Jamaah melintas di halaman luar Masjid Nabawi setelah salat
MENJELANG berangkat haji, beberapa saudara dan teman telah mengingatkan saya agar jangan lupa membawa oleh-oleh dari Tanah Arab. Bagi bangsa kita, oleh-oleh dari Tanah Suci tidak hanya bermakna penghormatan dan kenangan, tapi juga imbauan. Ya, oleh-oleh dari seorang haji seakan memanggil penerimanya untuk segera menunaikan ibadah haji. Betapa bermaknanya oleh-oleh dari Tanah Suci, ternyata.
Saya telah menyiapkan sejumlah uang untuk membeli oleh-oleh. Kini saya harus meluangkan waktu untuk mendapatkannya. Tentu saja oleh-oleh khas Tanah Arab, barang sederhana yang ternyata tak mudah ditemukan.
Perburuan untuk mendapatkan oleh-oleh telah dimulai sejak hari kedua rombongan kami sampai di Madinah, jauh sebelum pelaksanaan ritual haji yang sesungguhnya dimulai. Kami memang diingatkan oleh petugas pendamping haji agar berbelanja oleh-oleh di Madinah. Selain harga di sini lebih murah dan pelayanan lebih ramah, modelnya juga lebih beragam. Alasan lain, dan paling penting, terkait dengan kenyamanan beribadah.
“Haji adalah rangkaian ibadah yang panjang dan berat. Begitu meninggalkan Madinah, kita akan memasuki prosesi haji dan umrah. Jadi sebaiknya urusan beli-beli selesaikan dulu di Madinah. Agar selepas ini kita bisa konsentrasi untuk ibadah,” jelas Mbak Dyas, pimpinan biro perjalanan kami. Para jamaah mengamalkan nasehat itu dengan baik. Sepulang dari masjid, anggota rombongan mengunjungi toko dan pasar tradisional untuk membeli oleh-oleh.
Saya singgah di salah satu toko yang berjejer sepanjang jalan menuju hotel. Melihat-lihat pakaian atau aksesoris yang mungkin dijadikan oleh-oleh. Pelayan toko menyapa dengan ramah. “Assalamui alaikum ya Haj. Silakan masuk. Silakan lihat-lihat,” ujar pedagang Arab itu.
Bahasa Indonesia mereka cukup fasih dan bisa dimengerti. Para pedagang ini rupanya sengaja belajar beberapa kata bahasa Indonesia untuk menarik pembeli. Tentu karena jamaah kita paling ramai dan dikenal royal berbelaja.
“Semua barang bagus. Harganya murah. Yang mana Haji suka?” katanya lagi sambil menyodorkan gamis, kafiyeh, hingga topi aneka model. Setelah menyinggahi beberapa toko, ternyata tak ada barang yang menarik dan unik untuk dijadikan oleh-oleh.
Atas saran seorang teman, saya mengalihkan rute gerilya ke supermarket. Model dan jenis barang di sini terlihat lebih beragam. Namun selera belanja saya langsung melorot begitu melihat etiket yang ditulis pada barang-barang itu; made in China, India, Thailand, hingga Indonesia. Ternyata sebagian besar barang aksesoris dan pakaian yang dijual di sini merupakan produk asing. Ah, tentu akan jadi lucu jika saya membeli oleh-oleh Arab buatan China, India, hingga Tasikmalaya itu, bukan? Perburuan saya hari kedua kembali berakhir dengan kegagalan.
Suasana di sebuah gang salah satu lokasi penjualan buah tangan
Sampai di hotel, saya lihat teman-teman sudah menumpuk oleh-oleh di sudut-sudut kamar mereka. Dibungkus dalam kardus dan karung besar. Oleh-oleh itu akan dikirim lewat pos, melalui konter pos bergerak yang terdapat di seberang jalan depan hotel. Ada yang menuliskan alamat di Jawa Barat, Jawa Tengah, hingga Sulawesi. Saya heran bercampur kagum pada teman-teman yang dengan mudah mendapat banyak oleh-oleh itu.
Sehabis salat Asar, saya melanjutkan gerilya ke pasar tradisional dekat masjid. Lebih sejam berkeliling, saya menemukan fakta yang sama saja; barang impor dari berbagai negeri lain. Apa mau dikata?
Lebih enam puluh tahun sebelumnya, seorang pengarang asal Medan yang sedang berhaji menemukan fakta berbeda. Ia menyaksikan banyak kerajinan ‘puteri Medinah” yang cantik beraneka corak sehingga laris dan disukai. Saya kutip saja tulisan Saiful U.A, berjudul Hati Terpikat di Tanah Suci, yang dihimpun dalam Chambert-Loir.
“Dari warung kopi ini kami pergi ke jalan yang paling ramai di Kota Medinah. Sesaknya orang tiada terkira. Amat payah mencari jalan lalu. Toko-toko sibuk dikunjungi para musafir, ingin berbelanja untuk kenang-kenangan pada keluarga sahabat handai. Barang-barang luks tak kurang banyaknya di sini. Apalagi pula barang barang kerajinan buatan puteri Medinah, banyak terdapat di toko-toko, dari berbagai corak dan warna. Kerajinan tangan ini memang laris lakunya, bukan hanya karena senang membeli, tetapi adalah disebabkan indah pula buatannya.” (Chambert-Loir, 2013: 937).
