Perayaan 88 Tahun “Sembilu Darah” RMS, Merawat Silaturahmi dan Kewarasan

Selasa, 27/02/2024 23:47 WIB
-Perayaan “Sembilu Darah: 88 Tahun Rusli Marzuki Saria (RMS)” ditutup dengan pemotongan tumpeng

-Perayaan “Sembilu Darah: 88 Tahun Rusli Marzuki Saria (RMS)” ditutup dengan pemotongan tumpeng

Padang, sumbarsatu,com—Kita punya tokoh-tokoh besar yang bisa kita baca dalam lembar-lembar buku sejarah tapi itu cuma ada dalam buku dan semuanya sudah meninggal. Hari ini, kita masih punya sosok tauladan yang masih diberi umur panjang berada di tengah-tengah kita, bersama generasi muda, yaitu Papa Rusli Marzuki Saria. Beliau jadi panutan dan rujukan kita, terutama generasi muda.

Saat ini, kondisi bangsa kita sedang tidak baik-baik saja. Kita semakin hari semakin berjarak dengan nilai-nilai etika, adab, kesantunan, dan moral sehingga saat ini kita hidup terasa kasar, terasa jauh dari nilai peradaban kita, nir-moralitas, dan nir-etika. Kini, kita sedang berkumpul mempererat silaturahmi sekaligus merawat kewarasan kita bersama dengan Papa Rusli Marzuki Saria.  

Sebagai generasi muda, mudah-mudahan kami bisa mengawal  dan menerapkan pesan-pesan dan nilai-nilai yang telah diwariskan kapada kami, anak-anak muda ini. Papa, Buya, dan para senior, kuatkan kami agar bisa terus merawat dan menjaga nilai-nilai itu.

Hary Efendi, aktivis dan dosen Jurusan Sejarah FIB Unand

Begitulah yang disampaikan Hary Efendi, aktivis dan dosen Jurusan Sejarah FIB Unand, saat syukuran yang penuh makna kekeluargaan merayakan 88 tahun usia penyair dan wartawan Rusli Marzuki Saria, akrab disapa “Papa”, Selasa, 27 Februari 2024 di Hotel Daima Padang.

“Sekarang, hidup kita terasa sangat berjarak dengan etik, nilai-nilai moralitas, budaya dan adab. Kondisi begini semakin lama semakin mengental dan hidup kita terasa sangat kering, banal, dan hampa. Tapi, hari ini kita masih memiliki sosok Papa dan Buya, tempat kita yang muda merujuk dan bertanya,” kata Hary Efendi dengan suara serak menahan emosinya sebelum membacakan puisi karya RMS.   

Kegiatan sastra yang diinisiasi Isa Kurniawan bersama dengan Komunitas Pemerhati Sumbar (Kapas) dan Himpunan Media Sumbar (Hamas) dilabeli dengan “Sembilu Darah: 88 Tahun Rusli Marzuki Saria (RMS)”  dihadiri pelbagai kalangan tokoh masyarakat, seniman, budayawan, jurnalis, handai tolan, dan keluarga, berlangsung meriah dan hikmat.  

Buya Mas’oed Abidin, ulama dan tokoh masyarakat Sumatra Barat yang usianya sebaya dengan Papa RMS, membukanya dengan membacakan puisi karya sahabatnya ini, lalu berkisah tentang masa lalu yang penuh kisah-kisah perjuangan, dan menutupnya dengan doa agar semua kita, terutama Papa RMS, diberi kesehatan dan umur panjang.

“Papa dan juga Buya merupakan orang tua kita, yang sampai kini masih diberi kekuatan kesehatan yang baik sehingga bisa berkumpul bersama kita saat ini. Kegiatan merayakan 88 tahun usia Papa RMS ini salah satu bentuk apresiasi kita, terutama generasi muda. Selain itu, kegiatan sederhana ini juga membuka ruang-ruang silaturahmi, yang terasa sudah makin langka kita rasakan hari ini. Parade pembacaan puisi-puisi karya Papa RMS, diharapkan menyentuh sisi humanisme kita,” kata Isa Kurniawan saat memberi sambutan.

Rusli Marzuki Saria membacakan puisinya "Sembilu Darah"

Khairul Jasmi, wartawan senior dan Pemimpin Redaksi Harian Singgalang, yang diminta testimoninya mengatakan, Papa RMS seorang esais, penyair, wartawan, dan sosok yang suka berteman dengan siapa saja tanpa melihat perbedaan usia. Ia supel bergaul.

