Minggu, 04/02/2024 06:11 WIB

Hotel di Madinah

Suasana Kota Madinah di waktu malam

Suasana Kota Madinah di waktu malam

 

DULU sekali, perjalanan haji sungguh petualangan berbahaya dengan taruhan nyawa. Jamaah diberangkatkan dengan kapal, yang memuat sekitar seribu manusia di lambungnya.  Kapal mesin–yang sering kali berusia renta—berlayar di antara amukan badai samudera selama tiga minggu. Banyak jamaah yang meninggal dalam perjalanan penuh bahaya itu.  Jenazah mereka dimakamkan dengan cara membuangnya ke laut.  Berangkat haji pada masa itu tak ubahnya dari berjihad.

Sepanjang pelayaran, hanya terlihat laut, laut, dan laut. Setiap orang harus berjuang melawan kebosanan dalam perjalanan panjang itu. Apa yang dilakukan seribu manusia di tengah laut selain makan dan tidur? Jamaah yang alim akan memperbanyak ibadah sunat sambil menghafal doa-doa haji. Yang senang mengobrol akan berkumpul membahas topik apa saja untuk mengisi waktu. Sementara para bujang dan gadis akan memanfaatkan perjalanan panjang itu untuk mencari jodoh.

 Seorang pemuda, berusia sembilan belas tahun dengan darah muda yang bergelora, mencatat pengalamannya di kapal saat naik haji. Hamka, nama pemuda itu, naik haji pertama kali pada 1927. Melihat sikapnya yang sopan dan alim, seorang ayah yang berangkat bersama anak gadisnya mengintai Hamka untuk dijadikan menantunya. Taktik dirancang, dan utusan pun dikirim  kepada calon menantu idaman.

Beberapa kali pemuda itu sempat bertemu dengan sang gadis. Pertemuan selintas itu membangkitkan gairah di hati Hamka, membuat darah mudanya bergejolak. Senyum tipis wanita berkulit terang itu selalu membayang di ruang hati ‘pemuda kita’. Hampir saja ia menerima lamaran wali gadis Sunda yang santun itu. Namun, ia terus teringat pesan keluarga agar memilih orang sekampung untuk pasangan hidupnya. Pesan itulah yang membuat dia harus menahan diri.

Mungkinkah melaksanakan pernikahan dan berbulan madu di kapal haji? Ternyata semua bisa. Inilah catatan Hamka (dalam Chambert-Loir, 2013:678) tentang kehidupan penganten baru dalam perjalanan ibadah itu. 

“Ada juga orang lain yang langsung kawin di kapal itu, kalau kena perhitungan. Ada wali, ada saksi dan ada yang bersedia jadi kadi. Bila perkawinan telah langsung, ada pula kyai yang sedia baca doa “selamat”. Diadakan kenduri kecil. Kalau beres, maka dipasang sajalah kelambu gantung untuk mereka berdua”.

Kini orang ke Tanah Suci dengan pesawat terbang. Naik haji dengan kapal hanya tinggal kisah dan kenangan. Meski begitu, kebiasaan mengantar jamaah secara beramai-ramai masih terus dilakukan. Bedanya, calon haji tidak lagi dilepas dengan wajah cemas dan perasaan khawatir. Tapi diantarkan dengan wajah riang dan perasaan bangga: sebentar lagi akan ada keluarga yang bergelar Haji.

***

Sampai di jalan utama, limousine-bus telah menunggu. Saya menaikkan koper dan bawaan lainnya ke bagasi. Satu jam kemudian bus sampai di bandara Incheon, Seoul. Dini hari kami telah menuju Tanah Suci dengan maskapai penerbangan Etihad.

Pesawat yang kami tumpangi adalah pesawat komersil biasa, bukan pesawat khusus untuk jamaah haji. Isi pesawat ini malah lebih banyak penumpang biasa dibanding jamaah calon haji.   Jadi, tak ada pemandu yang mengingatkan soal waktu salat, membaca doa, atau talbiyah. Urusan ibadah menjadi tanggungjawab pribadi masing-masing.

Di sebelah saya, Albar, pekerja asal Jawa Timur, lagi membaca Al Quran kecil yang ia bawa ke mana-mana. Di kursi depan, Alfindo, penyuka fotografi asal Malang, Jawa Timur, sedang membuka buku doa yang dibelinya sendiri. Di lorong tengah di arah kanan, Agil – jamaah asal Pasuruan yang sehari-hari bekerja di pabrik robot—komat kamit menghafal doa yang ia catat sendiri sambil berbisik. Lelaki itu tampaknya khawatir kalau-kalau bacaannya bakal mengganggu penumpang di sebelahnya, seorang wanita mengenakan blus tipis dengan rambut yang dicat warna coklat muda. Di kursi belakang, beberapa jamaah mengisi waktu dengan menonton film yang disediakan di monitor tiap kursi. Yang lainnya tidur mendekur sepanjang perjalanan. 

