Minggu, 21/01/2024 06:31 WIB

Wanita Perkasa Pimpinan Biro Perjalanan Haji

Mbak Dyas mengkoordinir jamaah di Madinah

Mbak Dyas mengkoordinir jamaah di Madinah

ANGIN barat di awal Desember sesekali berhembus, mengabarkan musim gugur yang segera berakhir. Dedaunan meluruh, meninggalkan dahan dan ranting yang meranggas, botak tanpa daun. Burung-burung bermigrasi ke wilayah selatan yang lebih hangat. Manusia di Korea sibuk menyiapkan diri menanti datangnya musim dingin.

Setiap libur musim dingin, Pusat Pelatihan Bahasa di kampus kami menyelenggarakan  kursus bahasa asing untuk pegawai perusahaan swasta yang akan bertugas ke luar negeri. Tersedia paket pelatihan untuk berbagai bahasa; India, Arab, Vietnam, Spanyol, Jerman, Jepang, dan Indonesia. Di tempat inilah pegawai perusahaan swasta, seperti Hana Bank, Samsung, atau Hyundai, yang akan bertugas ke luar negeri dilatih berbahasa asing.

Menjelang libur musim dingin, Prof. Kim Jang-yeun, Kepala Pusat Pelatihan Bahasa, menanyakan kesediaan saya untuk memberikan pelatihan bahasa bagi pegawai perusahaan yang akan bertugas ke Indonesia.  Tugas tambahan itu akan berlangsung selama sepuluh minggu.

“Kalau tidak ada keperluan penting di Indonesia, Bapak ambil saja tawaran itu. Honornya bagus,” usul Prof. Seung-won Song, Ketua Jurusan Bahasa Melayu-Indonesia, kepada saya. Setelah ditimbang-timbang, akhirnya usul Bu Song itu saya terima.

Begitulah, sejak minggu kedua Desember hingga akhir Februari saya memberikan pelatihan di Gedung Pusat Bahasa. Jumlah peserta kursus tidak banyak, hanya empat belas orang.  Setiap hari, di tengah kesepian musim dingin dengan suhu minus empat belas hingga dua puluh derajat, saya berjalan kaki menuju tempat kursus yang terletak di perbukitan.

Salju menutupi apa saja di ruang terbuka. Salju menutupi jalanan, sehingga jalan aspal memutih ditutup salju.  Salju juga menyungkup daun cemara yang tumbuh di taman menuju tempat kursus. Di ujung ranting, salju membeku-kaku mengikuti bentuk ranting pepohonan. Andai saja saat itu saya pilek dan ingusan, barangkali saja ingus yang baru keluar dari hidung segera membeku-kaku disebabkan dinginnya cuaca.

Di akhir Februari, Kepala Pusat Bahasa mengabarkan bahwa uang honorium mengajar telah ditransfer ke rekening saya. Saya mengeceknya ke kantor bank. Ternyata jumlahnya cukup banyak dan jauh di atas perkiraan saya. Ketika berjalan pulang dari kantor bank, tiba-tiba saya teringat usul Ustad Irsyad untuk naik haji dari Korea Selatan. Hari itu juga saya memutuskan untuk berangkat ke Itaewon, lokasi kantor biro perjalanan haji.

Wilayah Itaewon di kota Seoul, bagi kebanyakan wisatawan muslim dari Asia Tenggara dan Tengah, identik dengan masjid dan restoran halal. Masjid Pusat Seoul terletak di wilayah ini. Begitu keluar dari masjid, jamaah disambut restoran halal yang berjejer di sepanjang jalan. Restoran halal itu bermacam ragamnya. Sejak dari masakan Korea, India, Turki, Malaysia, hingga masakan Indonesia. Pemilik toko dan restoran di wilayah ini cukup akrab dengan pengunjung dari Indonesia dan Malaysia. Mereka menyapa kita melalui stiker yang ditempel di kaca depan toko; “Selamat Datang”, “Mari melancong ke Pulau Nami”, ”Di sini terima Ringgit”, Masakan Halal”, dan seterusnya.

Saya berjalan menuju kantor biro perjalanan haji Golden Bridge yang terletak di sebuah ruko di utara jalan. Biro perjalanan inilah yang dimaksudkan Ustad Irsyad bisa memberangkatkan jamaah haji warga asing dari Korea. Ruko ini terdiri dari tiga lantai. Lantai atas untuk tempat tinggal, lantai dasar untuk toko pakaian muslim  dan lantai bawah tanah untuk kantor biro perjalanan haji. 

