
Rusli Marzuki Saria Foto Fatris
Hari ini, Rabu, 26 Februari 2020, Rusli Marzuki Saria berusia 84 tahun. Sampai hari ini masih sehat dan tetap menjalankan aktivitas rutinnya, jalan pagi. Pada Senin malam, 24 Februari 2020, sosok bersahaja yang disapa siapa saja dengan Papa ini masih ikut serta memeriahkan acara “Poelang Kampus, Poelang ke Ragi” perjalanan kultural sastrawan Irman Syah bersama kita puisi Rohmantik karyanya di Kampus FIB Unand.
Ia lahir di nagari yang terkenal dengan nilai heroiknya: Nagari Kamang Mudik, Tilatang Kamang, Agam, pada 26 Februari 1936. Saat kolonialisme masih bercokol, masyarakat Kamang dengan kegigihannya melawan penindasan kolonial Belanda.
Rubrik JANO sumbarsatu edisi ini menurunkan tulisan tentang perjalanan kepenulisan Rusli Marzuki Saria.
JANO dalam bahasa Minangkabau berarti pikiran, pangana seseorang tentang sesuatu yang didalaminya atau profesinya. Rubrik ini membentangkan secara panjang lebar dan mendalam jano seseorang sesuai dengan latar dan kompetensinya. Penulisannya bisa dengan bentuk wawancara atau deskripsi-naratif. Kehadiran sosok yang ditampilkan tidak berkala. Ia bisa hadir kapan saja. Yang ditonjolkan kepermukaan ialah pikiran ata janonya. Selamat membaca. Semoga bermanfaat. Redaksi
-------------------------------------------------------------------------------------------------------
Satu hal yang inheren terkait dunia kepenulisan yang ditekuni Rusli Marzuki Saria, dirinya lebih dulu mengenal dunia sastra (fiksi) ketimbang jurnalistik (fakta). Kendati begitu, mengenal sastra lebih awal, ternyata membuat dirinya “kuat” saat memasuki kepenulisan jurnalistik di dunia pers.
Harian Haluan yang legendaris itu, salah satu surat kabar yang berkontribusi besar terhadap sejarah kepenulisan sastra di Sumatra Tengah (Sumbar, Riau, Jambi, Bengkulu, kini ada Kepri), identik dan menyatu dengan perjalanan kariernya di media ini. Rusli Marzuki Saria sukses merawat “lahan imajiunatif” dengan rubrik-rubrik budaya yang diterokanya di Harian Haluan, seperti “Remaja Minggu Ini”, “Sastra dan Budaya” yang terbit pada hari Selasa, cerita silat bersambung, ceita nonsilat, esai-esai, dan lainnya. Loyalitasnya terhadap Harian Haluan, ia buktikan tak pernah pindah media bekerja ke media lainnya hingga pensiun pada Juli 1999.
Rusli Marzuki Saria sudah berkiprah di kepenulisan fiksi sejak di bangku Sekolah Menengah Atas (SMA) Bagian "A" Sandhyakala, tepatnya di gedung PSM Atas Ngarai Bukittinggi, sekarang.
“Sekira tahun 1956, saya sudah mulai mengirimkan karya saya ke majalah kebudayaan yang terbit di Jakarta, seperti majalah Konforontasi dan Indonesia. Ada beberapa puisi saya yang dimuat di sini,” kata Rusli Marzuki Saria, dalam perbincangan santai di rumahnya Wisma Warta Padang, pekan lalu.
Di dunia jurnalistik, dengan loyalitas penuh di Harian Haluan, Rusli Marzuki Saria pernah menerima todongan pistol dari oknum ABRI terkait masalah pemberitaan.
Mamasuki era pergolakan semasa Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI), pascaultimatum yang dikeluarkan Letnan Kolonel Achmad Hussein, Ketua Dewan Perjuangan yang ditujukan kepada pemerintah pusat pada 15 Februari 1958, suasana daerah kian memanas.
“Sebagai anggota Mobilele Brigade (Mobbrig) saya sudah mulai dinas ke sana ke mari. Saat PRRI meletus saya mengungsi ke Koto Gadang bersama staf Koordinator Mobbrig Korps 106 Sumatra Tengah. Komandan Koimob 106 waktu itu adalah Komisaris Polisi Amir Sunaryo, yang tindakan sehari-harinya memihak pusat, artinya memihak pemerintahan Menteri Djuanda dan Presiden Soekarno,” terangnya.
