Jemaah menyimak secara khusuk ceramah seorang ustaz di sebuah masjid di Korea
BISA menonton langsung konser musik K-Pop boleh jadi merupakan satu impian terbesar remaja Indonesia. Artis K-Pop dielu-elukan dengan meriah. Tiket pertunjukan mereka pun selalu diburu. Saat personil Red Velvet mendarat di bandara Soekarno-Hatta, Mei 2023, ruang terminal kedatangan internasional terlihat penuh sesak. Penggemar K-Pop sontak berteriak saat Kang Seul Gi, sang vokalis, melambaikan tangan. Gedung terminal itu seakan mau runtuh oleh gemuruhnya teriakan penggemar K-Pop.
Herannya, ketika anak muda Indonesia merantau dan bekerja di Negeri Gingseng, yang lebih mereka tunggu-tunggu justru tablig akbar, yang menampilkan sederet penceramah kondang. Layaknya artis, para penceramah itu disambut ramai-ramai di bandara. Organisasi masjid bertindak sebagai event organizer untuk mendatangkan Ustad Adi Hidayat, Gus Baha, Yusuf Mansyur hingga Emha Ainun Nadjib. Mungkinkah rantau Korea telah mengubah fans K-Pop menjadi manusia alim?
Gedung tempat tempat pelaksanaan tablig akbar pun selalu penuh. Sehari sebelum acara, jamaah sudah hadir dan menginap di masjid terdekat. Ratusan jamaah dari berbagai kota berbondong-bondong mendatangi tempat acara. Ada yang datang dengan kendaraan sendiri, kendaraan carteran, nebeng teman, dan lebih banyak lagi yang naik kendaraan umum.
Acara tabligh akbar dilaksanakan di lingkungan kampus atau gedung pertemuan. Di halaman didirikan tenda-tenda untuk bazar makanan. Usai acara ceramah, pengunjung menyerbu bazar makanan. Ada yang berjualan sate ayam, empek-empek, ketoprak, batagor, cendol, hingga es teler. Masakan padang yang tersedia adalah nasi rendang. Kemeriahan di area bazar tak kalah dengan acara ceramah.
Karena melibatkan banyak orang dan mendatangkan penceramah asing, acara seperti itu harus dilaporkan dan mendapatkan izin dari pihak keamanan. Saat acara berlangsung, akan ada dua-tiga orang polisi yang mengamati jalannya acara itu. Menjelang acara ceramah dimulai, panitia memberi kesempatan kepada polisi naik ke pentas untuk memberikan sambutan. Setelah itu, polisi-polisi itu akan duduk santai atau mengobrol dengan panitia dan bertanya tentang Islam.
Aktivitas Koperasi Jujur di salah satu sudut kota di Korea
Tak ada Islamophobia di Korea. Setidaknya, saya belum pernah mengalami ataupun mendengar pelecehan terhadap muslim selama di sini. Jika tak menemukan masjid atau musala saat melakukan perjalanan, saya akan salat di mana saja. Begitu terlihat ada ruang bersih yang kosong, saya membentangkan sajadah atau jaket, dan salat dengan leluasan. Kadang saya salat di sudut ruang stasiun bawah tanah, di lorong pertokoan, bahkan di tengah keramaian dekat taman. Tak ada yang mengganggu. Paling-paling hanya ada yang menoleh sejenak.
“Anda sedang apa?” tanya seorang polisi, ketika saya selesai salat Asar di lorong Stasiun Namdaemun.
“Oh, saya baru saja berdoa untuk Tuhan saya”, jawab saya.
“Anda dari mana?”
“Indonesia”
“Oh, muslim, ha? Good..!” ujarnya membungkukkan badan dan berlalu dari tempat itu.
Ironisnya, selagi di Korea, saya membaca berita bahwa di Indonesia ada ustad yang dipukuli orang tak dikenal. Juga ada guru mengaji yang ditangkap dengan dituduh teroris. Ingatrt berita dari tanah air itu, hati saya jadi mengkerut, diiringi rasa segan terhadap perlakuan ramah petugas keamanan di negeri yang sebagian besar penduduknya atheis ini.
Di Korea, Indonesia dikenal dengan keramahannya. Keramahan itu juga yang mengundang bangsa lain untuk mengunjungi masjid yang dibangun pekerja negeri kita di Rantau Semenanjung ini. Di antaranya, orang-orang Uzbekhistan yang menjadi jamaah tetap masjid Indonesia. Kadang jumlah mereka lebih dominan dibanding orang Indonesia. Uzbhekhistan mencakup wilayah Bukhara, daerah asal Imam Bukhari perawi hadits terkenal.
