belahan bumi mendatangi tanah suci untuk menyucikan diri dari dosa. Tapi justru di tanah suci itu mereka meninggalkan tebaran sampah dan jejak kekumuhan. Alangkah paradoks dan ironisnya sikap kita sebagai muslim. (Ivan Adilla, Dosen Jurusan Sastra Indonesia FIB Unand)