Rusli Marzuki Saria saat itu ditugaskan sebagai staf Resimen Divisi Banteng di Jalan Lambow Bukittinggi. Komadan Resimen Divisi Banteng di Bukittinggi waktu itu Major TNI Sjofyan Ibrahim.
Kota Bukittinggi ditinggalkan oleh pasukan-pasukan yang pro-PRRI. Rusli Marzuki Sari sebagai anggota Mobbrig dalam Kompi Mahasiswa Mawar yang dipimpin Zaidal Baharuddin ikut mundur dari Kota Bukittinggi ke Bukik Kulirik Koto Tangah Tilatang.
Selepas PRRI, setelah pemerintah pusat mengeluarkan amnesti, Rusli Marzuki Saria dikenakan wajib lapor ke Kantor Kodim di Bukittinggi. Setelah itu, dia meninggalkan Kota Bukittingi menuju Kota Padang dengan kartu penduduk yang dilabeli warna merah dengan tulisan “tidak boleh meninggalkan daerah”.
“Saya ke Padang, ketika itu surat kabar Res Publika sudah terbit, Nasrul Siddik, teman saya di PRRI, sudah jadi wartawan disana. Koran Res Publika punya lembaran kebudayaan yang digawangi Nasrul Siddik. Saya menulis puisi di koran ini,” cerita Rusli Marzuki Saria.
Pasca-PRRI memang banyak surat-surat kabar baru yang terbit, antara lain Aman Makmur, Suara Persatuan, dan lainnya. Sementara harian Haluanyang terbit pertama kali tahun 1948 dan diberedel pemerintah pusat karena ditengarai mendukung PRRI, belum juga bisa diterbitkan. Haluan dilarang terbit selama 10 tahun sejak 1958-1968.
Di Kota Padang, Rusli Marzuki Saria banyak bergaul dengan wartawan dan budayawan, dan juga sastrawan, antara lain Nazif Basir, Nasrul Siddik, Chairul Harun, Leon Agusta, AA Navis, serta lainnya.
Sementara itu, Rusli Marzuki Saria belum berprofesi sebagai wartawan, tapi tetap menulis puisi dan karya sastra lainnya. Untuk menyambung hidupnya di Kota Padang, dia bekerja sebagai tenaga tata usaha di Koperasi Batik Fajar Putra. Koperasi ini satu-satunya koperasi batik luar Jawa yang menjadi anggota GKBI (Gabungan Koperasi Batik Indonesia). Dia berkerja di sini sejak 1962 hingga menyatakan berhenti pada 1969, dan memilih profesi sebagai wartawan.
Sekira April 1969, A Kasoema pemilik harian Haluan menawarkan dan mengajak Chairul Harun, Syafri Segeh, Rusli Marzuki Saria, Leon Agusta, Annas Loeboek, Sy. Dt.Tuo F untuk menerbitkan kembali harian Haluan. Tawaran yang dinilai menarik penuh tantangan dari A Kasoema ini, mereka sambut gembira. Admistrasi dan kelengkapan sebuah penerbitan surat kabar disiapkan. Sebulan disiapkan, tepat pada tanggal 1 Mei 1969, harian Haluan lahir kembali dengan sambutan publik yang mengembirakan.
Beberapa bulan sebelumnya, tepatnya 18 Desember 1968 mingguan Singgalang terbit pertama kalinya yang dipelopori Nasrul Siddik, Salius Sutan Sati, Nazif Basir dan Basril Djabar.
Ditodong Pistol
Pertama kali bekerja di surat kabar Haluan, Rusli Marzuki Saria ditugaskan sebagai Sekretaris Redaksi Haluan. Dirinya bersentuhan dengan dapur redaksi dan mengatur lalu lintas penugasan wartawan, dan tentu bertugas dalam pencatatan honorarium wartawan.
Galibnya surat-surat kabar, orang pertama yang menerima komplain dari narasumber berita atau pihak yang merasa kurang senang dengan pemberitaan ialah Sekretaris Redaksi.
Dikisahkan Rusli Marzuki Saria, semasa jadi Sekretaris Redaksi di Haluan, bisa dikatakan dalam satu pekan itu, ada-ada saja yang datang ke kantor dengan pelbagai perilaku.
“Ada yang datang ke kantor sambil membentak-bentak dan marah. Dan bertanya sembari menghardik, Siapa yang menulis berita ini? Mana wartawannya!” kisahnya.