 Penulis bersama dengan Ismail Lee di depan Masjid Nabawi

Sekitar jam satu siang esok harinya, setelah menempuh perjalanan panjang dari bandara Incheon, akhirnya kami sampai di Abu Dabi International Airport, Uni Emirat Arab. Dalam benak saya, Arab adalah wilayah sakral, tempat lahir orang suci.  Tapi saya tak merasakan aura sakral sama sekali saat sampai di bandara  terbesar di Timur Tengah itu. Suasananya tak banyak berbeda dari bandara lain.

 Siang itu tak terlihat rombongan jamaah haji dari negara lain. Beberapa wanita Arab mengenakan abaya, pakaian terusan yang menutupi hingga mata kaki. Bagian atasan berupa hijab, jilbab dan cadar. Pakaian laki-laki Arab tidak begitu beragam, hanya gamis dengan kafiyeh atau guthrah. Yang paling ramai justru manusia berbagai bangsa berlalu-lalang dengan pakaian aneka gaya. Remaja wanita lebih senang memakai overall, kebanyakan dengan kaos lengan pendek. Hanya beberapa orang saja yang memakai blazer, maupun celana pendek. Pengunjung laki-laki kebanyakan berpakaian kasual, jeans dan kaos. Untuk menandai orang Indonesia mudah saja; selalu menggunakan sarung --diselempangkan di bahu ataupun disarungkan sebagai bawahan.

Di bandara terbesar di Timur Tengah ini kami transit selama tiga jam. Lumayanlah buat melepaskan penat dan membeli beberapa barang yang mungkin perlu. Saya membeli satu slof rokok untuk persiapan selama di Tanah Suci. Untung sekali, karena di Medinah dan Mekah sulit mendapatkan kedai yang menjual rokok.

Setelah itu kami berangkat lagi dengan pesawat berukuran lebih kecil menuju Madinah, dan sampai di kota nabi itu menjelang senja. Waktu perjalanan dari Seoul ke Madinah seluruhnya sekitar sembilan jam. Hampir sama dengan penerbangan dari Indonesia.

***

Rombongan kami sampai di hotel selepas Zuhur. Hotel Rauyat al-Fairoz, tempat kami menginap, letaknya tak jauh dari Masjid Nabawi. Kamar saya terletak di lantai empat. Tidak mewah, namun cukup nyaman, dengan pengatur udara dan kamar mandi yang bersih. Empat tempat tidur single ditaruh berjejer ke arah jendela.  

Esok harinya, selepas sarapan, saya berjalan pagi di sekitar tempat kami menginap. Udara cerah dan hawa lebih sejuk. Banyak juga jamaah lain yang memanfaatkan suasana pagi yang menyenangkan itu dengan berjalan-jalan. Area sekitar hotel kami dipenuhi oleh jejeran hotel yang menjulang tinggi. Dibandingkan di Mekah, hotel di Madinah lebih berjarak dari bangunan Masjid. Tidak terasa sesak dan mengepung bangunan suci yang menjadi tempat beribadah.

Hotel-hotel menjulang di Kota Madinah

Hotel besar dan dekat ke arah masjid umumnya dikelola oleh jaringan hotel internasional; Hilton, Mercure, Intercontinental. Beberapa hotel yang lebih kecil dikelola secara mandiri oleh pengusaha setempat atau dari negeri Arab lainnya. Misalnya al-Fairoz, al-Jawarad, Elyas dan lainnya. Hotel tempat kami menginap, al-Fairoz, memiliki jaringan dengan agen travel asal Mesir. Karena itu penghuni utamanya adalah jamaah asal Mesir dan Suriah. Bos biro travel kami asal Mesir, mungkin itu sebabnya ia memilih hotel ini.

Hotel-hotel di sini sesungguhnya lebih mirip penginapan. Ruang untuk istirahat usai beribadah dan berziarah. Bukan tempat bersantai bagi wisatawan yang bepergian untuk mendapatkan hiburan. Jadi, jangan bayangkan ada fasilitas kolam renang, ruang karaoke, atau bar minuman. Di situs mereka, fasilitas yang ditawarkan adalah “ranjang yang kuat dan ketersediaan ruang jemuran’   Sungguh tawaran yang aneh untuk fasilitas hotel bintang tiga dan empat. (Ivan Adilla, Dosen Jurusan Sastra Indonesia FIB Unand)

BACA JUGA