12. Ahmed sedang melayani pembeli di outlet minumannhya, di Madinah.
DI jalan menuju masjid saya melihat sebuah kedai minuman yang menjual jus, teh dan minuman instan lainnya. Pembeli antre di depan kedai untuk mengambil dan membayar pesanan mereka. Kedai kecil tanpa meja dan kursi itu sebenarnya lebih mirip konter, bukan warung, apalagi restoran. Minuman disajikan dalam gelas plastik, untuk dibawa pulang atau diminum sambil duduk di gang di depan toko. Saya singgah di kedai itu dan memesan americano, kopi hitam.
“Tidak ada americano,” ujar anak muda penjaga kedai.
“Apa kopi hitam yang ada?” tanya saya lagi.
“Kami punya kopi turki yang sedap!” jawab lelaki berkulit coklat dengan rambut ikal itu.
“Baik, saya mau coba…”
Kopi turki yang ditawarkannya ternyata memang sedap. Kopi hitam kental dengan rasa kaffein yang kuat. Rasanya mirip kopi Papua-Wamena. Selama tinggal di Madinah, saya menjadi pelanggan setia kedai kecil yang sibuk itu. Hampir setiap sore saya singgah di sana untuk membeli jus, teh, atau kopi.
Pelayan kedai minuman itu bernama Ahmed, sama dengan nama teman sekamar saya. Bedanya, Ahmed penjual minuman ini tidak bisa berbahasa Inggris. Terpaksalah saya bicara tertatih-tatih dalam bahasa Arab dengan Ahmed. Tentu saja dibumbui dengan ‘bahasa tarzan’ jika ada kosa katanya yang lupa atau tak tahu. Apa salahnya untuk orang asing seperti saya, kan? Yang penting bisa mengobrol, saling mengerti, dan kadang kami tertawa bersama.
Ahmed meninggalkan kampung halamannya sejak ia masih kanak-kanak. Bersama anak-anak lain, ia mengungsi dengan cara diselundupkan oleh keluarganya. Akhirnya ia bisa selamat dari perang yang berkecamuk di Yaman, negara asalnya. Terletak dekat Teluk Aden di arah selatan dan berbatasan langsung dengan Saudi Arabia, Yaman merupakan salah satu negeri termiskin di wilayah Arab. Sejak awal tahun dua ribuan, perang saudara telah mencabik dan meluluh -lantakkan negeri subur dengan kebudayaan tua itu. Fasilitas umum hancur dan situs warisan kebudayaan dunia pun rusak.
Pertempuran panjang antara milisi Houthi melawan pemerintah resmi Yaman membuat warga negeri itu jadi kocar-kacir dan merana. Diselingi beberapa kali gencatan senjata, perang saudara di negeri itu telah berlangsung selama empat belas tahun. Ketika saya bertemu Ahmed, pertempuran masih terjadi. Pemuda yang murah senyum itu merasa beruntung bisa mengungsi dan bekerja sebagai pelayan toko minuman di Madinah.
Sejak dunia terkembang, wilayah Arab dan Timur Tengah telah ditakdirkan menjadi tanah suci. Di wilayah ini Tuhan menurunkan para nabi dan rasulnya yang mulia. Di sini juga Tuhan mematok kota-kota suci agama samawi, yang dikunjungi untuk beribadah dan berziarah oleh manusia dari berbagai belahan bumi. Pasangan manusia pertama, Adam dan Hawa, juga diturunkan di wilayah ini. Namun demikian, Kitab suci juga mencatat bahwa negeri ini menjadi tempat pertumpahan darah pertama di muka bumi. Saat Khabil membunuh saudara kembarnya, Habil.
Manusia, makhluk beradab yang penuh amarah dan keserakahan, telah mengubah tanah suci itu menjadi kawah peperangan yang menggelegak. Ada-ada saja alasan orang untuk menumpahkan darah di negeri itu. Sejak dari alasan ideologi, agama, partai, etnis, bahkan dendam.
