ISI Padang Panjang Pentaskan 3 Karya Seni di Malaysia

TITIAN BUDAYA MALAYSIA-INDONESIA

Jum'at, 18/10/2019 23:02 WIB
Pertunjukan dance theatre “The Margin of Our Land #3” merupakan karya yang diciptakan oleh Sahrul N (dramaturg), Ali Sukri (koreografer), Kurniasih Zaitun (sutradara), dan Elizar (komposer).  Foto Denny Cidaik

Pertunjukan dance theatre “The Margin of Our Land #3” merupakan karya yang diciptakan oleh Sahrul N (dramaturg), Ali Sukri (koreografer), Kurniasih Zaitun (sutradara), dan Elizar (komposer). Foto Denny Cidaik

Padang Panjang, sumbarsatu.com—Tiga karya seni dari Institut Seni Indonesia (ISI) Padang Panjang akan tampil di Negeri Sembilan, Malaysia, dalam kegiatan “Titian Budaya Malaysia- Indonesia”, pada 25-26 Oktober 2019.

Tiga karya seni yang akan dipentaskan itu ialah berupa dance theatre berjudul “The Margin of Our Land #3”, teater “Bangku Kayu dan Kamu yang Tumbuh di Situ #2”, dan seni randai perempuan “Sirabuang Ameh #2 yang naskahnya ditulis Zulkifli.

Kegiatan ini terselenggara atas kerja sama antara Jabatan Kebudayaan dan Kesenian Negara, Negeri Malaysia dengan ISI Padang Panjang.

Tiga pertunjukan ini merupakan Hibah Penelitian, Penciptaan dan Penyajian Seni (P3S) Kemristekdikti dari ISI Padang Panjang.

Karya dance theatre “The Margin of Our Land #3” merupakan karya yang diciptakan oleh Sahrul N (dramaturg), Ali Sukri (koreografer), Kurniasih Zaitun (sutradara), dan Elizar (komposer).  

“The Margin of Our Land #3” mengangkat fenomena kepemilikan tanah baik secara individu, komunal maupun secara negara. Negara yang berdaulat adalah adalah negara yang menguasai bumi, air, ruang angkasa dan kekayaan yang terkandung di dalamnya.

Dance theatre “EpisodeThe Margin Of Our Land” memperlihatkan kondisi ekonomi masyarakat yang sudah berubah karena lahan mereka digusur, pembangunan reklamasi, dan batas kedaulatan,” kata Sahrul N, yang juga dosen Jurusan Teater di ISI Padang Panjang, kepada sumbarsatu. Jumat (18/10/2019).

“The Margin of Our Land #3” juga menyoroti soal mata pencaharian dan sistem ekonomi meliputi pertanian, dan sistem produksi. Perubahan di berbagai bidang sering disebut sebagai perubahan sosial dan perubahan budaya karena proses berlangsungnya dapat terjadi secara bersamaan.

“Meskipun demikian perubahan sosial dan budaya sebenarnya terdapat perbedaan. Ada yang berpendapat bahwa perubahan sosial dapat diartikan sebagai sebuah transformasi budaya dan institusi sosial yang merupakan hasil dari proses yang berlangsung terus-menerus dan memberikan kesan positif atau negatif. Perubahan sosial juga diartikan sebagai perubahan fungsi kebudayaan dan perilaku manusia dalam masyarakat dari keadaan tertentu ke keadaan lain,” urai lelaki asal Padang Sago yang akrab disapa Kirun itu.

Sementara itu, sutradara “The Margin of Our Land #3” Kurniasih Zaitun atau Tintun mengatakan, konsep keaktoran dalam karya ini adalah pemain bisa menjadi apa saja dan berubah sesuai dengan kondisi dan situasi yang diciptakan di panggung.

“Aktor ialah tokoh kelompok dan tokoh individu. Tokoh kelompok terdiri dari kelompok masyarakat yang menentang penggusuran, yang pro penggusuran, yang apatis dan sebagainya. Sementara tokoh individu terdiri dari mereka yang secara personal berusaha untuk menjadi seseorang yang berada di wilayah tertentu. Tokoh kelompok hanya bisa dilihat dari profesi mereka saja, walaupun mereka terdiri dari individu-individu,” terang Tintun.

Ia memaparkan, karakter tokoh kelompok hanya dilihat dari karakter profesi mereka. Karakter tokoh dalam satu kelompok dalam dance theatre “EpisodeThe Margin Of Our Land” mengarah pada aksi sosial untuk mempertahankan status mereka dan mempertahankan kelangsungan hidup mereka.