KJ, demikian disapa, menga11ku mengenal Papa RMS sekitar tahun 80-an. Pertama kali ia datang ke ruang kerja RMS di Harian Haluan Jalan Damar itu. Saat masuk ke ruang kerja itu, ia melihat kiri-kanan meja berlungguk-lungguk naskah-naskah, baik itu berupa novel, cerpen, esai, puisi, laporang reportase budaya. “Begini kerja seorang redaktur koran itu, ya,” batin saya.

KJ, yang kini menjabat sebagai Komisaris PT Semen Padang melihat, Papa itu seorang redaktur yang sungguh-sungguh merawat rubrik sastra dan budaya di Haluan. Rubrik yang diasuhnya berwibawa di kalangan sastrawan dan budayawan. Ruang sastra di Haluan ini jadi legendaris. Ia juga punya rubrik “Remaja Minggu Ini” (RMI) yang juga cukup terkenal. Banyak penulis lahir dari rahim RMI ini.

“Sekarang ini tak ada lagi yang “gila” dan “militant” menjaga dan merawat ruang-ruang budaya serupa Papa ini,”  terang KJ.

Papa RMS seorang esais, penyair, wartawan, dan sosok yang suka berteman dengan siapa saja tanpa melihat perbedaan usia. Ia supel bergaul.

Muhammad Muftie Syarfi, juga seorang wartawan senior yang pernah satu kantor dengan dengan Papa RMS di Haluan, mengatakan, sosok Papa ini seorang yang berdisiplin tinggi, akurat, dan seorang motivator terutama kepada yang muda-muda. “Latar belakangnya sebagai mantan Brimob barangkali yang membuat Papa berdisiplin ketat. Papa ini setiap pagi berjalan kaki sejauh 10 km, tidak merokok. Sedangkan saya jarang olahraga jalan kaki dan perokok berat puka,” kata Muftie Syarfi yang  pernah menjabat sebagai Ketua KPU Sumatra Barat.

Buya Mas’oed Abidin, ulama dan tokoh masyarakat Sumatra Barat 

Kedisiplinan Papa ini diakuinya, sangat berguna sekali ketika ia diberi tugas di Komisi Pemilihan Uumum (KPU) Sumbar selama 10 tahun. “Kerja di bawah tekanan waktu dan akurasi yang tinggi ketika bekerja di media cetak, sedikit banyak memudahkan saya dalam menyelesaikan tugas di KPU. “Disiplin dan akurasi yang ditekankan Papa sewaktu masih  bekerja di Haluan, sangat berguna dan saya pantas sekali berterima kasih kepada Papa RMS,” papar sosok yang kini pengurus Baznas Kota Padang.

Ia mengaku mulai mengenal Papa RMS tahun 1970-an di Harian Haluan. Di surat kabar terbesar di Sumatra Barat ini, Mufti bekerja bukan sebagai seorang wartwan tapi sebagai korektor dan tata letak.

“Papa RMS  kerap memberikan masukan terhadap hasil kerja saya. Beliau selalu mendorong dan memotivasi yang muda-muda, termasuk saya, untuk meningkarkan talenta dan kerja. Kami selalu dipanggil “Bung”. Lalu saya meniti karier sebagai wartawan dengan bimbingan Papa Rusli,” terangnya.      

Puisi dan Artificial Intelligence

Selain testimoni para tokoh dan jurnalis senior, perayaan 88 tahun usia RMS juga diisi dengan orasi sastra yang disampaikan Riri Satria, seorang penyair dan pengamat teknologi dan tranformasi digital, mengangkat tema “Dunia Perpuisian di Era Kecerdasan Buatan: Tantangan Masa Depan Penyair dan Apa yang Harus Dilakukan?”.

Riri Satria, seorang penyair dan pengamat teknologi dan tranformasi digital

Riri dalam paparannya menyinggung profesi dan pekerjaan, termasuk sebagai penyair atau pencipta puisi berpotensi hilang digantikan oleh artificial intelligence (AI).

“Salah satu pekerjaan dan profesi yang telah hilang adalah petugas karcis di pintu tol. Ada juga juru ketik yang sudah lenyap,” katanya. “Lalu apakah profesi penulis syair puisi-puisi atau penyair juga akan sirna dan digantikan dengan AI?” tanyanya.