“Dunia Arab berdetak dalam ritme perang saudara, dari Suriah hingga Irak, Libya, Yaman dan Somalia. Di waktu sebelumnya, Libanon, Sudan dan Aljazair. Perang hanya berakhir untuk kemudian kembali berkecamuk,” tulis Morris Ayek, seorang cendikiawan asal Suriah, dengan nada pilu dan putus asa.
Ahmed hanyalah salah seorang di antara anak-anak korban perang yang mengungsi ke Arab Saudi untuk mencari hidup. Di berbagai tempat di sekitar Madinah, kita dengan mudah menemukan anak-anak pengungsi berkeliaran. Anak-anak yang harus bertarung hidup di negeri asing dalam usia yang sangat muda.
***
Dua ratus meter dari pintu masuk masjid Nabawi nomor dua puluh satu, terdapat sebuah taman dengan menara dan jam besar di tengahnya. Di taman ini, pada sore hari, banyak burung merpati bermain sambil terbang rendah. Beberapa jamaah singgah ke taman ini untuk melihat-lihat dan bermain dengan burung jinak itu. Burung merpati bermain di tanah, dekat kaki bahkan terbang dekat pundak. Sejinak-jinaknya merpati, tetap saja ia tak mau dipegang. Begitu tangan bergerak untuk menangkap, burung itu segera terbang.
Belasan wanita dengan burdah panjang hitam dan wajah bertutup cadar, berombongan menuju taman. Dilihat dari pakaiannya, agaknya mereka jamaah wanita asal Irak atau Suriah. Para wanita itu membawa tas hitam. Salah seorang dari mereka membuka tas yang dipegangnya dan mengeluarkan biji-bijian. Burung-burung mendekat dan wanita itu melemparnya ke tanah. Burung merpati segera merubung untuk makan biji-bijian itu. Wanita yang lain menebar biji-bijian ke arah lain, diikuti burung-burung yang merubung. Beberapa jamaah dengan jilbab berbordir dan pakaian warna warni, cepat-cepat mereka mengabadikan momen itu dengan handphone. Saya dengar di antara mereka berbicara dalam bahasa Melayu, Jawa, Sunda, juga Bahasa Indonesia. Sepertinya, jamaah kita lebih suka mengabadikan momen bersama burung, sedangkan jamaah Arab lebih senang memberi makan binatang bersayap itu.
Seorang anak lelaki, berusia sekitar sepuluh tahun, tiba-tiba menghampiri saya. Dengan wajah memelas, ia menawarkan parfum dalam botol kecil. Saya hanya diam. Anak lelaki dengan baju lengan pendek kotak-kota itu kembali merayu agar saya mencium parfum yang ditawarkannya. Ia pun mendesak, maju ke arah saya. “Laa!, Laa!” ujar saya sambil menyilangkan tangan di depan dada.
Dia kemudian mengeluarkan beberapa botol parfum lain dari sakunya. Saya tetap saja tak acuh, karena memang tidak berniat membeli apa-apa pagi itu. Tapi bocah kecil itu tidak mudah putus asa. Sekali lagi ia mendekat dan berusaha memeluk saya. Melihat gelagat itu, dengan cepat saya menghindar dan meminta dia menjauh.
Pengasong cilik itu akhirnya mendatangi seorang jamaah di dekat burung merpati. Di tempat itu rupanya ia mendapat pembeli yang tepat. Setelah tawar menawar sebentar, jamaah asal Indonesia itu membeli dua botol parfum. Jamaah kita memang dikenal suka belanja dan mudah trenyuh pada tawaran pedagang Arab. Rasa kasihan yang berlebihan itu tampaknya menyatu padu dalam diri jamaah kita. Tak peduli dari mana pun mereka berangkat untuk berhaji. Termasuk jamaah Indonesia made in Korea seperti kami.
Yudi, jamaah asal Jember, Jawa Timur yang berangkat bersama rombongan dari Korea, dengan sengaja mendatangi seorang pengasong cilik dan membeli parfum yang dibawanya. “Itung-itung beramal,” katanya.