Ada lagi peristiwa yang hingga kini sulit dilupakannya, yaitu saat dirinya mendapat ancaman todongan pistol di kepalanya dari seorang oknum tentara ABRI (semasa Orde Baru masih bernama ABRI), yang memaksanya untuk menyebutkan sumber berita dan wartawan yang menulis berita terkait dengan sepak terjang oknum militer itu.
“Oknum tentara dari ABRI itu menodongkan pistol ke kepala saya. Dia datang ke kantor Haluan di Jalan Koto Marapak pagi-pagi sekali. Tapi saya maklum karena saat itu Sumatera Barat baru lepas dari suasana PRRI dan masih berbau mesiu senjata. Selain itu, Haluan sendiri pernah memihak PRRI,” cerita sosok yang masih berenergi.
Selain banyak meliput peristiwa-peristiwa budaya dan sastra, Rusli Marzuki Saria pernah ditugaskan meliput di Pengadilan Negeri Padang. Dirinya sangat kenal dengan Humas Pengadilan Negeri saat itu, yaitu Asma Samiak Ibrahim, SH. Sebagai Humas, dia sangat telaten melayani pertanyaan wartawan.
“Jika ada kasus dan perkara yang rumit dan perlu pendalaman, biasanya kasus kriminal dan perzinaan, Asma akan berkata: “Baca sajalah BAP-nya! Kalimat ini jadi pemeo di lingkungan wartawan yang bermarkas di kantor ini,” ujarnya.
Kemampuannya dasar menulis yang dia miliki tak begitu menyulitkan dirinya sebagai jurnalis. Pada 1971, Rusli Marzuki Saria dipercaya sebagai penanggung jawab rubrik “Sastra dan Budaya” di surat kabar tempatnya berkarier harian Haluan.
“Saya tak pernah bayangkan menjadi penanggung jawab dan bekerja menyeleksi tulisan-tulisan yang berkaitan dengan fiksi dan pemikiran budaya di sebuah surat kabar sebesar Haluan,” ujar Rusli Marzuki Saria yang namanya berinisial “RMS” dalam tulisan reportasenya.
Rusli Marzuki Saria menangani dua rubrik, yakni “Remaja Minggu Ini” (RMI) dan “Budaya Minggu (BM).” Dua rubrik ini cukup fenomenal dalam kancah kepenulisan, terutama di Provinsi Smatera Barat, Riau, Bengkulu, dan Jambi. Dua rubrik ini tak pernah berpindah tangan sampai Rusli Marzuki Saria pensiun dari harian Haluan pada 1999. RMI terbit setiap hari Minggu, sedangkan BM hadir setiap Selasa.
Selain mengasuh dua rubrik itu, Rusli Marzuk Saria, secara regular juga bertanggung jawab sebagai managing editor, yang tugasnya menyortir berita-berita nasional dan internasional yang bersumber dari kantor-kantor berita internasional seperti BBC, VOA, dan berita Radio Australia. Berita-berita itu dikirimkan lewat radiogram, teleks, telefaks, dan lainnya.
Pada tahun 1977, selama 2 bulan Rusli Marzuki Saria mendapat tugas liputan latihan perang Angkatan Laut Indonesia-Australia di Laut Karang Pasifik. Perjalanan reportasenya dilanjutkan mengunjungi Kota Cairns dan Townsville yang merupakan sebuah kota di Australia di bagian timur laut negara bagian Queensland. Lalu dia menuju Kota Dilli Provinsi Timor-Timur (saat masih dalam NKRI), menulis laporan tentang berbagai hal yang humanis terkait dengan konflik di provinsi termuda di Indonesia itu. Kota Kupang di Provinsi Nusa Tenggara Timur pun tak luput dari perhatiannya.
Pada tahun 1984 berangkat ke Jerman Barat atas undangan Kedutaan Besar Jerman Barat. Dia datang mewakili harian Haluan. Banyak kota di Jerman Barat ini didatanginya. Selain Haluan, banyak surat kabar lainnya yang diundang Pemerintah Jerman Barat. Era ini, karier Rusli Marzuki di dunia kewartawanan terus bersinar. .
Selain meliput ke luar negeri, hampir semua kota-kota di Indonesia sudah ia kunjungi, baik untuk keperluan liputan, diundang untuk menghadiri berbagai kegiatan kewartawanan, juga memberi materi pelatihan wartawan.