Kendati ancaman itu ada, tetapi ia masih meyakini bahwa kecerdasan buatan itu adalah buatan manusia, bukan kecerdasan hakiki manusia.

Riri Satria juga menjelaskan lebih jauh tentang proses penciptaan puisi. Secara generik, proses penciptaan puisi oleh manusia itu melewati empat tahapan, yaitu (1) observasi, (2) kontemplasi, (3) penyaringan emosi, serta (4) komposisi atau konstruksi. Semuanya dilakukan dengan melibatkan rasa, hati, dan pendalaman batiniah oleh manusia. Itulah yang membuat puisi memiliki daya gugah yang tinggi.

“Sementara itu komputer melakukan keempat proses itu secara mekanistik atau algoritmik, tentu saja tanpa melibatkan rasa atau proses batiniah apa pun. Sudah pasti puisi yang dibuat komputer sangat terpaku kepada bahasa, kosa kata, serta sintaks,” urainya.

Komputer cuma menyusun sebuah puisi berdasarkan pengetahuan yang dimiliki dalam wujud bahasa, kosa kata, dan sintaks tersebut, atau aspek linguistik semata. Komputer tidak memiliki pengetahuan tentang dunia nyata dan imajinasi atau the knowledge of reality and imagination yang dimiliki manusia ketika membuat puisi..

Riri Satria meyakinkan para penyair untuk tidak perlu khawatir terhadap perkembangan kecerdasan buatan, namun jangan menutup mata terhadap tantangan masa depan puisi.

“Kita harus membuka ruang-ruang kreativitas yang baru  sebagai keunggulan manusia yang tak pernah bisa tergantikan oleh mesin. Inilah peluang kita untuk mempertegas mana porsi mesin dan mana porsi manusia. Semua ini menantang kita untuk menjaga marwah perpuisian lebih baik lagi. Dengan demikian, para penyair harus mampu menjawab tantangan tersebut, bukan hanya sebatas membuat puisi, melainkan jauh lebih fundamental. Misalnya isu etika, apakah menggunakan komputer untuk membantu membuat puisi itu melanggar etika atau tidak? Apakah puisi yang dihasilkan mesin itu juga dapat disebut puisi? Inilah tantangan ke depannya,” ungkap Riri.

Kapas dan Hamas menyerahkan piagam Live Archievement Award atas pengabdian dan kesetiaan Rusli Marzuki Saria dengan profesinya

Melengkapi kemeriahan peringatan 88 tahun usia penyair RMS, ditampilkan parade baca puisi karya RMS oleh seniman, aktivis sosial, dosen, dan cucu RMS. Tampil membacakan dengan ekspresi masing-masing adalah Syarifuddin Arifin, Sastri Yunizarti Bakry, Fauzul el Nurca—ketiganya penyair. Lalu Hary Efendi (dosen), Musfi Yendra (Ketua Komisi Informasi Sumbar), Jadwal Djalal (penyiar radio), dan Soni Murtanda (cucu RMS). RMS juga membacakan puisi legendarisnya berjudul “Sembilu Darah”. 

Sebelum membacakan puisi, RMS mengucapkan terima kasih atas inisiatif Isa Kurniawan menyelenggarakan perayaan ulang 88 tahunnya. "Terima kasih Isa dan kawan-kawan semua telah ikut berpartisipasi memeriahkan ualang tahun ini. Ini acara yang sangat membahagiakan saya," kata RMS.     

 Saat yang membahagiakan itu, Komunitas Pemerhati Sumbar (Kapas) dan Himpunan Media Sumbar (Hamas) yang diketuai Isa Kurniwan menyerahkan piagam Live Archievement Award atas pengabdian dan kesetiaan Rusli Marzuki Saria dengan profesinya. Semua rangkaian  Perayaan “Sembilu Darah: 88 Tahun Rusli Marzuki Saria (RMS)” ditutup dengan pemotongan tumpeng dan Papa RMS memberikan pertama kepada Buya Mas’oed Abidin dan diikuti para hadirin.

Tampak hadir akademisi Hermawan, Dasril Achmad, para jurnalis Saribulih, Devie Diani, Indra Sakti Nauli, Alwi Karmena, Jon Pajok, Viveri Yudi, mahasiswa pencinta sastra dan masyarakat umum.  

Selamat ulang tahun Papa RMS, tahun depan kita bertemu lagi. SSC/MN



BACA JUGA