Orang-orang Uzbekh mudah diidentifikasi. Postur tubuh mereka jangkung dengan tulang dan otot yang lebih besar dan tegap. Dagu dan pipi mereka ditumbuhi jambang. Meski jumlah mereka cukup banyak, jamaah Uzbekhistan tidak membangun masjid sendiri. Uzbekhistan dulunya menyatu dalam negara Uni Soviet. Ketika Uni Soviet terpecah, banyak warga yang tak tahu akan bergabung ke mana. Mereka akhirnya memilih status sebagai pengungsi akibat perang. Banyak warga Uzbekhistan, konon, memilih status demikian. Masa berlaku visa pengungsi tidak lama. Hanya sekitar dua tahun saja. Oleh sebab itu, imigran Uzbekh memfokuskan diri untuk bekerja. Untuk beribadah, mereka lebih senang bergabung dengan jamaah Indonesia.
Seorang kenalan saya asal Uzbkhistan bernama Ismael, lelaki berjambang lebat dengan rambut ikal. Kami sering bertemu di Masjid Ikhlas di Yongin. Ismael berasal dari sebuah desa yang tak jauh dari Bukhara, wilayah kelahiran Imam Bukhari. Ismael datang ke Korea sejak dua tahun lalu, dan bisa berbahasa Korea dengan lancar.
Selepas salat Magrib, saya bertemu Ismael di masjid. Lelaki dua puluhan tahun itu mengenakan kaos lengan panjang. Di punggung belakang bajunya tertera nama perusahaan tempat ia bekerja. Rupanya Ismael baru saja pulang dari tempat kerjanya, sebuah proyek pembangunan gedung bertingkat.
Selain Ismael, senja juga ada Deden, mahasiswa jurusan Informatika di Yongin Unversity asal Jawa Barat. Bertiga kami duduk sambil mengobrol di bagian belakang tempat salat. Kang Deden yang fasih berbahasa Korea, bertindak sebagai penerjemah untuk saya. Pertemuan senja itu saya manfaatkan untuk menanyakan hal yang lama menggenang di benak saya; kenapa orang-orang Uzbekh senang bergabung di masjid Indonesia?
“Indonesia dan Uzbekhistan punya sejarah persaudaraan yang panjang...” jawab Ismael memulai kisahnya. Persaudaraan itu telah dimulai pada tahun 1960-an, ketika Uzbekhistan masih menjadi bagian dari negara Uni Soviet. Saat itu dunia sedang dilanda perang dingin. Bumi terbelah dalam dua blok ideologis utama. Pertama adalah blok barat yang dipimpin Amerika Serikat yang liberal dengan ideologi kapitalis. Kedua adalah blok timur yang dipimpin Uni Soviet dengan prinsip komunis dan ideologi sosialis. Kedua kekuatan itu saling berebut pengaruh untuk mendapat dukungan dari negara lain.
Untuk memperbanyak sekutunya, Presiden Nikita Kruschev asal Soviet mengundang Presiden Sukarno untuk berkunjung ke negerinya. Presiden Sukarno bersedia memenuhi undangan itu dengan satu syarat; Kruschev harus bisa menemukan makam Imam Bukhari karena ia ingin berziarah ke sana. Sebagai negara komunis, tentu saja pemerintahan Soviet tidak peduli dengan sosok ulama penting itu. Sejalan dengan ideologi komunis, Soviet bahkan berusaha menghapus jejak para ulama.
Kruschev menganggap kedatangan Sukarno amat penting dalam usahanya mengimbangi pengaruh Amerika Serikat di Asia Tenggara. Maka ia memerintahkan pasukannya untuk menemukan makam Imam Bukhari. Setelah melakukan dua kali pencarian, akhirnya pasukan Kruschev berhasil menemukan makam itu di daerah Samarkand, dekat sebuah masjid kecil yang terlantar.
Kruschev segera memerintahkan agar makam itu dibersihkan dan direnovasi. Begitu renovasi selesai, barulah Presiden Sukarno datang untuk memenuhi undangan Presiden Kruschev. Penemuan kembali makam Imam Bukhari mengembalikan kebanggaan dan jati diri masyarakat Uzbekh.
“Makam Imam Bukhari ditemukan berkat jasa Presiden Sukarno. Kami, masyarakat Uzbekhistan, amat berutang budi pada Indonesia,” jelas Ismael.
Atas inisiatif Presiden Islam Karimov, pada 1998 kompleks makam Imam Bukhari dibangun kembali. Bagi Ismael, kisah yang disampaikan nenek moyangnya adalah kebenaran yang ia yakini.
“Telah berabad-abad sang Imam wafat, tapi marwahnya masih tetap hidup. Makam Imam Bukhari kini menjadi salah satu tempat tujuan wisata favorit di daerah saya,” ujar Ismael.
Di Indonesia, beberapa sejarawan meragukan kebenaran peristiwa di atas, terutama soal waktu dan ketepatannya. Di negeri ini, jangankan kiprah warganya di negeri lain, jasa pahlawan di negeri sendiri pun sering dilupakan. Museum tak terurus, kisah kepahlawanan tak pernah diup-date dan para penguasa sibuk membangun pencitraan sebagai orang paling berjasa. Maka perdebatan soal jasa Sukarno dalam penemuan makam Imam Bukhari itu tidaklah mengherankan. (Ivan Adilla, Dosen Jurusan Sastra Indonesia FIB Unand)