“Aksi sosial berkaitan dengan interaksi dengan perorangan atau kelompok masyarakat, terlihat dari adanya aksi dan reaksi serta mengandung rangsangan dan respons. Tubuh merepresentasikan konflik dan bukan konflik dalam komposisi gerak yang taat pada disiplin panggung,” tambah Ali Sukri.

Sementara itu, teater “Bangku Kayu dan Kamu yang Tumbuh di Situ #2” merupakan karya yang sutradarai oleh Yusril, Sahrul N. (dramaturg), dan Edwar Zebua (Pimpinan Produksi).

Teater “Bangku Kayu dan Kamu yang Tumbuh di Situ #2” merupakan karya yang sutradarai oleh Yusril, Sahrul N. (dramaturg), dan Edwar Zebua (Pimpinan Produksi). Foto Denny Cidaik

“Karya ini bertitik tolak pada fenomena sosial yang dialami dalam kehidupan masyarakat saat ini. Fenomena itu bisa berupa teror. Teror tidak hanya dipahami secara fisik, namun juga mengacu pada entitas kekuasaan simbolik (Pierre Bourdieu), telah menghegemoni cara berpikir dan perilaku manusia dalam kehidupan,” ujar Yusril.

Ia menjelaskan, bangku-bangku kayu dalam sebuah ruang kelas dipahami sebagai kendaraan untuk tumbuhnya cita cita tidak dipahami lagi sebagaimana mestinya. Keinginan untuk berkuasa dan menguasai telah membuat manusia menghalalkan segala cara untuk dapat mencapai tujuannnya.

Ide dan gagasan di atas diwujudkan melalui penciptaan teater kontemporer yang berbasis tradisi Minangkabau, terutama pada kekuatan tubuh aktor yang berkorelasi dengan elemen artistik dan benda benda dalam mewujudkan peristiwa.

“Material artistik utama di dalam mewujudkan karya selain tubuh aktor adalah properti bangku kayu sebanyak jumlah aktor. Elemen artistik ini diekplorasi dan dielaborasi menjadi karya teater yang inovatif. Mewujudkan karya ini menggunakan metode yang bersumber dari falsafah paco paco di Minangkabau, silat dan randai,” tambah Sahrul N.

Metode paco paco dalam menciptakan teater “Bangku Kayu Dan Kamu yang Tumbuh di Situ” adalah usaha di dalam mengkonstruksi serpihan peristiwa dan kehidupan menjadi satu kesatuan yang utuh, eksotik, estetis dan artistik.

Dalam proses penciptaan karya teater ini nanti yang akan eksplorasi randai, silat dan hip hop serta melakukan pencarian data terhadap filosofi tentang paco-paco.

“Bangku Kayu dan Kamu yang Tumbuh di Situ” merupakan cermin pendidikan yang amburadul di Indonesia. Seperti yang telah kita ketahui, kualitas pendidikan di Indonesia semakin memburuk. Hal ini terbukti dari kualitas guru, sarana belajar, dan murid-muridnya.

Karya seni randai perempuan “Sirabuang Ameh #2” dengan tuo randainya Zulkifli, Erlinda (penata gerak), Admiral (komposer), dan Novesar Jamarun (pimpinan produksi) yang menonjolkan tentang konsep randai yang berbeda dengan randai sebelumnya.

“Untuk pementasan seni randai yang pola garapannya dimainkan perempuan. Tapuak galambuak tidak lagi dimain dengan galembong, namun dimainkan dengan properti lain yaitu tungkahan kayu yang bisa dipukul dan diduduki. Jadi perempuan tidak lagi duduk dilantai, namun duduk di tungkahan kayu,” cerita Zulkifli.

Menurutnya, konsep permainan masih sama dengan randai yang ada sebelumnya. Permainan randai dibawakan oleh banyak orang. Mereka bermain sambil membuat lingkaran. Dalam keadaan melingkar pemain melakukan gerakan pencak dengan langkah maju, mundur, ke dalam memperkecil lingkaran, lalu keluar lagi dengan diiringi tepuk tangan.

“Ketika gerakan berhenti terdengar nyanyian tentang kisah cerita atau pantun. Pada setiap akhir kalimat, mereka mengulangi secara beramai-ramai,” tambahnya. (SSC/Rel)



BACA JUGA