Di manakah barang kerajinan itu sekarang? Masihkah wanita Madinah membuatnya? Ataukah mereka merasa cukup puas dengan barang impor dari negara lain?
Dulu, kalau orang pulang haji macam-macam oleh-oleh yang dibawa. Oleh-oleh paling umum adalah kurma dan air zamzam. Setelah itu tasbih, batu cincin, dan kerajinan lainnya. Semua itu hasil Tanah Arab yang tak ditemukan di tempat lain. Hanya orang yang pernah ke Arab saja yang bisa membelinya. Anak-anak akan sangat senang jika bisa memperoleh satu-dua biji kurma. Buah itu dimakan dengan hikmat karena dipercaya bisa membuka mata hati untuk belajar.
Tapi kini semua barang itu dengan mudah ditemukan di berbagai tempat. Sarana transportasi dan logistik telah memudahkan perpindahan barang dari Arab ke berbagai negara Muslim. Kita bisa membeli apapun oleh-oleh Tanah Arab di Pasar Tanah Abang. Sejak dari kurma, tasbih, hingga air zamzam. Kalau mau lebih mudah lagi, beli saja secara online. Jadi oleh-oleh apa lagi yang harus saya bawa dari Tanah Arab ?
***
Saat mencari oleh-oleh di sekitar hotel, seorang pedagang menawarkan oleh-oleh yang unik; ramuan kering berwana coklat muda mirip parem yang dipadatkan. Bentuknya bulat memanjang, dibungkus plastik seukuran jari kelingking.
“Kupil sedikit dan encerkan dengan air. Menjelang ‘tugas malam’, oleskan tipis-tipis dari batang hingga kepala. Biarkan sekitar setengah jam, setelah itu siap beraksi. Dijamin puas sampai pagi,” jelas pedagang toko kelontong itu mengacungkan jempol sambil berbisik.
Cara pedagang Arab itu mempromosikan obat kuat itu mengingatkan saya pada pedagang obat saat hari pasar di kampung masa kecil. Ketika kanak-kanak, setiap Minggu yang merupakan hari balai di kampung kami, saya senang melihat pedagang obat keliling menjajakan jadam arab; butiran obat sebesar kacang tanah yang amat pahit rasanya. Kalau anak-anak cacingan, maka ia akan diberi jadam arab yang ditaruh di dalam pisang, agar saat ditelan rasa pahitnya tak terasa. Esoknya, cacing-cacing dari perut akan keluar bersama kotoran. Begitulah khasiat obat itu menurut penjualnya.
Sejatinya, saya datang ke lapak pedagang itu bukan untuk membeli obat. Tapi untuk melihat sulap, atau ular besar yang sebentar lagi akan dikeluarkan dari peti. Begitu cara tukang obat membual untuk menarik calon pembelinya. Sayangnya pedagang Arab di Madinah ini tidak mahir bermain sulap dan tak membawa peti berisi ular. Maka saya hanya berterima kasih dan segera saja meninggalkan tokonya.
Eh, sampai di hotel, saya lihat beberapa teman menggenggam lempengan obat kuat yag dibalut plastik itu. Mereka menaruhnya diam-diam di bagian dalam ransel. Entah karena segan, entah karena malu.
Saya sendiri merasa beruntung tidak tergoda untuk membeli oleh-oleh seharga lima riyal itu. Kalau saja saya beli, dan ternyata ampuh, siapa yang harus menanggung ‘efek depan”-nya? Bagi seorang duda di rantau Korea seperti saya, tentu saja oleh-oleh unik itu akan menimbulkan masalah dan menjadi siksaan.
Beberapa di antara teman yang menyimpan obat kuat itu kini telah menikah. Sayangnya, saat menulis catatan ini saya tak sempat mengomfirmasikan keampuhan oleh-oleh unik Tanah Arab itu. Apakah benar-benar ampuh sampai pagi?
***
Selepas Magrib, saya singgah di sebuah kedai minuman. Sambil menikmati kopi turki, saya melihat ke arah kedai parfum di sebelahnya. Tak terlalu besar, tapi cukup lengkap. Penjualnya seorang pria Arab sekitar empat puluh tahun, berkulit kuning dengan jenggot dan jambang yang lebat.
Saya beranjak ke kedai parfum itu. Mulanya karena penasaran saja. “Silakan lihat-lihat”, ujar penjual berwajah ramah itu. Nada suaranya datar, tidak seagresif pedagang lain yang antusias merayu calon pembeli sambil memuji-muji dagangannya.
Saya menatap deretan botol cantik berbagai bentuk yang dipajang di etalase. “Ini parfum dari mana?” tanya saya.
“Semua parfum ini dari Arab. Diolah dari berbagai bunga dan tumbuhan yang ada di sini,” ujarnya.
