Jum'at, 15/03/2024 04:44 WIB

Air Mata dan Doa di Padang Arafah

ARAFAH

ARAFAH

BERSAMA anggota rombongan lain, saya bersiap-siap meninggalkan Mina menuju Arafah. Dalam suasana pagi yang gelap, kami berjalan kaki beriringan menuju terminal bus. Di terminal sudah banyak jamaah mengantre menunggu bus. Mulanya antrean berlangsung tertib. Semuanya berubah kacau balau begitu jamaah yang datang semakin banyak. Begitu sebuah bus datang, segerombolan jamaah langsung menyerbu dan berdesakan naik. Tak peduli pada rombongan lain yang telah lebih dulu mengantre.

Beberapa jamaah malah nekad menghadang bus ke jalan raya, agar bus berhenti dan dia bisa naik. Melihat aksi nekad itu, empat laki-laki Arab bertubuh tegap dan berkulit hitam dengan cepat menarik jamaah itu ke pinggir. Jamaah nekat itu dimarah-marahi dan dihadiahi makian yang diucapkan dengan air liur bersemprotan. Situasi pagi itu tak ubahnya Terminal Pulogadung atau Senen, Jakarta, pada tahun sembilan puluhan.

 Ketua rombongan memberangkatkan kami dengan bus yang berbeda-beda. Begitu bus datang, jamaah langsung naik secepatnya. Saya dan beberapa teman ikut bus rombongan berbendera Vietnam. Semua bangku telah terisi, dan saya berdiri  di antara penumpang yang berdiri di lorong tengah. Beruntung, seorang anak muda menawarkan saya tempat duduk. Setengah jam kemudian kami sampai di Arafah, tempat berkumpulnya jamaah haji dari seluruh dunia.

Saat belajar di madrasah, guru saya mengatakan bahwa Arafah itu berupa padang pasir luas dengan terik matahari yang amat panas.

“Seperti Padang Mahsyar. Tak ada sebatang pohon pun untuk berlindung,” kata beliau. 

Akan tetapi, ketika sampai di Arafah, saya menyaksikan beberapa pohon tumbuh di sekitar tenda-tenda besar yang memenuhi tempat itu. 

Guru saya tidak berbohong. Ternyata pohon itu belum lama ditanam. Batangnya kecil dan dahannya mudah dijangkau. Daunnya tidak begitu rimbun, tapi cukup membantu melindungi tubuh dari terik matahari. Beberapa cabang pohon terlihat patah dihantam badai semalam. Di Arafah, hantaman badai lebih kuat daripada di Mina, karena tak ada perbukitan di sekitar padang luas itu. Kabarnya beberapa tenda sempat terbongkar dan diterbangkan badai.

Tenda untuk menampung jamaah di Arafah jauh lebih besar ukurannya. Juga lebih kokoh. Tiangnya terbuat dari metal tebal. Di tiang besi yang kokoh itu ada tulisan “made in UEA”. Di sudut tenda dipasang penyejuk udara. Satu tenda bisa menampung antara dua ratus hingga dua ratus lima puluh orang. Tempat tidur diatur berbentuk petakan berdasarkan negara tempat berangkat jamaah. Jamaah perempuan ditempatkan di sudut kanan dalam tenda yang sama. Setelah pembagian tempat beres, kotak sarapan dibagikan untuk setiap orang.

Saya membuka kotak sarapan yang disediakan petugas haji. Isinya berupa roti, kue, pisang, madu dan telur. Panitia tampaknya sengaja menyediakan sarapan bergizi tinggi agar jamaah tidak cepat lelah atau sakit. Masing-masing kami dapat dua telur rebus. Saya makan telur rebus bulat bersama madu. Roti saya celupkan sedikit ke air mineral, baru dikunyah dan ditelan. Saya telah bertekad menikmati apa saja ransum yang disediakan.

 Beberapa jamaah tak menghabiskan jatah makanan yang disediakan. Jamaah Uzbekhistan di sebelah saya, misalnya, menawarkan madu bagiannya untuk saya ambil. Saya bilang bahwa dia harus minum madu itu karena manis dan sehat. Tapi dia hanya menggeleng sambil meletakkannya kembali ke dalam kotak kardus makanan. Ikbal, jamaah asal Lampung,  sukanya sarapan nasi atau roti. Ia tak suka makan telor.

“Seret di tenggorokan,” ujarnya. Saya pun mengemasi telur dan madu yang malang itu menuju lambung. 

Jam sebelas siang diumumkan bahwa akan ada khutbah Arafah. Jamaah diminta berkumpul untuk mendengarkannya. Khutbah disampaikan dalam beberapa bahasa; Uzbekhistan, Pakistan, Inggris, Korea, dan Indonesia. Khatibnya juga beberapa orang, yang tampil secara bergantian. Dalam khutbahnya, Ustad Faisal Kunhi yang berkhutbah dalam bahasa Indonesia, mengingatkan bahwa Arafah adalah salah satu tempat berdoa terbaik. Di sini kita punya waktu panjang untuk berdoa, sejak habis zuhur hingga menjelang matahari terbenam.