Semasa meniti karier sebagai wartawan, Rusli Marzuki Saria telah mengikuti Karya Latihan Wartawan (KLW) yang digelar pada tahun 1973, KLW XVI di Jakarta 1978, KLW di Medan, KLW di Jogjakarta pada 1991 dan 1992. Dia pernah masuk 10 besar terbaik di lingkungan wartawan dalam penataran P-4 pola 120 jam di Padang.
Parewa Naik Haji
Pada tahun 1997, Rusli Marzuki bersama istrinya menunaikan ibadah haji. Selain beribadah haji, dia juga menuliskan laporan perjalanannya ke Tanah Suci yang rubriknya diberi nama “Parewa Naik Haji” di harian Haluan. Pembacanya merasa cukup senang dengan rubrik ini.
Selain itu, dalam organisisi profesinya, yaitu Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), Rusli Marzuki Saria termasuk salah seorang wartawan yang sangat loyal terhadap harian Haluan. Semenjak dia masuk Haluan pada 1 Mei 1969 hingga pensiun pada Juli 1999, tak pernah beranjak atau pindah ke media atau surat kabar lainnya.
Perjalanannya selama 30 tahun mengarungi dunia kewartawanan, telah mengantarkannya banyak menerima ganjaran atas capaian dan prestasinya.
Bentuk penghargaan atas pengabdiaan dan kesetiannya pada dunia kewartawanan Rusli Marzuki Saria menerima apresiasi antara lain Piagam Penghargaan 30 Tahun Kesetiaan Profes dari PWI Pusat pada 2006, Penghargaan Tuah Sakato atas karya, prestasi dan dedikasi yang berguna bagi daerah dan masyarakat Sumatera Barat dan dapat diteladani dari Pemerintah Provinsi Sumatera Barat. Pemerintah Jerman Barat memberikan penghargaan dari Friedrich Ebert Stiftung (FES) pada 22 September 1978 untuk Rusli Marzuki Saria.
Dalam organisasi pers, Rusli Marzuki Saria pernah menjadi Wakil Bendahara PWI Sumbar tahun 1975-1980, bendahara (1980-1984), dan Ketua I Bidang Organisasi (1984-1988), dan mengikuti Kongres PWI di Menado tahun 1983.
Kendati Rusli Marzuki Saria sudah pensiun dari Haluan, dia tetap setiap Minggu mengisi rubrik “Parewa Sato Sakaki” yang menggunakan bahasa Minang dengan beragam dialek. Rubrik ini dirawatnya selama 8 tahun sejak 1999 hingga 2007.
Sebagai salah seorang yang ikut berperan menerbitkan kembali Haluan setelah dilarang pemerintah selama 10 tahun, Rusli Marzuki Saria yang punya saham sebagai salah seorang pendiri, menjualnya kepada ahli waris A Kasoema.
“Sebelum Haluan dijual ke Basrizal Koto pada tahun 2010, saham saya sebagai pendiri saya jual ke pemilik Haluan,” kata Rusli Marzuki Saria.
Dia mengaku hingga kini terus membaca, menulis, membaca karena tak ada kata berhenti belajar bagi seorang wartawan. “Bagi wartawan berlaku belajar sepanjang hidup.”
Merawat Kemudaan di Usia Senja
Buku kumpulan puisi Rusli Marzuki Saria One by One Line by Line, bilingual diterbitkan Kabarita Padang (2014), meraih hadiah sastra bergengsi, yang juga disebut “Nobel Sastra”nya Asia Tenggara, pada tahun 2017. Tapi, hingga kini, Rusli Marzuki belum menerima “SEA Write Award 2017” dari Kerajaan Thailand. Penghargaan ini rencananya akan diserahkan pada Oktober 2017 tapi karena alasan yang belum diketahui dari pihak panitia, sosok yang akrab dipanggil “Papa” hingga kini masih bersifat menunggu informasi lebih lanjut.
“Inilah puncak capaian Papa Rusli Marzuki Saria, salah seorang sastrawan dan budayawan Sumatera Barat yang membanggakan kita,” kata Yusrizal KW, pendiri penerbit Kabarita, yang juga seorang sastrawan itu.
Pada tahun yang sama, Rusli Marzuki Saria juga menerima Penghargaan Sastra Indonesia 2017 dari Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud).
