Jamaah beristirahat di halaman luar Masjid Nabawi
LETAK hotel kami amat strategis. Di kiri pintu masuk terdapat sebuah warung kecil yang menyediakan aneka kebutuhan harian. Jika kita terus berjalan ke arah belakang warung itu akan bertemu dengan toko penjual pakaian. Di sana dijual gamis, kafeyah, jilbab, hingga baju koko. Pedagang salah satu toko itu adalah Ja’far, lelaki Arab yang fasih sekali berbahasa Indonesia.
“Di mana Anda belajar bahasa Indonesia?” tanya saya ingin tahu.
“Di rumah,” jawabnya pendek.
“Di rumah? Maksud Anda?”
“Ya, di rumah. Saya belajar pada istri saya,” jelasnya.
Ja’far menikahi seorang wanita Sunda yang telah bekerja di Arab sejak masih gadis. Entah karena ada hubungan dengan Indonesia atau sebab lain, harga barang-barang di toko ini lebih murah. Jadi saya membeli kafeyah dan sebuah gamis di toko milik Ja’far.
Di sebelah kanan hotel terdapat gedung lain yang lebih besar. Lantai dasar bangunan itu diisi oleh toko pakaian dan money changer. Di tempat inilah saya dan teman lain menukarkan dollar dengan riyal untuk belanja. Mata uang Korea, Won, tidak diterima di sini karena jarang digunakan. Sedangkan rupian malah diterima. Di lantai dua bangunan ini ada restoran dengan menu Indonesia dan Arab. Pelayannya orang Indonesia. Selagi makan di sini, saya sering berjumpa jamaah asal Afrika yang terlihat lahap menikmati masakan Indonesia.
Pemandu haji membagi anggota rombongan ke kamar-kamar yang tersedia. Semula, saya bersama empat orang lainnya akan ditempatkan di sebuah kamar besar dengan tujuh tempat tidur. Kamar sebesar itu hanya punya dua kamar mandi. Maka kami minta dipindahkan ke kamar yang lebih kecil saja. Akhirnya saya bergabung dengan Mr. Ismail Lee dari Korea dan Ahmed asal Pakistan. Satu tempat tidur lagi diisi oleh teman dari Irak, yang datang menyusul kemudian.
Kamar kami terasa istimewa karena dihuni oleh warga dari empat negara. Kecuali saya, semua penghuninya bisa berbahasa Korea dengan baik karena memang telah lama tinggal di sana. Begitu mereka tahu saya tidak bisa berbahasa Korea, maka semuanya sepakat menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar.
Teman sekamar pertama adalah seorang Pakistan berambut lurus dengan badan dan tinggi sedang. Anak muda periang yang ramah, namun hati-hati dalam bersikap. Namanya Ahmed Soton, pedagang daging halal untuk komunitas muslim. Selain memasok daging sapi dan domba, Ahmed juga menjual domba hidup. Domba dikirim oleh saudaranya yang juga pengusaha peternakan di Selandia Baru. Jika datang musim buah, ia juga mengimpor dan mendistribusikan buah segar. Begitulah pengakuannya.
Ahmed Soton
Sebelumnya Ahmed telah pernah naik haji dan beberapa kali umrah. Jadi dia mengenal liku-liku tempat ibadah maupun tempat belanja di Madinah. Lagi pula, banyak orang Pakistan yang bekerja di Medinah. Pekerjaan yang disenangi pekerja asal Pakistan adalah menjaga kebersihan dan kerapian Masjid Nabawi. Tugas itu memberi dua keuntungan sekaligus; gaji yang lumayan dan pahala yang besar. Orang Pakistan juga banyak yang berjualan buah-buahan. Salah seorang di antaranya merupakan teman Ahmed. Hari kedua kami di Madinah, temannya itu berkunjung sambil membawa dua kardus buah-buahan ke kamar. Kami membagikan rezeki itu ke kamar lain juga.
Teman sekamar saya yang kedua bernama Lee Yoon-Gyun alias Ismail Lee. Umurnya 63 tahun, warga asli Korea. Sebagaimana umumnya orang Korea, lelaki bertubuh tegap itu amat lincah meski rambutnya sudah memutih. Dia seorang pengusaha konstruksi yang telah lama merantau ke Libya. Pada tahun 2001, saat berada di negeri Moammar Khadafi itu, dia memutuskan untuk memeluk Islam. Pada Ramadhan tahun 2018 itu, untuk pertama kalinya dia menunaikan umrah. Dua bulan berikutnya, ia datang ke Tanah Suci untuk menunaikan ibadah haji.
”Saya merasa damai dan nyaman sekali ketika berada di hadapan Ka’bah,” ujarnya menceritakan pengalaman spritualnya ketika pertama kali memasuki Masjidil Haram.
Dengan perasaan takjub ia menyaksikan orang salat, berdoa, dan berzikir dengan khusyuk. Sepanjang hari, Masjidil Haram yang luas itu dipenuhi manusia yang sibuk beribadah. Ismail Lee begitu terpesona.
“Pemandangan mengagumkan yang belum pernah saya saksikan di mana pun sebelumnya”, ujarnya. “Sampai di depan Ka’bah, saya menangis sejadi-jadinya. Pertama kali seumur hidup, saya menangis dengan berurai air mat,” lanjut Lee dengan nada berat. Suaranya terdengar agak parau.
“Saya menyesali betapa banyaknya dosa yang saya lakukan. Maka saya minta ampun dengan sungguh-sungguh. Sejak itu saya memutuskan untuk naik haji secepatnya. Agar saya bisa beribadah dan meminta ampun lagi di depan Ka’bah.”