“Sebaiknya siapkan rencana untuk berdoa. Siapa saja yang akan didoakan. Apa saja yang akan diminta. Buat daftarnya. Jangan malu-malu meminta pada Allah. Dijamin permintaan hamba-Nya tak akan merepotkan, apalagi membuat Allah jadi miskin,” pesan penceramah alumni Gontor itu. 

Selesai salat zuhur berjamaah, kami menuju ke luar tenda. Tempat berdoa terbaik adalah di luar ruangan. Konon kabarnya, doa yang tak terhalang pembatas lebih cepat sampai ke langit, sehingga lebih cepat dikabulkan. Setiap orang mencari tempat terbaik untuk berdoa. Saya memilih sebuah  tempat agak terlindung di bawah pohon. Menaruh sajadah di pasir dan mulai berzikir, berdoa, salat sunat dan aneka ibadah sunat lainnya. Capai beribadah dengan posisi duduk, saya tiduran. Kadang saya berjalan-jalan menghilangkan penat. Di mana-mana jamaah sibuk beribadah, tenggelam bersama doa. 

Saya mulai berdoa dengan bacaan yang standar saja dalam bahasa Arab. Setelah bershalawat pada nabi, maka saya minta ampun atas segala dosa. Kemudian berdoa untuk Papa yang sudah meninggal, dan kedua ibu, anak-anak, guru-guru, saudara, kerabat, hingga mahasiswa saya. Setelah itu, saya keluarkan catatan doa yang saya siapkan menjelang berangkat. Juga daftar nama saudara dan teman yang berpesan agar didoakan di Arafah. 

Tak sampai setengah jam, semua doa—yang dihafal, dicatat, maupun dipesankan—telah selesai dibacakan. Sementara waktu yang tersedia masih panjang. Maka saya berzikir dan membaca beberapa ayat suci yang saya ingat.  Capai duduk berdoa, saya malakukan salat sunat. Kadang tiduran di sajadah. Kemudian mengulangi lagi segala doa yang tadi dibaca, berkali-kali. Tapi perasaaan saya malah semakin galau. Saya hanya membaca doa, bicara tanpa jiwa, layaknya mesin bekerja.

Beberapa bulan menjelang berangkat ke Korea, saya dan istri memutuskan untuk berpisah. Kami telah membina rumah tangga selama hampir tiga puluh tahun dan memiliki empat anak. Anak pertama kami, Adit, seorang laki-laki, lahir prematur dan meninggal dunia saat berumur 12 jam. Ketiga adiknya lahir dengan selamat dan dalam keadaan sehat. Kini, kedua anak perempuan saya sedang beranjak dewasa, sedangkan si bungsu menuju remaja. 

Tiba-tiba saya jadi rindu pada ketiga anak saya. Pada Nia, si sulung, yang selalu menagih argumentasi kuat dan masuk akal untuk setiap saran yang saya ajukan. Merangkul Syifa, anak kedua yang selalu menolak dan mengelak untuk dimanjakan. Pada Faris, si bungsu, yang pertanyaannya seringkali membuat gelagapan.

Setiap malam, saya membacakan dongeng atau bercerita pada anak-anak menjelang mereka tidur.  Malam itu, Faris minta diceritakan tentang manusia pertama, Nabi Adam. Selagi enak bercerita, tiba-tiba saja Faris minta saya berhenti. Ada hal yang mau dia tanyakan.

“Jadi gini. Dulu kan Nabi Adam itu kan sudah enak tinggal di surga,” kata Faris memulai.

“Iya…” jawab saya.

“Trus dia mendekati pohon yang dilarang Tuhan.”

“Benar.”

“Nah, berarti kan dia bandel tuh. Gak patuh pada perintah Tuhan yang sudah menciptakan dan memberinya surga?”

Trus kenapa?”

“Itu yang aku mau tanya; kenapa orang bandel kayak Adam gitu malah diangkat Tuhan jadi nabi?”  tanya Faris  sembari memindahkan telapak tangan kanannya untuk menopang dagu, sambil mengangguk-angguk heran dengan keputusan Tuhan yang aneh itu. 

Sebenarnya, saya dan Faris sudah sepakat untuk berangkat bersama-sama ke Korea. Faris amat antusias ketika kami berdua mengunjungi kantor imigrasi untuk mengurus paspor.  Dengan penuh percaya diri dan canda dia menjawab pertanyaan yang diajukan petugas. Setelah itu, dengan santai Faris melenggang menuju ruangan untuk berfoto. Matanya berbinar ketika beberapa hari kemudian akhirnya paspor yang diharapkan berada di tangannya.