“Kasihan mereka. Jadi terlunta dan menanggung kemalangan akibat perang di negaranya,” alasan teman itu lagi.
Saya lihat Yudi dengan pandangan sendu dan terharu menyaksikan wajah pengasong cilik yang dengan mata berbinar itu menghitung riyal yang didapatnya. “Saya seakan melihat masa lalu dalam diri mereka”, kata Yudi pada saya dengan mata menerawang.
Sebagaimana umumnya pekerja Indonesia lain di Korea, lelaki berkulit sawo matang dan senang mengenakan sarung itu, berasal dari sebuah desa yang jauh di pelosok. Tak pernah ia membayangkan bisa bekerja di luar negeri dengan gaji tinggi. Bekerja di Korea baginya adalah sebuah berkah yang harus disyukuri. Membantu sesama muslim --meski dari negeri yang tak dikenal-- adalah cara dia menyukuri berkah itu.
Madinah adalah kota pengungsian yang paling disenangi, terutama saat musim haji. Akan tetapi, pengasong cilik tidak hanya ada di Madinah. Mereka juga menyebar hingga di Masjid Quba’. Saat kami berziarah ke masjid tua itu, sepasang pengasong cilik kakak-beradik naik menawarkan aksesoris hingga ke atas bus. Seorang anggota rombongan yang kasihan mencoba memberi perhatian. Dengan sigap bocah pengasong itu menyodorkan barang dagangannya, sambil memuji mutu barang itu. Tapi harga yang ditawarkan terlalu tinggi, sehingga teman itu menolak.
Penolakan itu ternyata berbuntut panjang. Tiba-tiba saja pengasong cilik itu menutupkan tangan ke wajahnya. Kemudian terisak, menangis, dan akhir meraung-raung. ”Ya, Haj… Ya, Haj…” serunya mendesak agar daganganya dibeli. Semua kami kaget mendengar raungan keras dua beradik itu. Beberapa orang berdiri dari tempat duduk dan melongok ke arah mereka. Saya sendiri melirik ke arah sopir bus, pria asal Mesir yang berbadan gempal. Tapi pria Arab itu tetap saja duduk santai. Tak peduli pada pengasong cilik yang membuat kegaduhan di kendaraannya.
Seorang anggota rombongan membunyikan sirine di pengeras suara yang dibawanya. Maksudnya untuk mengatasi raungan pengasong cilik yang makin menjadi-jadi itu. Mendengar suara sirine, kedua pengasong cilik itu malah berjoget. Raungan mereka berhenti begitu saja. Kedua anak itu menggoyangkan tangan, menari-nari. Juga meliukkan badan sambil menggoyangkan pinggulnya. Seakan bunyi sirine itu musik pengiring tari perut.
Begitu sirine berhenti, mereka kembali meraung-raung sambil mendesak. “Ya, Haj… Ya, haj….. Semua orang tersenyum, bahkan terkekeh, mengagumi tingkah dan akting anak-anak itu. Selain pedagang dan penari, ternyata anak-anak itu juga pelakon yang mahir.
Reda Kenawy, pimpinan rombongan asal Mesir, akhirnya memanggil kedua anak itu dan mengajak mereka keluar bus. Di luar bus ia berbisik sambil menyelipkan sesuatu ke tangan mereka. Ternyata jika sesama orang Arab, mereka menjadi patuh dan mudah bernegosiasi. Negosiasi itulah yang mengakhiri drama pengasong cilik di bus kami.
Benarkah pengasong cilik itu berasal dari wilayah konflik? Orang asing yang tak memahami dialek bahasa Arab, dengan varian yang banyak itu, agak sulit mengidentifikasi wilayah asal mereka. Apalagi memastikannya. Yang pasti, pengungsi cilik itu mengerahkan seluruh potensi dirinya untuk bertahan hidup di rantau asing. Sementara di negerinya sendiri, penguasa negara membeli senjata dari negeri asing untuk menembak kepala saudaranya sendiri. (Ivan Adilla, Dosen Jurusan Sastra Indonesia FIB Unand)