Pada tahun 2017, esai berbahasa Minangkabau yang ia tulis setiap Minggu di Harian Haluan sejak tahun 2000-2007 dalam rubrik “Parewa Sato Sakaki” diterbitkan Kabarita Padang menjadi sebuah buku yang cukup tebal 600 halaman.
Ayahnya bernama Marzuki—seorang kepala nagari yang juga punya usaha bendi—dari kalangan terpandang di kampung. Ibunya bernama Sarianun. Marzuki mempunyai 23 orang istri dengan 17 orang anak.
Dari 17 orang itu, Rusli satu-satunya anak laki-laki. Ia jadi mamak tunggal dalam keluarga besar itu. Sedangkan Sarianun, ibu Rusli adalah istri yang ketujuh Marzuki dikarunia 3 orang anak. Rusli anak tertua dengan dua adik perempuan.
Papa menikah dengan Hanizar Musa—gadis yang dikenalnya pada masa PRRI—4 Mei 1963 yang perhelatannya dilakukan di Kamang, kampong halamannya. Pasangan ini dikaruniai empat orang anak: Fitri Erlin Denai, Vitalitas Vitrat Sejati, Satyagraha dan Diogenes: 2 laki-laki dan 2 perempuan.
“Keempat anak saya tamat di Perguruan Tinggi tapi tak ada yang mengikuti jejak ayahnya sebagai penulis. Semua sudah berumah tangga dan saya sudah punya 10 cucu,” kata Rusli Marzuki Saria, yang hingga kini selalu ikut menghadiri kegiatan sastra yang dilakukan anak-anak muda di Sumatera Barat.
Sosok yang akrab dengan anak muda ini menamatkan SR di Labuah Silang, Kota Payakumbuh.
Kini, pada usia 84 tahun itu, Rusli saban hari mengisi waktunya dengan membaca, menulis, dan jalan pagi. Kamarnya dengan satu dipan “bujangan” disesaki buku, majalah, surat kabar, kliping-kliping, serta meja kerjanya. Di atas mejanya itu pula, ada dua peradaban sedang bekerja saling mengisi: mesin ketik dan laptop.
“Bagi wartawan, menulis, membaca, dan terus belajar berlaku sepanjang hidup,” katanya. “Agar hidup tetap hidup, jaga kebugaran tubuh dengan berjalan pagi. Wartawan identik dengan kemalasan mengeluarkan keringat, itu sikap hidup tidak benar. Ubah itu. Jalan-jalanlah sepanjang pagi sehingga bawaan kita penuh riang gembira dan segar,” tambahnya menyindir banyak penulis dan wartawan yang malas bangun pagi dan berolahraga.
Melewati usia 84 tahun, Papa, begitu setiap orang memanggil Rusli Marzuki Saria ini, sebuah sapaan yang sangat familiar dan akrab, bukan membuat dirinya merasa pikun dan lelah. Ia masih energik. Berapi-api jika bicara tentang novel Ibunda Marxim Gorky terjemahan Pramoedya Ananta Toer.
“Novel Ibunda sangat menginspirasi saya. Saat bergolak semasa PRRI, buku ini selalu saya bawa. Buku ini harta saya yang sangat berharga,” kata Papa.
Tentu, sangat romantik berbicara tentang puisi Huesca karya Rupert John Cornford terjemahan Chairil Anwar, puisi aslinya berjudul To Margot Heinemann.
“John Cornford gugur sehari setelah ulang tahunnya yang kedua puluh satu di Front Cordoba pada 28 Desember 1936, di tahun yang sama saya lahir,” kisah Papa bersemangat.
Kerena begitu berartinya baginya puisi John Cornford itu, ia pun memasukkannya dalam bukunya Monolog dalam Renungan.
Dalam dunia politik, ia pernah menjadi anggota DPRD Padang untuk periode 1987-1992 duduk di Komisi Pembangunan. Dalam menjalankan aktivitasnya sebagai anggota DPRD, Rusli tetap kelihatan sebagai seorang penyair. Dalam beberapa sidang ia kerap membaca puisi. Di antara pusi yang dibacakannya adalah Rakyat karya Hartono Andangjaya. Di tengah kesibukannya sebagai wakil rakyat, Papa tetap menulis puisi. Di antaranya, Sang Waktu Berbisik Aku Mengangguk, Wang 100 Ribu Rupiah Per Desa dan Mentawai Bisa Tenggelam.