Biro perjalanan ini dipimpin  wanita  asal Indonesia, Dyastriningrum Subandiati. Biasa dipanggil Mbak Dyas. Wanita bertubuh ramping dengan tinggi sedang ini mudah ditandai dari geraknya yang lincah, dan  selalu memakai jilbab panjang. Orangnya baik dan pintar. Fasih berbahasa Korea, Inggris, dan Arab.

Di kalangan pengurus masjid dan orang-orang Indonesia di Korea, dia cukup dikenal. Bukan saja karena Mbak Dyas menjalankan bisnis biro perjalanan haji dan mengelola restoran, tapi juga karena aktivitasnya dalam berbagai kegiatan masjid. Lainnya, alumni UGM Yogayakarta itu menjadi tempat curhat para pekerja Indonesia di sana. Termasuk para jomblo yang minta dicarikan jodoh.

Hobi utama Mbak Dyas adalah belajar dan belajar. Ia menjalani pendidikan di SMA 8 Yogyakarta. Satu kelas dengan Jenderal (Pol) Listyo Sigit Prabowo, kini sebagai Kapolri. Setamat SMA, dia melanjutkan dan menamatkan kuliah pada dua jurusan berbeda di Yogyakarta. Sehabis itu, dia menyambung program S-2, juga di dua jurusan berbeda dan keduanya  diselesaikannya dengan baik. Setelah itu, ia melamar jadi dosen di FIB UGM, dan dikirim untuk mengikuti program S3 di sebuah universitas di Korea.

Pada tahun 2013, saat kuliah S3 hampir rampung, dia mendapat kerja tambahan yang memungkinkan dia untuk naik haji dari Korea. Untuk pertama kali, Mbak Dyas menziarahi makam ibunya yang wafat di Tanah Suci. ‘Saat di Mekah, saya meminta sesuatu yang tak masuk akal dan keterlaluan; agar Tuhan memberi saya kesempatan naik haji setiap tahun!”ujarnya suatu kali.

Akal manusia sungguh terbatas, sedangkan kuasa Tuhan tanpa batas. Pulang melaksanakan haji pertama itu, ada yang menawarkan agar Mbak Dyas mengelola usaha dan membuka biro haji. Sendirian, Mbak Dyas mengurus semua keperluan usaha itu sejak di Korea hingga Saudi Arabia. Akhirnya, pada 2014, biro perjalanan haji Golden Bridge mulai memberangkatkan jamaah haji dari Korea. Sejak itu, setiap tahun Mbak Dyas berangkat dan memimpin jamaah dari biro haji yang dikelolanya. Tentu juga menziarahi kuburan ibunya. Ternyata Tuhan mengabulkan “doa keterlaluan” wanita perkasa ini. 

Kini Mbak Dyas tinggal di Itaewon untuk mengelola restoran Indonesia-Arab merek Siti Sarah, sebuah toko pakaian muslim, dan biro perjalanan haji. Ia tinggal bersama Adam, anak pertamanya yang sedang kuliah di bidang biomedis. Sedangkan seorang anaknya yang lain, Idris, tinggal bersama mantan suaminya di Irak.

Dasar tak bisa diam, pada awal tahun ajaran 2020 lalu, Mbak Dyas mendaftar untuk ikut program S3 bidang kajian Asia Tenggara di HUFS, Seoul. Maka lengkap sudah dia menjalani pendidikan dalam dua bidang sekaligus, sejak dari S-1hingga S-3.

“Enak gak jadi pengusaha di Korea, Mbak?” tanya saya suatu sore saat kami ngobrol di restoran Siti Sarah.

 “Berat! Jadi pengusaha di sini berat sekali!” jawabnya.

“Bayangkan saja, untuk bisa punya usaha, setiap orang asing  seperti kita harus menyediakan deposit setengah miliar rupiah. Cuma untuk deposit, jaminan. Kalau di Indonesia, dengan uang segitu kita sudah langsung bisa buka usaha.”

“Yang lain?” tanya saya lagi.

 “Aturan kerja dan usaha di sini amat rinci. Dan semuanya harus dijalankan dengan ketat. Sejak dari kesehatan karyawan, bahan masakan yang sehat, sampai drainase, cerobong asap, itu semua diatur,” katanya. Pada kenyataannya, Mbak Dyas berhasil mengatasi kesulitan itu dan mengembangkan usahanya.

Cobaan terbesar datangnya justru dari rekan sesama imigran. Suatu saat, ia membangun usaha bersama seorang asing asal Asia Barat. Setelah beberapa tahun berjalan, rekannya itu melaporkan bahwa usaha yang mereka rintis itu merugi. Anehnya, pada waktu yang berdekatan, rekan kerjanya itu malah membuka restoran baru ditempat lain. Mbak Dyas jadi heran dan mencoba menyelidiki rekan kerjanya itu. Setelah diusut, ternyata rekannya itu mengambil uang dari usaha bersama untuk membangun usaha pribadi, tanpa persetujuan Mbak Dyas.

