Jamaah di depan Bukit Uhud
SALAH satu agenda kami selama di Madinah adalah melakukan ziarah ke tempat-tempat bersejarah. Rencana semula kami berangkat agak pagi. Akan tetapi jumlah bus yang akan mengangkut rombongan tidak mencukupi.
Reda Kinawy, CEO Travel One dan suami Mbak Dyas, kesal melihat kenyataan demikian. Reda mengamuk memarahi agen bus. Dengan muka merah ia mengacung-acungkan tangan menunjuk agen bus yang berdiri di depannya. Eh, agen bus balik membalas dengan suara keras. Sambil membentangkan tangan, berusaha meyakinkan lawan bicaranya. Pagi itu kami menyaksikan drama pertengkaran dua bangsa Arab: asal Mesir dan Saudi Arabia. Saya melihat sekilas ke arah Mbak Dyas, bos wanita kami.
“Ah, biar saja. Sesama orang Arab memang sering begitu,” katanya dia dengan suara tenang, tanpa mimik risau, atau pun cemas.
Rupanya memang demikianlah pertengkaran di antara pria Arab. Meski marah-marah dengan suara keras dan wajah merah, mereka tak mau main tangan. Begitu bus tambahan datang, drama pertengkaran itu selesai dengan sendirinya. Dan kami bersiap untuk berangkat.
Tempat pertama yang kami kunjungi adalah Masjid Quba’. Masjid itu dibangun saat rombongan Nabi dan Kaum Muhajirin hampir sampai di Yastrib, nama Madinah sebelumnya. Menjelang masuk kota, Nabi berhenti di rumah Kalsum Ibnu al-Hidam, dan mengaitkan ontanya di sana. Setelah itu Nabi membangun masjid sederhana dari pelepah kurma. Itulah masjid pertama yang dibangun Nabi Muhammad di wilayah Madinah. Masjid Quba’ yang ada saat ini adalah hasil renovasi oleh Raja Fahd ibnu Abdul Azis pada tahun 1986.
Masjid Quba’
Masjid Quba tidak terlalu besar ukurannya, tapi bersih, terawat, dan nyaman. Bangunan utamanya kira-kira seukuran masjid di kompleks perumahan di Indonesia. Bangunan tambahan dibuat memanjang ke belakang, berjarak dari bangunan utama. Kami menunaikan salat Zuhur di masjid bersejarah ini.
Di bagian dalam masjid tak banyak pernak-pernik, kecuali ukiran kaligrafi di tiang dan mihrab. Mihrabnya sendiri tidak terlalu tinggi. Jauh lebih kecil dan sederhana dibanding kebanyakan mihrab masjid di Indonesia, yang tinggi dan dipenuhi ukiran. Lengkungan kubah besar di tengah bangunan menjadikan ruang masjid terasa lapang.
Aura yang nyaman dan damai membuat kita betah berada di masjid ini. Sekeliling masjid terdapat kebun kurma yang luas, mirip situasi saat awal didirikan. Di dekat jalan raya besar menuju masjid dibangun kompleks perumahan, namun kebun kurma masih mendominasi wilayah itu.
Sejauh yang saya rasakan, masjid ini salah satu tempat paling nyaman untuk berdoa dan beribadah di dalamnya. Tentu saja setelah masjid Nabawi dan Masjidil Haram. Bisa jadi karena suasana lingkungan perkebunan kurma yang adem. Mungkin juga disebabkan sikap masyarakat Quba’ yang ramah dan suka menolong sejak nenek moyang mereka.
***
Usai salat Zuhur, kami singgah di toko dekat kebun kurma. Sayangnya kami tidak bisa masuk ke kebun kurma yang berada di samping toko. Kami hanya bisa duduk dan menyaksikan beberapa pohon kurma yang ditanam kurang teratur di luar toko. Di toko itu kami membeli kurma untuk oleh-oleh. Ada berbagai jenis kurma yang disediakan di sini. Saya membeli beberapa kilo untuk teman-teman di Korea.
Jabal Rahmah
Setelah itu kami menuju Masjid Syeikh Ibrahim Al Juffali atau lebih dikenal dengan Masjid Qisas. Masjid ini terletak di kawasan Balad, Kota Jeddah. Sesuai namanya, hukum qishas dilaksanakan di lingkungan masjid ini. Di halaman parkir terdapat sebuah balai-balai tanpa dinding.
