Bus-bus yang Mengantarkan Orang Minangkabau Merantau

Selasa, 30/01/2024 06:09 WIB
oto

oto

APA kabar, Pakansier? Sudah lama tidak bersua. Kali ini, kita menyusuri jejak bus-bus yang menemani orang Minangkabau dalam merantau. Seperti yang kita ketahui, orang Minangkabau adalah suku yang terkenal dengan tradisi merantau mereka.

Tradisi ini merupakan bagian integral dari budaya dan identitas orang  Minangkabau (Mochtar Naim, 2001). Hal ini tercermin dalam pepatah yang sangat populer di kalangan masyarakat Minang, "Karantau madang dihulu, babuah babungo balun, marantau bujang first, di rumah paguno balun". Pepatah ini menggambarkan norma sosial yang menghargai peran dan tanggung jawab anak laki-laki untuk merantau dan meninggalkan kampung halaman mereka.

Dalam konteks pepatah ini, "karantau madang dihulu" merujuk pada perjalanan merantau yang dilakukan oleh anak laki-laki setelah menikah. "Babuah babungo balun" berarti bahwa ia harus pergi merantau untuk membuktikan kemampuannya dalam mencari nafkah dan membangun karir di luar kampung halamannya. Sementara itu, "marantau bujang dahulu" menunjukkan bahwa sebelum menikah, seorang anak laki-laki juga diharapkan untuk merantau guna mencari pengalaman dan modal ekonomi sebelum kembali ke kampung halamannya untuk menikah.

Secara keseluruhan, pepatah ini mengandung makna bahwa pergi merantau dianggap sebagai suatu kebutuhan dan bagian yang tak terpisahkan dari proses pembentukan diri bagi seorang laki-laki Minangkabau. Dengan merantau, ia dapat membuktikan kemampuannya, memperluas wawasannya, dan mendapatkan pengalaman yang berguna untuk kemajuan pribadi dan keluarganya.

Hal ini juga mencerminkan penghargaan terhadap kemandirian dan ketangguhan seseorang dalam menghadapi tantangan kehidupan di luar lingkungan yang dikenalnya (Franz and Keebet von Benda-Beckmann, 2007). Untuk itu, orang Minangkabau mengambil berbagai jalan untuk mencapai negara rantau, baik melalui darat, laut, maupun udara.

Dari semua jalan yang diambil, jalan  darat biasanya meninggalkan lebih banyak kenangan di hati orang Minang, terutama generasi dari tahun 70-an hingga 80-an. Banyak kisah tercatat, mulai dari romansa perjalanan yang indah, yang kadang-kadang berujung pada perjodohan, hingga menikmati berbagai kuliner di setiap perhentian, serta kesibukan penumpang yang dengan barang bawaannya.

Generasi ini juga menghadapi kemacetan dan mobil yang tiba-tiba mogok atau harus mengganti ban yang bocor.  Selain itu generasi ini juga merasakan panasnya berada  di dalam bus yang belum dilengkapi teknologi AC, atau menikmati pemandangan indah Selat Sunda saat harus menyeberang di Pelabuhan Bakauheni bagi mereka yang hendak menuju Pulau Jawa.

Sesungguhnya, transportasi mobil sudah umum di Sumatera Barat. Pemerintah Kolonial Belanda memperkenalkan teknologi ini pada awal abad ke-20, namun penggunaannya masih terbatas. Setelah pemerintah kolonial pergi, mobil menjadi pilihan transportasi utama bagi banyak orang. Biayanya sangat terjangkau bagi kalangan menengah ke bawah (Mardanas Safwan et al., 1987). Hal ini memberikan peluang bisnis bagi beberapa orang. Perusahaan Oto (PO) mulai bermunculan. Beberapa di antaranya adalah PO Triarga dan Cemerlang, yang melayani rute Padang-Bukittinggi. Rute Payakumbuh-Padang dikuasai oleh Bintang Kejora, Bunga Setangkai, dan Sinamar. Gumarang, APD, APB, dan Minang Jaya menguasai rute Padang Batusangkar.

Untuk menaklukkan tikungan 44 di rute Lubuk Basung-Bukittinggi, dimiliki oleh PO Harmoni, dan untuk rute dari Lubuk Basung ke Padang, dilayani oleh Dagang Pesisir. Rute Padang-Sawahlunto dan Padang-Sijunjung, yang memiliki beberapa nama seperti ADS, HZN, dan Dasrat, dulunya sangat terkenal. Hal yang sama dialami oleh PO Terang dan Ubani, yang melayani rute Padang-Solok. Salah satu rute yang bertahan lama adalah Painan-Padang, dilayani oleh Guntur Super, Habeco, Erlindo, dan beberapa perusahaan lainnya (Mardanas Safwan et al., 1987).

Untuk Bus Antar Kota Luar Provinsi, diawali oleh PO. Bus NPM. NPM sendiri memiliki akronim untuk Naikilah Perusahaan Minang. Situs resmi NPM, busnpm.com, menyatakan bahwa perusahaan ini didirikan pada masa kolonial, tepatnya pada 1 November 1937. Didirikan oleh Bahauddin Sutan Barbangso Nan Kuniang, seorang pengusaha bendi. NPM melayani rute Padang, Pulau Jawa, dan Jakarta. NPM sudah melayani rute Padang Panjang – Sawahlunto, Padang Panjang – Bukittinggi, dan Bukittinggi – Padang jauh sebelum melayani rute ini. PO Oto, yang hampir seumur dengan NPM, adalah APD (Angkutan Perindustrian dan Dagang). 

Belum ditemukan sumber tertulis yang menyebutkan tanggal pasti berdirinya perusahaan ini. Dilansir dari Haluan.com, PT APD didirikan pada tahun 1930-an dengan nama NV. PPE. APD sebelumnya menyediakan layanan bus umum dan mengantarkan surat serta barang dari Padang Panjang ke berbagai kota di rutenya yang melintasi Padang Panjang, Batusangkar, Sijunjung, Sungai Dareh, Muara Tebo, Muara Bungo, Bangko, Sorolangun, dan Lubuk Linggau. Pada akhir tahun 90-an, APD mengalami penurunan dan menghilang dari keramaian jalur lintas Sumatra. Jika PPE tidak bertahan, ceritanya berbeda dengan PO. ANS didirikan oleh H. Anas St. Jamaris pada tahun 1970. ANS adalah yang telah berhasil melayani rute bukan hanya di Sumatra tetapi juga di Bali. Meskipun telah mengalami pasang surut, perusahaan ini masih eksis dan kini melayani rute di dalam dan di luar provinsi.

Mengikuti jejak bus-bus ini tidak hanya membawa kita kepada kenangan masa lalu, tetapi juga mengarahkan kita untuk melihat lagi bagaimana bus-bus ini telah menjadi saksi bisu perjalanan hidup sebagian orang Minangkabau. Ini adalah cerita tentang bus sebagai sarana transportasi dan perjalanan spiritual yang melahirkan kisah hidup yang tak terlupakan.

Pepatah yang tertanam dalam jiwa orang Minangkabau, mencerminkan kehidupan yang tak terpisahkan dari pencarian jati diri dan  pembuktian kemampuan pada dunia yang lebih luas. Bus-bus yang menemani orang Minangkabau dalam merantau bukanlah hanya kendaraan, mereka adalah pelukis sejarah yang mewarnai halaman kehidupan etnis yang kaya akan nilai dan tradisi. ***



BACA JUGA