  Petaka itu datang beberapa minggu menjelang pengurusan visa. Beberapa keluarga mamanya melarang Faris berangkat bersama saya. Saya tak tahu bagaimana Faris menanggapi larangan itu. Yang saya tahu, Faris harus mengikutinya. Sedangkan saya, dengan amat terpaksa hanya bisa menerima dengan linangan air mata berhari-hari lamanya. 

Untuk melipur kesedihan, sendirian saya mengelilingi beberapa kota di Jawa; Jakarta, Bandung, Semarang, Solo, Yogyakarta. Lima hari menjelang jadwal keberangkatan, selagi berada Yogyakarta, saya dapat kabar bahwa Faris sakit dan dirawat di sebuah rumah sakit di Jakarta. Segera saja saya menuju Jakarta. Selama di sana, setiap hari saya bolak balik dari tempat menginap ke rumah sakit.

Hari terakhir Faris di rumah sakit, saya mendatanginya di ruang perawatan. Besok Faris sudah diiznkan pulang. Sementara malam itu juga harus berangkat ke Korea. Saya pamit sambil mencium kening dan pipinya. “Papa berangkat ya, Nak,” ujar saya berbisik ke telinganya. “Jaga diri baik-baik ya. Dan jangan sakit lagi.”

“Iya, Pa…” katanya lemah, sambil menggigit bibir menahan tangis. Namun air mata tetap saja menetes di kelopak matanya. Sekali lagi saya mencium si bungsu yang amat saya sayangi itu. Saya dekatkan bibir ke pipinya yang halus lembut. Saya usap rambutnya yang tebal berombak. Saya peluk Faris sambil tergugu. Kami pun berpelukan. Aroma kanak-kanak tubuhnya melekat di baju dan tubuh saya. Dan saya membawanya ke mana-mana, sepanjang perjalanan dan usia.

Saya mendekapkan tangan ke wajah. Tiba-tiba saja saya mencium kembali aroma kanak-kanak tubuh Faris. Juga aroma wangi napas kanak-kanak Nia dan Syifa. Saya pun mengangkat wajah, membuka mata dan melihat sekeliling. Tapi tak ada Nia. Tak ada Syifa. Juga tak ada Faris. Hanya aroma tubuh mereka yang menemani saya.

“Tuhan, bagaimana anak-anak saya akan menghadang dunia? Bagaimana nasib mereka, ya Allah…” Suara saya tercekat gagu. Tangis saya menghambur begitu saja tanpa bisa dibendung.  

  “Allah Sang Penentu! Di Padang Arafah ini aku berdoa dan menitipkan ketiga anakku pada-Mu, ya  Tuhan.  Tetapkan hati mereka dalam iman pada-Mu. Lindungi mereka dari perbuatan keji dan mungkar. Rangkul mereka dalam Rahmat-Mu. Jadikan mereka menjadi manusia yang bermanfaat untuk diri mereka sendiri, keluarga, masyarakat dan agama-Mu ya Allag …” Tangis saya menderas mengulang doa untuk ketiga buah hati saya. Entah sampai kali ke berapa…

Makin dekat matahari terbenam, suara jamaah yang berdoa makin keras. Seakan berpacu dengan waktu, setiap jamaah berebutan mengucapkan doa dalam bahasa, ekspresi, dan keperluan masing masing. Kita tak pernah tahu berapa banyak doa yang diucapkan.  Apa saja yang diminta manusia sebanyak ini? Berapa jumlah bahasa yang digunakan? Duh, bagaimana caranya Allah mendengar, memprioritaskan dan memilih doa siapa yang bakal dikabulkan?

“Jangan sungkan untuk minta apa pun kepada Allah. Bahkan untuk hal yang tak masuk akal sekali pun buat kita manusia.” Entah siapa yang mengucapkannya. Entah bagaimana datangnya, tiba-tiba saja pesan itu bergema di kepala. Dan menumbuhkan harapan dalam diri. Saya pun mengangkat tangan, dan bicara dengan berbisik.

“Allah ya Tuhanku. Seandainya saya masih diberi kesempatan untuk membangun rumah tangga, pilihkan untuk saya pasangan hidup baru yang terbaik, ya Allah. Agar kami bisa  bersama-sama membangun rumah tangga yang Engkau ridai. Amin, ya Allah.”

Begitu matahari tenggelam dan azan berkumandang, seluruh gemuruh doa serentak berhenti. Arafah tiba-tiba jadi sunyi, sepi. Keheningan menyungkup padang pasir yang luas. Lamat-lamat, terdengar suara orang menangis tersedu dalam sujud. Terisak sambil mendekap wajahnya dengan telapak tangan. Yang lain, mengelap air mata pelan-pelan dengan kain ihram. Suasana religius yang syahdu sekali. Saya sendiri merasa lega bisa mengakhiri wukuf dengan hati yang tenang. (Ivan Adilla, Dosen Jurusan Sastra Indonesia FIB Unand) 

BACA JUGA