“Di tempat itulah hukum qishas dilaksanakan,” ujar pemandu kami. Ada hari khusus untuk pelaksanaanya. Apakah hukum qishas masih dilakukan?
“Tentu. Hanya saja, hukuman pancung, kini amat jarang dilakukan. Mungkin karena jarang ada pembunuhan. Atau keluarga mereka lebih suka menerima denda dan memaafkan daripada menuntut hukum qishas,” kata pemandu kami.
Kami tidak turun dan singgah, hanya lewat saja. Mobil membawa kami menuju Masjid Al Fath yang terletak di wilayah perbukitan, tempat berlangsungnya Perang Khandaq. Khandaq artinya parit. Sejak Nabi tinggal di Madinah, kaum musyrik di sekelilingnya tak pernah berhenti mengganggu.
Pada tahun kelima Hijriyah, beberapa kabilah kaum musyrik berencana menyerang kaum muslimin di Madinah. Untuk mempertahankan diri, Salman Al Farisi mengusulkan agar dibuat parit di perbukitan sekitar Madinah. Dengan strategi itu, kaum muslim berhasil memenangkan perang dan mempertahankan kota Madinah. Tokoh inilah yang menginspirasi saya untuk memberi nama anak laki-laki saya, Faris.
Masjid Al Fath terletak di ujung parit. Agak berjarak di ketinggian, terdapat sebuah bangunan kotak yang disusun dari batu dan tanah liat. Bangunan berwarna coklat keabu-abuan itu terlihat masih utuh, dan terawat dengan baik. Konon, itu adalah benteng peninggalan dari Perang Khandaq.
Menjelang Magrib, kami sampai di Bukit Uhud. Dalam bayangan saya, Bukit Uhud itu dataran layaknya bukit-bukit di Indonesia. Tentu saja tanpa hutan dan semak karena di daerah padang pasir. Ketika sampai di sana, ternyata Bukit Uhud itu hanya berupa onggokan tanah. Ukurannya beberapa kali lebih besar dari munggu di tengah persawahan di kampung. Tidak terlalu tinggi dari dataran sekitarnya, dan tanpa pepohonan sama sekali. Saya jadi kecewa, karena gambaran arena perang dahsyat itu tidak sedramatis yang saya bayangkan.
Lebih mengecewakan lagi, situs sejarah penting ini dibiarkan begitu saja, tanpa perawatan sama sekali. Tak terlihat sentuhan apa pun terhadap situs penting ini. Tidak ada keterangan tertulis tentang tempat itu. Juga tak ada pagar untuk membatasi pengunjung. Siapa saja bebas mendakinya sesuka hati. Tak ada yang melarang jika Anda mencungkil tanahnya yang mudah longsor. Saya dan teman-teman berjalan ke atasnya. Kami mengibarkan bendera dan bergaya layaknya prajurit Perang Uhud.
Bukit Uhud adalah tempat berlangsungnya Perang Uhud, perang dahsyat dan terberat sepanjang sejarah Islam. Di atas bukit itu, Nabi menempatkan pasukan pemanah. Pasukan itu dilarang meninggalkan tempat, apa pun yang terjadi. Ketika perang hampir berakhir dengan kemenangan pasukan muslim, tiba-tiba pasukan pemanah meninggalkan bukit itu. Mereka turun untuk memperebutkan harta rampasan yang berserakan di bawah bukit.
Dengan cepat, bukit itu diambil alih pasukan musuh. Musuh menugaskan pemanah mahir mereka untuk menghancurkan pasukan muslim yang berada di bawah bukit yang sibuk memperebutkan harta rampasan perang. Pasukan muslim terdesak dan menjadi kucar-kacir. Dalam perang itu Nabi Muhammad terluka, dan gigi beliau patah. Bahkan paman beliau, Hamzah, gugur bersama tujuh puuh orang syuhada lainnya. Bukit Uhud menjadi saksi kekalahan pasukan muslim. Itukah sebabnya Bukit Uhud tidak terurus? Entahlah.
Kami salat magrib di sebuah masjid dekat Uhud. Di samping masjid itu, di dataran yang rendah di bawah Bukit Uhud, terdapat makam para syuhada Perang Uhud. Di komplek makam itulah Hamzah, paman nabi dikuburkan.Makam itu ditandai dengan onggokan tanah yang rendah. Tanpa nisan. Sekeliling makam dipagari kawat.