Kendati 84 tahun gayanya masih terlihat bak 60 tahunan. Sehari-hari selalu mengenakan celana jeans Levi’s dipadu dengan kemeja, tapi lebih sering kaus oblong. Klimis. Tapi suatu kali, pernah Papa memanjangkan jambangnya, katanya pengen seperti Fidel Castro, Presiden Kuba sejak 1976 hingga 2008.
Terkait makanan, ia sangat menggemari goreng dan rendang belut. Terkadang, jika ke Bukittinggi, ia tak lupa memesan dadih, sejenis susu kerbau yang difermentasikan.
“Papa berhenti merokok tahun 1976. Menjaga kesehatan sangat multak. Berolahraga kuncinya,” kata Papa.
Di organisasi dewan kesenian, sebuah lembaga yang dibiayai pemerintah daerah sebagai wadah seniman dan budayawan, Papa ikut menggerakkannya. Karena ketegasannya dalam pemakaian dana dan ketelatenan menyusun laporan, ia selalu dipercaya sebagai bendahara.
Saklek dalam Keuangan
Tiga periode kepengurusan Dewan Kesenian Sumatera Barat (DKSB), posisi bendahara tak tergantikan. Periode pertama DKSB semasa kepengurusan AA Navis, Edy Utama, dan Ivan Adilla, ia menempati bagian kepeng-kepeng ini.
Pengalaman yang mengesankan ialah, ketika anggaran kegiatan DKSB dialokasikan Pemprov Sumbar sebesar Rp75 juta. Saat itu—setelah tetek bengek administrasi diselesaikan—tiba-tiba seorang oknum pegawai di Kantor Gubernur memberikan sinyal, jika dana lekas cairnya, DKSB harus “meninggalkan” uang “lelah” sebesar Rp5 juta tentu saja tanpa kuitansi. Orang ini mengatakan, “pertanggungjawabannya” terserah DKSB.
Akhirnya saat juga, DKSB sepakat untuk tidak bisa meninggalkan uang sebesar itu dengan konsekuensi dana yang seyogyanya bisa digunakan untuk program DKSB, tak bisa dimanfaatkan dalam waktu dekat. Saat itu, Papa sebagai bendahara mengaku tak bisa mencarikan kuitansi kosong untuk menutupi dana yang diberikan kepada orang-orang Kantor Gubernur itu.
Untuk laporan pertanggungjawaban keuangan, Papa terkenal sangat saklek dan disiplin. Lima rupiah saja, ia tak mau meleset dan harus ada bukti pengeluaran yang jelas. Maka, tak heran, setiap menyerahkan laporan keuangan ke Kantor Gubernur, laporan DKSB di tangan Papa tak pernah bermasalah, kendati bentuk laporannya sangat konvensional sekali.
Sekali berjumpa dengannya, saat itu juga kita seperti berada pada sebuah keluarga yang familiar. Dan dengan tawa khasnya, “hi hi hi…” pasti ia kerap akan mengajak untuk menulis…”Cobalah menulis apa saja yang dirasakan…jangan takut-takut…” Demikian selalu ia sampaikan kepada orang-orang muda yang berkeinganan menulis.
Lalu, yang menjadi khas Papa adalah bersiul. Siulnya menyanyikan lagu perjuangan yang hingga kini, ia pun tak tahu apa judulnya. Mungkin siul mengusir sepi saat ijok masa PRRI dulu.
Kurenah “Parewa Sato Sakaki”
Saya tulis tentang Rusli Marzuki Saria, bukan dari sisi proses kreatif sebagai penyair. Bagian ini sudah jamak ditulis. Saya coba membaca “Papa”—demikian ia akrab disapa siapa saja—dari rubrik “Parewa Sato Sakaki” yang terbit di Harian Haluan. Kolom tetap yang ia rawat setiap Minggu hadir dalam rentang sejak 2000-2005. Lebih kurang lima tahun. Jika rata-rata setahun ada 50 tulisan, maka esai itu paling tidak kini ada sekitar 250-an.
Saya pernah menyelaraskan tulisan-tulisan ini sekitar tahun 2002. Rencananya, “Parewa Sato Sakali” ini akan diterbitkan. Untuk penyuntingan umum, informasi dari Rusli, sudah dilakukan Eva Krisna, peneliti di Balai Bahasa Sumatera Barat, tapi belum diklasifikasikan menurut tema esai yang ditulis.