Semula Ismail Lee ingin naik haji dari Libya, tempat ia tinggal dan berusaha selama ini. Akan tetapi, teman-temannya menyarankan agar dia naik haji dari Korea saja.
“Jangan naik haji dari Libya! Kamu harus antre lama. Bisa lebih dari tujuh tahun!” ujar temannya yang asli Libya.
“Terus bagaimana?” tanya Lee.
“Naik haji dari Korea saja. Di sana antrean tidak banyak. Mana tahu kamu bisa langsung berangkat tahun sekarang,” saran koleganya lagi.
Maka Ismail pulang ke Korea dan mendaftar di biro perjalanan tempat saya mendaftar. Dia mendaftar di detik-detik akhir, satu bulan menjelang berangkat. Untunglah masih ada kuota dan pengurusan dokumenya berjalan lancar. Sampai di Madinah, matanya berbinar memandang puncak masjid Nabawi yang terlihat dari kamar hotel kami.
***
Teman sekamar terakhir berasal dari Irak. Jameel Mohammed Hussein, namanya, berusia sekitar 50 tahun. Ia telah tinggal di Korea lebih dari empat belas tahun. Bekerja sebagai distributor spare-parts mobil Hyundai dan KIA dari Korea ke Irak. Menurut Jameel, mobil Korea disukai di Irak. Pengagum Saddam Husein ini berangkat haji bersama isterinya, wanita Arab yang cantik. Kami tidak sering bersama-sama karena Jameel lebih banyak pergi bersama istrinya. Hanya kalau malam ia datang ke kamar untuk berbagi cerita.
Jameel datang dengan pesawat berikutnya, dan sampai di hotel menjelang tengah malam. Tapi ia baru bisa masuk kamar pada jam dua dinihari. Pasalnya sederhana saja. Begitu sampai di hotel, ia diberi kunci oleh petugas perjalanan. Kunci itu tak bisa dimasukkan ke lobang kunci, karena sudah ada kunci lain yang terpasang di lubang yang sama. Katanya ia telah menggedor-gedor cukup lama, tapi kami tak ada yang terbangun.
Jam dua dini hari, saya terbangun dan membukakan pintu. Teman Irak yang kelelahan itu marah-marah. Ia kesal kenapa kunci ditinggal di lobangnya. Dengan mata merah karena baru bangun dan kelelahan, saya tatap dia sambil bertanya,
“Anda mau marah-marah atau mau masuk?”
“Mau masuk. Mau istirahat.”
“Ya, sudah. Silakan masuk. Saya juga mau tidur,” jawab saya meninggalkan pintu yang ternganga. Dia kemudian masuk dan tidur di satu tempat tidur yang masih kosong.
Selama di Madinah, persahabatan kami amat dinamis. Kamar kami menjadi ruang diskusi agama dan berbagi opini tentang tentang berbagai hal. Peserta tetap diskusi itu tentu kami berempat, muslim yang hidup dengan tradisi keagamaan yang berbeda-beda.
***
Ismail membagikan roti
Meski mengikuti rasul dan kitab suci yang sama, pemahaman dan tafsir umat Islam tentang ajaran agama mereka bisa berlainan. Perbedaan itulah yang sering menjadi topik hangat di antara kami.
Topik diskusi pada hari pertama berkisar soal boleh atau tidaknya menjamak dan mengqashar salat bagi jamaah haji. Apakah kita wajib melaksanakan shalat lima kali sebagaimana biasa; ataukah diizinkan menjamak dan mengqashar sebagaimana para musafir? Jameel berpendapat bahwa boleh menqashar, sementara Ahmed berpendapat hanya di waktu tertentu saja boleh menqasharkan salat. Alasannya adalah bahwa situasi kita tidak darurat. “Kita bisa berhenti untuk shalat di mana saja,” jelas Ahmed.
Menurut Jameel, jamaah haji adalah musafir. “Jadi kita tak perlu shalat lima waktu. Boleh saja menjamak,” ujarnya.
“Kita ke sini untuk ibadah. Kenapa harus menjamak jika kita bisa melakukan ibadah secara lengkap? Kan kita di hotel saja? Malah sebaiknya kita memperbanyak shalat sunat di masjid. Bukannya menjamak,” jelas Ahmed memberikan argumentasi.
“Yang jelas, sebagai musafir kita diberi kelonggaran untuk menjamak. Jadi kenapa tidak kita manfaatkan? Soal ibadah, kan banyak ibadah lain? Tidak hanya shalat, kan?” balas Jameel.
“Saya tak setuju! Kelonggaran itu jika kita bepergian untuk kepentingan lain. Sedangkan kita ke sini untuk ibadah, bukan untuk kepentingan lain.”
“Tuhan memberi kelonggaran itu untuk memudahkan. Kenapa tidak dimanfaatkan? Bro, waktu salat wajib itu sesungguhnya hanya tiga kali. Subuh, siang dan malam,” lanjutnya.
“Kalau begitu, kenapa kita diwajibkan shalat lima waktu, bukan tiga waktu?” tanya Ahmed lagi.
“Dalam situasi normal, betul. Tapi untuk situasi musafir, kita boleh melaksanakan kewajiban minimal,” ujarnya.
“Tunggu sebentar. Saya akan tunjukkan dalilnya. Saya ingat, itu ada di Surat An-Nisa,” pinta Jameel. Ia mengambil Al-Quran dan mulai mencari ayat yang dimaksud. Ahmed masih menunggu. Tapi saya mengantuk sekali sehingga tak tahu bagaimana perdebatan itu berakhir. (Ivan Adilla, Dosen Jurusan Sastra Indonesia FIB Unand)