Usai salat, seorang wanita Arab berkerudung mendatangi kami. Ia datang bersama dua anaknya, sambil mendorong gerobak, yang biasa dipakai untuk pengangkut pasir di Indonesia. Di dalam gerobak itu terdapat beberapa bungkusan plastik dan botol air mineral. Anak-anak kecil itu kemudian menyodorkan kue dalam bungkus plastik dan sebotol air mineral. Dari pakaian dan gelagatnya, kelihatannya mereka dari keluarga sederhana.
Semula saya pikir mereka lagi berjualan. Jadi saya keluarkan duit untuk membayar. Tapi anak-anak itu menolak diberi uang.
Dari jauh, ibu kedua anak itu memberitahukan bahwa itu adalah sekedah. “Sadaqah.. sadaqah. Alhamdulillah ya Haj,” ujarnya. Malah dia yang berterima kasih, karena kami bersedia menerima sedekah mereka.\
Pemakaman syuhada di Uhud. Hamzah dimakamkan di kuburan dekat masjid ini.
Syukran, Alhamdulillah,” ujar saya mengucapkan terima kasih sambil menempelkan tangan di dada sebagai penghormatan. Wanita itu menunggu anak-anaknya membagikan air mineral dan kue hingga selesai. Tak lama kemudian mereka datang lagi dan memberikan sedekah pada rombongan lain yang baru datang. Di tempat itu memang tidak ada ada orang berjualan. Jadi sedekah dari wanita dan anaknya itu amat berarti bagi kami.
Setelah melaksanakan ibadah haji, kami juga berziarah ke beberapa tempat lain. Di antaranya, Jabal Rahmah, yang tak jauh dari Arafah. Orang berduyun menaiki bukit batu dalam cuaca panas terik. Ustad Saukani, pemandu kami, menjelaskan tentang tempat itu sambil menggunakan payung. Tapi tak ada anggota rombongan kami yang naik.
“Ayo, Mas, naik sana,” ajak saya.
“Gak ah, Pak.”
“Lho kenapa?”
“Kata ustad, bukit itu tempat pertemuan Adam dan Hawa. Lah, yang ada baru Adam saja. Hawanya entah di mana.”
“Trus apa hubungannya?”
“Di sana orang akan berdoa agar rumah tangganya langgeng dan bahagia. Lah, doa apa yang mau dibaca lelaki bujangan seperti saya?” ujar teman itu sambil tersenyum tipis.
“Ah, kalau begitu saya juga gak jadi naik,” ujar saya. Dalam hati tentunya.
Sebenarnya ada beberapa tempat lain yang ingin kami datangi. Tapi kata Ustad Saukani, tahun ini banyak tempat ziarah yang ditutup. “Banyak jamaah yang bersikap berlebihan sehingga mendekati musyrik. Juga karena banyak kecelakaan karena medannya berbahaya tapi jamaah memaksakan diri untuk naik.” Di antara yang ditutup itu adalah Goa Hira dan rumah kelahiran nabi.
Saya sendiri sebenarnya ingin mengunjungi Masjid Jin. Tapi sampai meninggalkan tanah Mekah, niat itu tak kesampaian. Seorang sepupu saya pernah berkunjung ke sana. Menjelang masuk, ia bertemu seseorang dan mengobrol.
“Mau ke mana?” sapa orang itu.
“Ke masjid itu, masjid jin,” jawab sepupu itu. “Kabarnya masjidnya bagus.”
“Iya, memang bagus. Saya biasanya salat di sanak kok. Nenek moyang kami yang membangun masjid itu,” ujar orang itu lagi.
Saat sepupu itu melihat lagi ke lawan bicaranya, orangnya sudah tak ada. Di pasir juga tak ada bekas jejak kaki. Jadi orang tadi melayang di udara? Tiba-tiba sepupu saya ingat pernyataan lawan bicaranya itu bahwa ia biasa salat di sana dan bangunan itu dibangun oleh nenek moyangnya.
“Oh, jadi yang tadi itu bangsa jin,” ujarnya. (Ivan Adilla, Dosen Jurusan Sastra Indonesia FIB Unand)