Sekalian menataletakkan esai-esai itu untuk keperluan cetak, saya mengelompokkannya menjadi beberapa kategori sesuai konten tulisan, yakni: Pasca-Kemerdakaan, PRRI, Orde Lama, Orde Baru, dan Orde Reformasi.
“Buku” ini telah diberi pengantar yang kritis oleh Prof Umar Junus dari Universiti Malaya. Umar Junus putra Sumatera Barat kelahiran di Silungkang pada 2 Mei 1934 dan meninggal di Kuala Lumpur, Malaysia, pada 8 Maret 2010. Pengantar ini cukup panjang dan menarik.
Dalam pembacaan saya, “Parewa Sato Sakaki”, adalah catatan “sejarah” yang ditulis dalam perspekstif kultural Minangkabau oleh seorang yang berada dalam empat dasawarsa di kancah zamannya. Tepatnya, catatan seorang penyaksi dengan memosisikan parewa sebagai “pelaku” setiap peristiwa. Tokoh sentral dalam kisah yang ditulis adalah “Parewa”.
Menarik lagi, tulisan ini dilahirkan setelah Presiden Soeharto yang represif selama 32 tahun berkuasa, tumbang. Rusli melahirkan kolom ini pada 2000. Ini artinya, setelah dua tahun Soeharto jatuh, Orde Reformasi. Lalu, muncul pertanyaan: apa sebabnya Rusli menghadirkan tulisan-tulisan dalam di “Parewa Sato Sakaki”, yang sebagian cukup kritis ini setelah Orde Baru tenggelam? Tentu, selain penulisnya sendiri yang tahu alasannya, paling tidak setelah Orde Barulah ruang kebebasan ekspresi terbuka seluas-luasnya. Jika ditulis saat kekuasaan Orde Baru sedang kuat-kuatnya, mungkin penulisnya sudah berurusan dengan intel.
“Parewa Sato Sakaki” yang ditulis dengan beragam dialek bahasa Minang ini, bagi saya bukan semata catatan rutinitas untuk memenuhi halaman surat kabar. Tapi lebih dalam dari itu adalah “berkas” penting dari seorang panyaksi peristiwa dan perubahan sosial-budaya-politik perjalanan bangsa ini, yang ia kini sudah memasuki usia 80 tahun.
Mengutip Umar Junus dalam pengantarnya, dengan menokohkan “Parewa”, Rusli bermain dengan ambiguity tentang posisi sosial seorang parewa dalam masyarakat Minang.
Parewa, kata Umar Junus, biasa dicurigai karena lebih dikaitkan dengan kehidupan tanpa tujuan. Hanya ikut-ikutan–bauru-uru. Dan bukan tak mungkin keterlibatan Parewa dalam PRRI karena ikut-ikutan. Tapi parewa juga punya sisi positif. Ia selalu tampil sebagai penjaga keutuhan nagari dan sistemnya, yang juga terlihat pada peran Parewa dalam “Parewa Sato Sakaki” ini.
Kendati begitu, terlepas dari apa yang menjadi catatan Umar Junus itu, tema yang diangkat Rusli Marzuki Saria dalam “Parewa Satu Sakaki” sangat beragam dan variatif, malah mengandung nilai sejarah walau berangkat dari memori personal penulisnya.
Sebagai pelaku sejarah meletusnya Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) yang dideklarasikan pada tanggal 15 Februari 1958 dengan mengultimatum Pemerintah Pusat oleh Dewan Perjuangan, kumpulan tulisan ini menjadi punya makna penting.
Dalam salah satu tulisan berjudul “Daroping Sanjato Indak Jadi”, dengan latar cerita peristiwa PRRI, tampak Rusli begitu fasihnya mengisahkan secara detil kisah perang saudara itu.
“Mai 1959 ….
(Nostalgia). Parewa baru baumua 23 taun. Jo tinggi badan 161 cm, barek 53 kg, bidang bau nan agak laweh karano taruih tiok pagi naiak reng stok. Sakaciak angkek barbel, suko olahraga, labiah-labiah jalan kaki tiok pagi.
Parang sudaro sadang bajadi-jadi. Ado tantara pambarontak nan panakuik, ado pulo nan suko parang, walaupun inyo indak banomor register Pusaik (NRP), tapi sumangeknyo untuk baparang jo badia amburuh polisi model kuno. Badia amburuh nan dipakai dek upeh Kurinci taun 40-an. Bakokang ciek-ciek, jo paluru 7,7.