Jamaah setelah salat berjamaah di Masjid Nabawi
Harga parfum dibedakan berdasarkan ukuran botol. Botol paling kecil berharga 10 riyal, menengah 20 riyal, dan paling besar 40 riyal. Dia kemudian menunjukkan beberapa jenis parfum di botol-botol kecil. Menaruh kertas tipis di mulut botol dan mempersilakan saya mencium aromanya. Wanginya orisinal dan khas Arab. Beda jauh dari aroma Red-Ferrari, Calvin Klein, atau Blue-Bulgari yang biasa saya pakai di Korea.
Saya kemudian memilih beberapa jenis, sambil memberitahu bahwa semua itu untuk oleh-oleh. Si Penjual menuang parfum yang saya pilih langsung ke mulut botol. Menuangnya dengan mahir ke mulut botol. Tanpa alat bantu, tapi tak ada yang tumpah.
“Sudah pilih untuk dipakai sediri ?” tanyanya.
“Saya mau Anda saja yang memilihkan untuk saya pakai,” ujar saya.
Ia memilihkan beberapa jenis parfum dan mencampurkannya ke sebuah botol agak besar.
***
Senja itu hanya saya sendiri yang berbelanja di toko milik Munir, nama pedagang parfum itu. Kami bisa ngobrol macam-macam. Munir berasal dari Madinah, sedangkan isterinya dari Jeddah. Mereka punya dua anak. Anak pertama, laki-laki umur 3 tahun. “Dua hari lalu, pada Selasa, saya mendapat anak kedua, perempuan”, ujarnya.
Munir belajar berdagang sejak usia sembilan belas tahun. Mulanya ia membantu di toko milik keluarga yang terletak di depan Masjid Nabawi. Setelah dianggap cakap, ia dipercaya mengelola toko sendiri. “Ini adalah toko ketiga milik keluarga kami”, ujarnya. Nama tokonya Dyar Al-Kheer for Gifts.
Musim haji adalah musim paling ramai untuk pedagang di Madinah. “Setelah itu, baru bulan Ramadhan dan akhir tahun”, ujar Munir. Pada bulan Ramadhan, jamaah paling banyak berasal dari Mesir, Sudan, dan Malaysia.
“Jamaah dari Indonesia lebih banyak datang pada akhir tahun. Kalau saat Ramadan malah mereka jarang yang sampai ke sini. Entah kenapa,” kata Munir lagi.
“Apakah saya boleh minta diskon?” tanya saya setelah kami berbincang lama.
“Haji mau diberi diskon apa? Uang atau barang?” ia balik bertanya. Mendengar jawaban itu, saya malah jadi tergagap.
“Begini saja. Saya beri hadiah istimewa kalau Haji mau,” katanya kemudian.
Munir memilihkan parfum jenis Raudhah, yang biasa dipakai untuk karpet Masjid Nabawi. Menuangnya ke dalam botol dan menaruhnya dalam kotak.
Saya bertanya apa lagi oleh-oleh terbaik dari Arab. Ia kemudian kemudian menunjukkan tasbih yang tergantung di samping etalase. Tasbih terbaik adalah dari kayu atau buah raukah. Seorang teman telah memberitahu saya tentang hal ini sebelumnya. Selain itu saya juga membeli tasbih kecil berbentuk gelang dari tulang unta. Warnanya putih dan bentuknya menarik sebagai oleh-oleh buat ketiga anak saya yang remaja.
Setelah cukup, saya meminta Munir menghitung belanjaan saya. Saat membuka dompet, saya baru sadar tidak membawa uang cukup. Jadi saya katakan pada Munir bahwa saya akan ke hotel untuk mengambil uang.
“Bawa saja sekalian barang ini,” ujarnya.
“Jangan. Saya ambil uang dulu.”
“Tak apa. Saya percaya orang Indonesia. Saya juga percaya muslim. Haji datang untuk ibadah, kan? Bukan untuk menipu. Jadi, bawa saja barang itu,” ujarnya.
Tapi saya memilih menitipkan dulu belanjaan dan berlari ke hotel. Tak lama kemudian saya kembali untuk membayar dan mengambil belajaan.
Karena penasaran, saya bertanya kenapa tadi ia menyuruh saya membawa belanjaan tanpa membayar. Apa dia tak khawatir saya menghilang tanpa membayar?
“Saya telah berbisnis parfum sejak remaja. Penjual parfum mengerti watak pembeli dari parfum pilihannya. Saya telah mengujinya sepanjang hidup saya, sehingga menjadi ilmu yang saya Yakini,” ujarnya. Jawaban diplomatis khas Arab.
Menjelang berpisah, Munir memilih dan mencampur tujuh jenis parfum dalam botol ukuran besar. Berulang kali ia mencium aromanya agar pas.
“Ini untuk istri Anda. Mudah-mudahan tahun depan bisa datang lagi ke sini bersama istri,” ujarnya.
“Amin. Alhamdulillah”, jawab saya. Di telinga duda seperti saya, ucapan Munir terdengar bagai doa, yang melebihi harapan.
Parfum itu saya simpan dengan hati-hati. Setahun kemudian barulah saya menemukan wanita yang tepat untuk menerima parfum racikan, hadiah dari pedagang Madinah itu. (Ivan Adilla, Dosen Jurusan Sastra Indonesia FIB Unand)