 “Aku yo kesel, tho! Marah! Kalau dia tak mau bayar, aku lapor polisi saja,” ujar Mbak Dyas.

Sore itu saya mendatangi kantor Mbak Dyas bersama Dr. Sailal Arimi, dosen UGM yang bertugas di tempat yang sama dengan saya. Mbak Dyas dan Pak Sailal kenal baik karena mereka diterima sebagai dosen FIB-UGM dalam periode yang sama. Kami mengobrol di toko pakaian muslim yang terletak di lantai dasar biro haji yang dikelolanya.

Tampaknya, semua kesulitan itu tak membuatnya sedih, apalagi putus asa. Kalau saya ketemu di Restoran Siti Sarah miliknya, ia tetap tersenyum ramah dan menyambut dengan sikap amat sopan. Setelah bercerita beberapa saat, biasanya akan terdengar derai tawanya yang berirama. Ya, tawa Mbak Dyas tendengar bak nyanyian. Mungkin terbawa kebiasaannya menyanyi dan mahir memainkan alat musik.

 Ketika kembali ke Indonesia, baru saya tahu Mbak Dyas ternyata punya keahlian lain. “Hati-hati! Mbak Dyas itu pernah jadi anggota resimen mahasiswa dan penembak mahir yang aktif di Perbakin,” ujar seorang temannya dari Fakultas Geografi.  Oalah, pantasan perkasa.

***

Ada dua kantor biro perjalanan haji di ruko itu. Selain Golden Bridge, adalah lagi Travel One, biro travel haji milik Reda Kenawy, suami Mbak Dyas asal Mesir. Pasar utama biro kedua ini adalah jamaah asal Bangladesh dan Uzbekhistan. Kantornya berada di lantai bawah. Karena kedua biro ini masih ‘satu keluarga’, maka jamaahnya akan berangkat berbarengan. Di Tanah Suci,  akan bergabung lagi jamaah Travel One dari Jepang dan Hongkong. Reda Kenawy sebagai pimpinan Travel One sering harus terbang ke berbagai negara untuk mengurus usahanya ini. Sementara  Mbak Dyas tinggal di Korea mengurus biro haji dan usaha yang lain. 

Kota Seoul diambil dari halaman masjid pusat Kota Seoul

Di ruang yang tak terlalu besar di lantai bawah, saya lihat ada tiga gadis dan seorang pemuda asal Indonesia. Mbak Dyas memberi saya selembar kertas yang berisi persyaratan dan dokumen yang diperlukan untuk setiap jamaah calon haji. Biaya perjalanan haji sebesar 6.500.000 won atau sekitar Rp78 juta. Sedangkan waktu perjalanan selama dua puluh hari pergi-pulang.

Persyaratan utama untuk naik haji dari Korea Selatan adalah memiliki Identity Card (ID Card) yang masih berlaku paling sedikit hingga enam bulan ke depan, serta surat  izin dari instansi tempat bekerja. Saya langsung mengisi formulir pendaftaran haji, dan beberapa hari kemudian melunasi pembayaran biayanya.  Saya hitung-hitung uang yang ada, akhirnya saya memutuskan untuk membadal-hajikan Papa, yang telah meninggal dunia. Biayanya kalau tak salah sekitar tiga juta Won, atau sekitar tiga puluh enam juta rupiah. 

Bagi para pekerja di Korea, tidak begitu mudah mendapatkan izin berangkat untuk naik haji. Bagi perusahaan, memberi izin naik haji sama artinya dengan memberi libur selama satu bulan. Beberapa perusahaan enggan memberi izin selama itu. Mereka harus mengejar target produksi menjelang pergantian musim. Namun demikian, banyak juga perusahaan yang bersedia  memberikan izin setelah mereka tahu makna haji bagi pemeluk Islam.

Waktu Asar sudah masuk. Saya melangkah menuju Masjid Pusat Kota Seoul (Seoul Central Mosque) untuk menunaikan ibadah salat Asar. Usai salat, saya duduk di tengah ruang masjid dengan dinding keramik putih dengan hiasan berpola kubisme. Di antara hiasan itu ada rangkaian lukisan kaligrafi ayat Al Quran bergaya Tsulutsi dengan warna hijau. Karpet hijau polos dengan bulu lembut terhampar sepenuh ruangan yang disangga empat tiang beton besar bercat putih. Di bawah kubah utama masjid terbesar di Korea Selatan itulah untuk pertama kalinya saya melafalkan doa dan meneguhkan niat untuk berangkat haji. (Ivan Adilla, Dosen Jurusan Sastra Indonesia FIB Unand)

BACA JUGA