“Basah sarawa Mak Mantari ko,” sogah Parewa, kutiko tantara Soekarno, Tantara Pusaik masuk Gaduik taruih ka Kaluang. Capuang (kapa tabang nan tabangnyo sarupo sipatuang) nan mairiangi Tantara Pusaik, alah tadanga ngengeknyo. Sabanta alah tadanga bunyi mortir 8 inchi.
“Tantara Pusaik masuak, Tantara Pusaik masuak!” Tadanga pupuik tanduak jo tontong basaui-sauik-an. Banyak pangungsi babondong-bondong mambao arato nan ado di badan. Daripado manyarah ka OPR, labiah baiak awak bunuah diri. Itu pendirian pengungsi nan rami tu...”
Di sini jelas bagaimana posisi Rusli Marzuki Saria melihat keberadaan OPR (Organisasi Pemuda Rakyat), yang pada saat PPRI meletus menjadi “tukang tunjuk” atau mata-mata tentara pusat. Fakta sejarah tentang OPR yang terus berkembang pesat hingga meletusnya peristiwa PKI pada 1965, mempertegas pendukung PRRI sangat antikomunis.
Selain itu, Rusli Marzuki Saria juga menyoroti perubahan sosial dan budaya, serta gaya hidup kaum remaja. Dalam tulisan “Di Lembah Anai”, ia menulis begini.
“Apo di waang?”
“Singgah subanta.”
“Aden pai sikola!”
“Bokap den lupo mambari kepeang.”
“Nyokap den pai ka pasa pagi.”
“Karanonyo, aden indak sarapan pagi ka pai sikola.”
Parewa sanang jo baaso anak-anak mudo. Anak-anak jolong gadang. Inyo eksis jo dunianyo sandiri. Dek sari inyo baaso lu jo gua, kini alah batuka aden jo waang. Ngetren sadang batuka. Angin bakisa ka tradisi: ka baaso ibu. Tapi di ateh angkutan kota (angkot), mahasiswa jo mahasiswi, masih banyak memakai baaso lu jo gua, sarupo:
“Kama lu ni?”
“Gua ka taulet sabanta!”
“Baa? Tasasak bana?”
“Pintu taulet rusak!”
“Indak namuah tabukak!”
“Bagaimana lu ni, indak namuah doh?”
Parewa tasengeang mandanga anak-anaknyo nan manjadi mahasiswa jo mahasiswi, mamakai bahaso sarupo tu. Angin sadang bakisa. Nan sadang ngetren baaso aden jo waang, nan dipakai anak-anak gadih nan sadang duduak di bangku kalaih satu SMU.
“Parewa Sato Sakaki” adalah catatan ironik yang juga penuh dengan cimeeh yang merupakan identitas kultural Minangkabau. Tentu saja, tulisan-tulisan ini akan bermakna ketika relasi sosial yang dinamis bisa mengimbanginya. Makanya, saya ingin mengatakan, tulisan yang dimuat dalam “Parewa Sato Sakaki” menarik sebagai objek kajian riset sejarah, perubahan sosial, dan bahasa.
Parewa tampak tersenyum kecut ketika mendengar sesama perempuan memanggil “waang” di depan matanta di atas sebuah angkot. Parewa pun mengeritik keras melesetnya tujuan reformasi dan seolah memberi peluang besar untuk bangkitnya komunis, yang dasawarsa 1950-an mereka tantang sangat keras. Lalu, Parewa pun mengajak anak muda untuk membaca The Animals Farm karya George Orwell, agar mereka memahami arti perencanaan dan masa depan.
Seangkatan Rusli Marzuki Saria, kini di Sumatera Barat, hanya ia yang tinggal. Penulis buku antologi puisi Monumen Safari, diterbitkan ulang dan dibedah beberapa waktu lalu, dari empat penyair di dalamnya, hanya Rusli Marzuki Saria yang masih diberi umur panjang. Tiga lainnya telah meninggal dunia: Chairul Harun, Leon Agusta, dan Zaidin Bakry.
“Satu hal yang mungkin melengkapi kebahagian saya adalah ketika kumpulan tulisan “Parewa Sato Sakaki” diterbitkan dalam bentuk buku bersama dengan tulisan “Apresiasi Puisi” yang terbit di Haluan juga. Rasanya sesuatu banget,” katanya kepada saya. Nasrul Azwar